BEKASI, KOMPAS – Penutupan paksa Tempat Pembuangan Akhir Sampah Burangkeng, Kecamatan Setu, Kabupaten Bekasi, sejak Senin lalu melumpuhkan aktivitas pembuangan sampah. Akibatnya, sampah menumpuk di banyak tempat tanpa ada langkah serius untuk menanganinya.
Salah satunya di Pasar Setu, Kabupaten Bekasi. Pada Selasa (5/3/2019) siang, sampah sisa sayuran dan buah-buahan menumpuk di sebagian halaman pasar seluas 30 meter persegi. Selain itu, tumpukan sampah juga memenuhi satu bak truk berkapasitas tiga ton. “Sampah itu sudah dua hari tidak diangkut,” kata Staf Teknis Lapangan Pasar Setu Munaji.
Ia berusaha membuang sampah itu ke lahan kosong milik warga Kecamatan Setu. Namun, semua warga menolak karena jumlah sampah terlalu banyak. Dalam sehari, setidaknya ada enam ton sampah yang diproduksi, diangkut oleh dua truk berkapasitas tiga ton. “Kami mencoba membawa sampah ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Burangkeng kemarin, tetapi tempat sudah disegel,” kata Munaji.
Dia menambahkan, hal itu juga berdampak pada menurunnya kepercayaan pedagang pada petugas pasar. Sebagian besar dari total 800 pedagang enggan membayar retribusi kebersihan. Padahal, retribusi sebesar Rp 1.000 per hari semestinya rutin dibayarkan.
Menurut Munaji, di Kabupaten Bekasi terdapat 12 pasar tradisional. Setiap pasar memproduksi sampah dalam jumlah berbeda. Karena itu, jumlah truk yang mengangkut juga berbeda, mulai dari dua sampai 10 truk per pasar.
Seluruh pengelola pasar mengeluhkan pembuangan sampah dan berniat membuangnya ke wilayah Setu. “Biasanya Kecamatan Setu ini jadi alternatif membuang sampah, karena warga mau menerimanya untuk pupuk. Namun, sekarang mereka tidak mau lagi menerima sampah,” ujarnya.
Ahmad Nursidik (21), sopir truk sampah yang bertugas di Pasar Lemah Abang, Cikarang Utara, mengatakan, sampah di pasar itu juga terbengkalai. Dalam sehari, sampah Pasar Lemah Abang diangkut oleh tiga truk. Setiap truk bermuatan 3-5 ton.
Selain di pasar, sampah di permukiman warga di 23 kecamatan juga tidak bisa dibuang. Yodi (23), kernet truk sampah Dinas Lingkungan Hidup Kota Bekasi, mengatakan, sudah dua hari tidak mengangkut sampah di sejumlah perumahan di wilayah kerjanya, yaitu Kecamatan Cibitung. “Dalam sehari, minimal harus mengangkut sampah dari 500 kepala keluarga,” kata dia.
Di beberapa perumahan, sampah domestik yang dikemas plastik juga bertebaran di jalan, contohnya Griya Setu Permai. Meski demikian, warga belum merasakan dampak langsung penutupan TPA karena pengambilan sampah tidak dilakukan setiap hari. “Di sini pengambilan sampah setiap hari Sabtu, jadi kami masih merasa aman,” kata Zulkifli (35), warga Griya Setu Permai.
Tak ada solusi
“Kami belum memiliki solusi untuk menangani sampah yang terbengkalai,” kata Kepala Bidang Kebersihan Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bekasi Dodi Agus Suprianto. Pihaknya telah berkoordinasi dengan Pemerintah Kabupaten Tangerang, Pemerintah Kota Bekasi, dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk menumpang membuang samlah sementara.
Namun, ketiga daerah itu belum bisa menerima. Misalnya, di Kota Bekasi TPA-nya sudah kelebihan kapasitas. Di DKI Jakarta juga memerlukan koordinasi antara bupati dan gubernur yang membutuhkan waktu lama.
Selain itu, Kabupaten Bekasi juga belum bisa melepaskan ketergantungan dari TPA Burangkeng. “Kami belum memiliki inovasi (pengolahan sampah), untuk memiliki itu membutuhkan pemikiran dan anggaran yang besar,” kata Dodi.
Dodi mengatakan, perlu kearifan dari perangkat desa untuk membuka akses TPA. Persoalan kompensasi akan dibicarakan salah satunya dalam pertemuan pada Rabu (6/3/2019). Menurut rencana pertemuan itu akan dipimpin oleh sekretaris daerah.
Sekretaris Desa Burangkeng Ali Gunawan mengatakan, telah mengirim surat kepada Dinas Lingkungan Hidup hari ini. Dalam surat tersebut, warga Burangkeng menolak hadir dalam pertemuan yang dipimpin sekretaris daerah itu.
“Kami tidak bersedia datang karena pemerintah daerah mengundang kelompok pemulung dan pelapak. Hal itu seperti ingin mengadu domba kami,” kata dia. Ali mengatakan, seluruh warga membutuhkan kompensasi dan perbaikan pengelolaan TPA. Sebab, pengelolaan TPA yang berada di tengah permukiman warga itu masih berantakan.
Sejak kemarin sampai hari ini, belum ada aktivitas di TPA Burangkeng. Tidak ada truk yang masuk, hanya ada satu alat berat yang beroperasi meratakan gunungan sampah. Kantor Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Pemrosesan Akhir Sampah pun kosong, seluruh pegawai tidak ada, kecuali petugas pengamanan.
Dilema
Lumpuhnya pembuangan sampah memunculkan dilema bagi para sopir. Ahmad mengatakan, penghasilannya sebesar Rp 1,4 juta per bulan atau Rp 54.000 per hari sudah terpotong dua hari karena tidak mengangkut sampah. Adapun kerja mereka dicatat dalam timbangan sampah harian di TPA. Pembukaan TPA akan berdampak signifikan pada penghasilannya.
Akan tetapi, sopir yang tinggal di Kampung Cinyosok, Burangkeng, Setu, atau sekitar 200 meter dari TPA itu tahu betul bahwa warga membutuhkan kompensasi. “Setiap hari kami menghirup bau sampah yang luar biasa,” kata Ahmad.
Nocah (46), warga Kampung Cinyosok, Burangkeng, Setu, mengatakan, lebih dari 20 tahun tidak ada kompensasi yang diberikan pemerintah daerah kepada warga. Padahal, warga terkena dampak negatif dari tumpukan sampah selama bertahun-tahun, misalnya pencemaran air. Menurut dia, air tanah sudah berbau dan tidak bisa digunakan.
“Kami juga sering terkena penyakit seperti diare, tetapi enggak pernah dibesar-besarkan saja,” ujar Nocah. Warga kesulitan mendapatkan layanan kesehatan karena di Desa Burangkeng tidak ada Puskesmas. Hanya ada puskesmas pembantu di kantor desa, layanannya dinilai kurang memadai.
Namun, penutupan TPA juga membuat salah satu sumber penghasilan Nocah terkendala. Usaha cuci truk yang ia buka tidak lagi beroperasi.