Polisi Ungkap Modus Perdagangan Satwa di Dunia Maya
Oleh
Andy Riza Hidayat
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Badan Reserse Kriminal Polri merilis laporan sembilan perkara tindak pidana perdagangan ilegal satwa dilindungi di beberapa wilayah di Indonesia. Dari penindakan seluruh kasus di awal 2019 ini, kepolisian menemukan modus penggunaan media sosial dan rekening bersama di dunia maya.
Direktorat Tindak Pidana Tertentu Badan Reserse Kriminal Polri, Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati serta Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengumumkan laporan tersebut dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (5/3/2019).
"Di awal 2019 ini sudah ada 9 kasus dengan 12 tersangka dan dua orang lain sedang diproses sebagai tersangka. Bekerja sama dengan teman-teman di KLHK, kami berhasil mengungkap jaringan perdagangan online baik di dalam negeri maupun luar negeri," tutur Kepala Sub Direktorat I Dittipidter Bareskrim Polri, Kombes Pol Adi Karya Tobing.
Penangkapan tersangka dilakukan di Jawa, Sumatera, Kalimantan, serta sejumlah wilayah di Indonesia bagian timur, sejak 11 Januari hingga 23 Februari 2019. Mereka yang ditetapkan sebagai tersangka memiliki berbagai peran, mulai dari pemburu, pengumpul, hingga penjual. Beberapa dari mereka memanfaatkan media sosial Facebook untuk melakukan perdagangan ilegal tersebut.
Atas perbuatannya, para tersangka terancam pidana lima tahun penjara dan denda sebesar Rp 100 juta. Hal ini sesuai dengan pasal 21 ayat 2 huruf a juncto pasal 40 ayat 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. UU itu melarang siapa pun untuk menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup.
Barang bukti yang dikumpulkan antara lain seperti monyet yaki, burung cendrawasih, burung kakaktua jambul kuning, bekantan, bagian tubuh beruang, kulit kucing kuwung, hingga paruh julang sulawesi. Barang bukti hidup berupa 205 ekor satwa hidup dan 78 buah bagian tubuh satwa.
"Para broker dan pembeli menggunakan modus yang terbilang baru. Mereka tidak langsung bertemu, tetapi menggunakan media lain dan rekening bersama untuk bertransaksi," kata Adi.
Penggunaan rekening bersama secara online (daring), menurut Adi, diduga dilakukan untuk menghindari pelacakan oleh penyidik atau penegak hukum berwenang lainnya. Para pembeli dan penjual diduga memanfaatkan satu pihak untuk menampung transaksi mereka.
"Untuk penyedia rekening bersama ini akan kita ungkap nanti dengan tindak pidana pencucian uang," lanjutnya.
Badan Reserse Kriminal Polri dan pihak KLHK juga mengungkap wilayah perdagangan satwa dilindungi oleh para tersangka di luar negeri. Wilayah tersebut meliputi negara-negara Asia, seperti Malaysia, India, Thailand, hingga Belanda di Eropa.
Kerugian
Direktur Pencegahan dan Pengamanan Hutan Kementerian Kehutanan Indra Eksploitasia mengatakan, perdagangan satwa dilindungi bagi lingkungan merugikan negara dalam jumlah tak ternilai. "Ada nilai-nilai yang tidak bisa dikonversi akibat perdagangan ilegal seperti ini. Apabila satu spesies punah, ini tidak akan tergantikan, seperti harimau Jawa dan Bali yang nyaris punah, anak cucu kita mungkin tidak bisa lihat lagi. Itu tidak dapat dinilai dengan uang," ujarnya.
Namun demikian, nilai transaksi perdagangan satwa dilindungi di pasar tengah dicoba dihitung KLHK. Menurutnya, nilai satwa, terutama di pasar internasional, sangat tinggi.
Menurut data Pusat Penelusuran dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) 2018, transaksi perdagangan tumbuhan dan satwa liar mencapai lebih dari Rp 13 triliun per tahun, sejak 2013. Sementara itu, lembaga Wildlife Conservation Society (WCS) mencatat, nilai transaksi 2018 mencapai empat kali lipat dari tahun 2010 (Kompas, 5/3/2018).
Aturan telah usang
Untuk menjerat pelaku perdagangan ilegal satwa dengan beragam modus baru di dunia maya, pemerintah didorong untuk segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. RUU ini penting memperbarui UU Nomor 5 Tahun 1990.
"Modus operandi kejahatan terhadap satwa terus berkembang. Perdagangan satwa, misalnya, 90 persen sudah dilakukan lewat dunia maya. Untuk mengikuti perkembangan ini, kita harus perbarui undang-undang yang ada ini," kata Adi.
Hal yang sama juga diungkapkan Kepala Sub Direktorat Wilayah II Direktorat Penegakan Hukum Direktorat Jenderal Gakkum KLHK, Taqiuddin, yang ditemui pada acara tersebut. Pihaknya juga menunggu penyelesaian pembahasan RUU di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
"Kami sudah lama mendorong, tapi pembahasannya juga lama. Kami terus menunggu karena aturan sekarang banyak kelemahannya. Penyidikan dan sanksi yang diatur, menurut kami, belum maksimal," ujar Taqiuddin.
Rancangan Undang-Undang itu diusulkan DPR sejak 2017 dan masuk daftar RUU program legislasi nasinonal prioritas. Sampai berita ini dibuat, Kompas belum bisa menghubungi Edhy Prabowo selaku Ketua Komisi IV DPR untuk meminta keterangan mengenai perkembangan pembahasan RUU tersebut.
Namun, dilansir dari laman dpr.go.id, Revisi UU itu diupayakan dapat mengakomodir peran pemerintah daerah dalam menjaga konservasi dan ekosistemnya. Sejumlah protokol-protokol yang sudah diratifikasi secara internasional, juga akan ditambahkan. Namun, Januari lalu, menurut laman tersebut, DPR dan pemerintah sepakat menunda pembahasan RUU sementara waktu. Pemerintah perlu menyiapkan RUU sandingan atau daftar inventaris masalah lebih dahulu. (ERIKA KURNIA)