JAKARTA, KOMPAS — Jakarta menjadi kota paling terpolusi di Asia Tenggara dengan empat kali lipat di atas batas aman tahunan menurut standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Polusi udara diperkirakan dapat menelan korban sekitar 7 juta jiwa di seluruh dunia setiap tahun dan kerugian ekonomi.
Berdasarkan laporan kualitas udara dunia pada 2018 yang dibuat oleh IQAir, Jakarta dan Hanoi (Vietnam) menjadi dua kota paling terpolusi di Asia Tenggara. Dari laporan itu, diindikasikan bahwa konsentrasi rata-rata tahunan PM (particulate matter) 2,5 pada tahun 2018 di Jakarta sangat buruk, yakni Jakarta Selatan mencapai 42,2 mikrogram per meter kubik (µg/m3) dan Jakarta Pusat mencapai 37,5 µg/m3. Adapun PM 2,5 adalah partikel udara yang berukuran lebih kecil dari 2,5 mikron (mikrometer).
Dengan kata lain, konsentrasi PM 2,5 di Jakarta mencapai empat kali lipat di atas batas aman tahunan menurut standar WHO, yaitu 10 µg/m3. Bahkan, jumlah tersebut melebihi batas aman tahunan menurut standar nasional pada Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara, yaitu 15 µg/m3.
Chief Executive Officer IQAir Frank Hammes mengatakan, laporan tersebut didasarkan pada tinjauan, kompilasi, dan validasi data dari puluhan ribu stasiun pemantauan kualitas udara di seluruh dunia.
”Sekarang semua orang dengan ponsel memiliki akses gratis ke data ini melalui platform AirVisual. Hal ini sesuai permintaan terhadap pemantauan kualitas udara di kota-kota atau wilayah yang tidak tersedia data publik,” kata Frank dalam siaran pers yang diterima pada Selasa (5/3/2019) di Jakarta.
Dalam laporan tersebut, dijelaskan bahwa meningkatnya jumlah kendaraan pribadi yang beraktivitas di Jakarta setiap hari menyebabkan kualitas udara menjadi buruk. Sumber polutan lain seperti pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang terdapat di sekeliling kota Jakarta dalam radius 100 kilometer turut berkontribusi terhadap peningkatan konsentrasi PM 2,5 tersebut.
Berdasarkan pemodelan yang dilakukan oleh Greenpeace, PLTU batubara yang sudah beroperasi tersebut berkontribusi sebanyak 33 hingga 38 persen dari konsentrasi PM 2,5 harian di Jakarta pada kondisi terburuk.
Dalam skala regional, buruknya kualitas udara juga terjadi di Bangkok, Thailand. Namun, pemerintah menanggapinya dengan serius, antara lain dengan menutup ratusan sekolah dan menyemprotkan air di udara menggunakan drone.
”Buruknya kualitas udara juga pernah terjadi di Jakarta dengan level konsentrasi PM 2,5 yang sama dengan Bangkok, yaitu pada bulan Juli dan Agustus,” ujar Kepala Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Asia Tenggara Tata Mustasya.
Namun, Pemerintah Indonesia masih menyangkal bahwa konsentrasi PM 2,5 sudah berbahaya dan menyatakan udara kota Jakarta masih dalam kategori sehat.
”Memperkuat standar pengukuran polutan dan memperbanyak stasiun pemantauan kualitas udara menjadi hal yang sangat mendesak untuk dilakukan oleh Pemerintah Indonesia,” lanjut Tata.
Memperkuat standar pengukuran polutan dan memperbanyak stasiun pemantauan kualitas udara menjadi hal yang sangat mendesak untuk dilakukan Pemerintah Indonesia.
Ia mengatakan, perubahan iklim membuat efek polusi udara semakin buruk dengan berubahnya kondisi atmosfer dan membesarnya risiko kebakaran hutan.
Selain itu, pembakaran bahan bakar fosil merupakan pendorong utama polusi udara secara global. Karena itu, mengatasi perubahan iklim dapat meningkatkan kualitas udara.
Kerugian
Direktur Eksekutif Greenpeace Asia Tenggara Yeb Sano mengatakan, polusi udara mematikan mata pencarian dan masa depan manusia. ”Diperkirakan polusi udara menyebabkan kerugian sebesar 225 miliar dollar AS yang dihitung berdasarkan kehilangan produktivitas dalam bekerja,” kata Yeb.
Selain itu, triliunan dollar membebani sistem medis akibat polusi. Ia menyebutkan, tindakan nyata yang perlu dilakukan pemerintah daerah dan nasional untuk mengatasi dampak polusi udara adalah menyediakan infrastruktur pemantauan dan pelaporan yang memadai.
Penyebab umum di seluruh dunia yang paling nyata adalah pembakaran bahan bakar fosil, seperti batubara, minyak, dan gas.
”Yang perlu dilihat, apakah pemerintah berpikir serius tentang kesehatan dan perubahan iklim dengan memastikan transisi yang adil dari bahan bakar fosil menuju energi terbarukan,” kata Yeb.
Ia juga berharap pemerintah memberi tahu dengan jelas terkait kualitas udara. Hal tersebut akan berguna bagi masyarakat untuk mengambil langkah-langkah dalam mengatasi krisis kesehatan dan iklim.