Kerusakan ekosistem menyebabkan pendangkalan Danau Rawapening dan memicu banjir. Program revitalisasi perlu segera direalisasikan untuk mengatasi persoalan itu.
UNGARAN, KOMPAS Revitalisasi Danau Rawapening di Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, butuh penanganan komprehensif guna mencegah lenyapnya danau seluas 2.667 hektar itu menjadi daratan. Pengurangan sedimentasi lumpur dan pembabatan gulma eceng gondok mesti dibarengi pembenahan tata lahan daerah hulu sungai.
Berdasarkan penelusuran Kompas, Danau Rawapening di Kecamatan Ambarawa, Kabupaten Semarang, yang pada 10-15 tahun lalu kedalamannya masih sekitar 15 meter kini diperkirakan tinggal 3 meter. Gulma eceng gondok menutupi hampir 70 persen permukaan danau.
Kepala Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Pemali-Juwana Jateng Rubhan Ruzziyatno, Senin (4/3/2019), mengatakan, proyek revitalisasi tidak bisa hanya dilakukan satu atau dua kementerian, tetapi harus melibatkan semua pemangku kepentingan dan masyarakat.
Pengurangan sedimentasi dengan pengerukan lumpur, termasuk pembabatan eceng gondok, dilakukan BBWS Pemali Juwana bersama Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) sejak 2017.
Sekitar 50 persen tanaman gulma di kawasan Sumurup, Desa Asinan, Kecamatan Bawen, sudah dibabat demi kelancaran pasokan air baku Pusat Listrik Tenaga Air Jelok dan irigasi.
Namun, pendangkalan Rawapening tidak bisa hanya melalui pengerukan lumpur dan endapan tanah. ”Perubahan tata lahan di daerah hulu danau harus dibenahi lebih dulu. Harus tegas, mana kawasan hulu untuk lindung atau kawasan budidaya supaya tidak mencemari danau,” ujarnya.
Tidak hanya ekologi, pendangkalan juga berdampak pada ekonomi karena mematikan mata pencarian nelayan di desa-desa tepian Danau Rawapening.
Menurut Kepala Desa Bejalen, Ambarawa, Nowo Sugiarto, dalam lima tahun terakhir, desanya yang persis berada di tepi danau sangat bergantung pada Rawapening. Mulai dari kegiatan wisata, nelayan, hingga petani tanah timbul.
Para nelayan budidaya juga mengeluhkan pendangkalan. Sebelumnya, mereka menangkar mujair dan nila dengan cara kelante, yaitu melokalisasi eceng gondok untuk tempat memelihara ikan. Tanaman itu diikat, lalu dibuat kandang ikan dalam jaring besar. Dalam tiga bulan bisa panen 3 kuintal ikan. Namun, metode ini hanya bisa diterapkan pada kedalaman lebih dari 6 meter.
”Sekarang, nelayan hanya bisa memancing ikan, itu pun hasilnya kurang dari 2 kilogram nila sehari,” ujar Nowo. Kerugian lain, kini 130 keluarga di Dusun Bejalen Timur juga kerap kebanjiran.
Pendangkalan danau telah menyebabkan air danau meluap ke kampung melalui saluran dan Sungai Bejalen. Padahal, Desa Bejalen memiliki potensi wisata Kampung Rawa dan Kampung Pelangi yang dikelola Kelompok Dasar Wisata dan badan usaha milik desa.
Ekosistem rusak
Pakar hidrologi Fakultas Teknologi Universitas Diponegoro, Semarang, Robert J Kodoatie, mengatakan, kerusakan ekosistem di sekitar kawasan Danau Rawapening terjadi mulai dari hulu hingga hilir selama bertahun-tahun. Terdapat 14 anak sungai yang mengalir ke danau itu dari kawasan hulu di pegunungan Telomoyo.
Ketika ekosistem daerah lindung rusak seiring tumbuhnya permukiman baru, selama itu pula erosi terjadi di sepanjang daerah aliran sungai. Belum lagi berbagai macam sampah ikut menyumbang tingginya sedimentasi. Rawapening menjadi satu dari 15 danau kritis yang menjadi prioritas revitalisasi pemerintah pusat.
Peneliti lingkungan hidup Universitas Diponegoro, Tri Retnaningsih Soeprobowati, mengemukakan, berdasarkan hasil kajian lima tahun terakhir, endapan sedimentasi di danau itu mencapai 780 ton per tahun.
Artinya, danau itu setiap hari menerima endapan 270 kilogram sampai 880 kilogram. Padahal, jika danau itu sehat, bakal menjadi potensi agrowisata eksotis di Pulau Jawa. (WHO)