Lembaga Penegak Hukum Didorong Tertib Administrasi
Oleh
Andy Riza Hidayat
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kelengkapan dokumen berkas perkara masih menjadi masalah pada lembaga penegak hukum. Perubahan sistem dan penanganan administratif perkara perlu dilakukan untuk meningkatkan fungsi kontrol dalam penanganan perkara tindak pidana.
Hal itu mengemuka saat pemaparan Hasil Penilaian Survei Kepatuhan Hukum 2018 yang dilakukan Ombudsman Republik Indonesia (ORI), di Jakarta, Selasa (5/3/2019). Dalam acara ini, perwakilan anggota ORI yang dihadirkan adalah Adrianus Meliala dan Ninik Rahayu.
Data sepanjang 2013-2017, ORI menerima 6.602 laporan masyarakat yang melaporkan instansi penegak hukum. Laporan masyarakat terkait dengan kepolisian berjumlah 4.257 laporan, peradilan 1.261 laporan, kejaksaan 409 laporan, dan lembaga pemasyarakatan 135 laporan.
Dugaan malaadministrasi yang paling banyak dilaporkan adalah dugaan penundaan berlarut. Jika dipersentasekan, dugaan malaadministrasi lembaga penegak hukum itu ialah kepolisian 51 persen, kejaksaan 52,3 persen, peradilan 34,6 persen, dan lembaga pemasyarakatan 16,7 persen.
Untuk mengurangi potensi malaadministrasi itu, ORI melakukan penelitian terhadap empat berkas perkara yang berkekuatan hukum tetap pada tingkat pertama di 10 provinsi di Indonesia. Berkas perkara yang diteliti terbagi dalam empat tahapan, yaitu penyidikan, penuntutan, peradilan, dan pemasyarakatan. Variabel penilaian dibagi menjadi dua, yakni ketersediaan dokumen dan pemenuhan unsur dokumen.
Dari hasil survei itu, skor ketersediaan dokumen pada setiap tahapan masuk dalam kategori kepatuhan tinggi. Namun, pemenuhan unsur dokumen secara umum berada dalam kategori kepatuhan rendah dan kepatuhan sedang. Misalnya, skor pemenuhan unsur dokumen tahap penyidikan sebesar 46,66 persen, penuntutan 47,98 persen, peradilan 69,41 persen, dan pemasyarakatan 46,66 persen.
Pada tahap penyidikan, Adrianus menilai, penyidik tidak cermat dalam menuliskan nomor dan tanggal pada beberapa dokumen, seperti laporan polisi, surat perintah tugas, surat perintah penyidikan, serta surat perintah penyitaan dan surat perintah penahanan. Selain itu, ada sejumlah dokumen surat yang tidak lengkap pada bundel berkas perkara lainnya seperti surat pemanggilan saksi dan ahli.
Hal sama juga terjadi dalam tahap penuntutan. Adrianus menyampaikan, penuntut umum tidak cermat dalam penulisan identitas terdakwa dan penomoran pada beberapa dokumen, seperti penulisan nomor register perkara, putusan pengadilan, surat perintah penahanan tingkat penuntutan, dan surat perintah pelaksanaan putusan pengadilan.
Adrianus mengapresiasi kelengkapan dokumen di tahap peradilan yang memiliki skor paling tinggi dibandingkan dengan tahap lainnya. Meski demikian, ia mencatatkan, masih ada pekerjaan rumah yang harus diperbaiki, yakni ada ketidakcermatan dalam penulisan identitas terdakwa, tidak tercantumnya keterangan tempat terdakwa ditahan, dan ketidaksesuaian dokumen berkas perkara.
Adapun pada tahap pemasyarakatan, Adrianus menilai, masih terdapat keberagaman pihak yang menandatangani berita acara pemeriksaan kesehatan tahanan atau narapidana dan ada dokumen yang tidak mencantumkan tanda tangan dengan alasan dokumen telah menggunakan sistem daring.
Evaluasi
Menurut Ninik, kategori kepatuhan rendah untuk pemenuhan unsur dokumen itu menunjukkan lembaga penegak hukum belum peduli terhadap administratif yang menyangkut keadilan bagi perseorangan. Ia menilai, dokumen ini menjadi alat untuk melihat standar layanan publik orang yang berhadapan dengan hukum itu terpenuhi atau tidak. ”Apabila ada dokumen yang tidak lengkap, kemungkinan besar dapat merugikan bagi warga negara yang mencari keadilan,” kata Ninik.
Sementara itu, Adrianus menyarankan lembaga penegak hukum agar menciptakan sistem penanganan perkara tindak pidana yang terintegrasi dari tahap penyidikan di kepolisian, penuntutan di kejaksaan, peradilan di pengadilan, dan pemasyarakatan di lembaga pemasyarakatan. Hal itu dilakukan untuk meningkatkan fungsi kontrol dalam penanganan perkara tindak pidana.
Dihubungi secara terpisah, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal (Pol) Dedi Prasetyo mengatakan, Polri akan terus melakukan perbaikan dan evaluasi di sektor pelayanan dan penyidikan melalui program promoter dari tingkat sektor sampai pusat. Program promoter yang dimaksud adalah perbaikan kinerja, kultur, dan manajemen media. (MELATI MEWANGI)