Kerusakan DAS Jeneberang Dibiarkan
GOWA, KOMPAS – Bencana hidrometeorologi yang melanda Sulawesi Selatan, 22 Januari silam, menunjukkan kerusakan lingkungan di daerah aliran Sungai Jeneberang terutama di bagian hulu selama ini dibiarkan. Curah hujan ekstrem memantik terjadinya bencana tersebut.
Hasil penelusuran di sejumlah titik sepanjang daerah aliran Sungai (DAS) Jeneberang di Sulawesi Selatan, awal Februari, mendapati degradasi lingkungan dari bagian hulu hingga hilir. Sungai sepanjang 75 kilometer yang mengalir dari Gunung Bawakaraeng hingga Selat Makassar serta melintasi Kabupaten Gowa, Kabupaten Takalar, dan Kota Makassar tersebut, dalam kondisi kritis sehingga membutuhkan penanganan serius.
Di bagian hulu Jeneberang yakni di kawasan Malino dan Kanreapia, Kabupaten Gowa, kawasan hutan telah berganti rupa menjadi area pertanian hortikultura, bangunan vila, dan rumah hunian. Di bagian tengah sungai di Kecamatan Parang Loe, Kabupaten Gowa, aktivitas tambang pasir marak. Adapun di hilir sungai di Kota Makassar, hunian liar didirikan di atas sedimen dan bangunan komersial memadati delta sungai.
Kerusakan lingkungan yang begitu masif tampak dari luas tutupan hutan di kawasan DAS Jeneberang yang terus menyusut. Berdasarkan data Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Pompengan-Jeneberang Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, kawasan hutan di DAS Jeneberang pada 2011 sebesar 47,2 persen dari 78.480 hektar atau seluas 37.042 hektar. Adapun pada 2015, luas tutupan hutan di Jeneberang hanya tersisa seluas 11.686 hektar.
Hanya dalam waktu empat tahun atau rentang waktu 2011-2015, terjadi penyusutan kawasan hutan di DAS Jeneberang seluas 25.361 hektar. Hutan yang menyusut tersebut setara 1,5 kali lipat luas Kota Bandung..!
Kritis
Degradasi lingkungan di bagian hulu Jeneberang tampak di kawasan Malino, Kecamatan Tinggimoncong dan Desa Kanreapia, Kecamatan Tombolo Pao. Kebun yang digarap warga terhampar di belakang papan penanda kawasan konservasi Taman Wisata Alam (TWA) Malino di kaki Gunung Bawakaraeng. Ironisnya, pemerintah tak dapat berbuat apapun untuk menahan laju kerusakan tersebut.
Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulawesi Selatan Thomas Nifinluri mengakui, belum adanya kesepakatan batas wilayah TWA Malino dengan Pemerintah Kabupaten Gowa membuat BKSDA tidak memiliki kekuatan hukum untuk melarang pembangunan fasilitas umum dan fasilitas sosial di area yang ditunjuk sebagai wilayah konservasi.
Baca juga : Bencana Masih Mengancam Sulawesi Selatan
Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan Nomor 420/KPTS-II/1991, menunjuk wilayah seluas 3.500 hektar yang berada di empat desa di Kecamatan Tinggi Moncong, yakni Desa Malino, Gantarang, Pattapang, dan Bulutana, sebagai kawasan konservasi. Kawasan ini disebut sebagai Taman Wisata Alam (TWA) Malino.
Usulan dan penetapan hutan konservasi di Indonesia dilakukan melalui serangkaian proses yang disebut pengukuhan kawasan hutan. Usai penunjukan, langkah selanjutnya akan dibuat kesepakatan penataan batas antara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dengan pemerintah daerah setempat. Penetapan kawasan hutan konservasi baru dapat dilakukan setelah ada kesepakatan.
Namun, Thomas mengatakan, saat penunjukkan dilakukan, tepatnya pada 19 Juli 1991, sebanyak 40 persen wilayah TWA Malino sudah dihuni oleh masyarakat. Sejak saat itu hingga kini pun belum terjadi kesepakatan antara KLHK dan Pemerintah Kabupaten Gowa terkait penataan batas wilayah hutan konservasi.
Padahal, kerusakan lingkungan kian tak terbendung. Thomas mengungkapkan, salah satu penyebab area hulu Sungai Jeneberang kritis adalah sekitar 72 persen dari 3.500 hektar wilayah yang ditunjuk sebagai kawasan konservasi telah beralih fungsi.
Salah satu penyebab area hulu Sungai Jeneberang kritis adalah sekitar 72 persen dari 3.500 hektar wilayah yang ditunjuk sebagai kawasan konservasi telah beralih fungsi
“Sampai saat ini kurang lebih ada 2.540 hektar yang merupakan fasum dan fasos. Ini akibat keterlanjuran okupansi di kawasan yang terjadi sejak 1960, tiga dekade sebelum penunjukkan wilayah konservasi pada 1991,” ujar Thomas, saat ditemui di Kota Makassar, Senin (4/2/2019).
Alih fungsi lahan di hulu Jeneberang ini kian masif sejak 2002 hingga kini karena didorong kebutuhan ekonomi warga. Tegakan pohon kebanyakan berganti menjadi kebun tanaman kentang, wortel, dan daun bawang yang sudah merambah hingga ke lereng Bawakaraeng.
Nurbaya (50) pemilik lahan pertanian hortikultura di Desa Kanreapia, Kecamatan Tombolo Pao, mengakui, sekali panen bisa mendapatkan keuntungan sedikitnya Rp 30 juta hingga Rp 40 juta dari dua hektar lahan yang ditanami kentang, wortel, kol, sawi, dan daun bawang.
Nurbaya mempekerjakan sekitar 20 orang yang mengurusi kebun dari masa tanam hingga panen. Pekerja dibayar Rp 50.000 per hari. Tanaman di kebunnya panen setiap satu hingga tiga bulan tergantung jenis tanaman. Dalam setahun, dia bisa panen hingga empat kali.
“Alhamdulillah hasil kebun lumayan bagus dan tidak pernah rugi. Saya bisa memperbaiki rumah dan membeli kendaraan yang digunakan membawa hasil kebun ke Pasar Sungguminasa dan Pasar Terong di Makassar. Saya juga bisa membelikan lahan masing-masing-setengah hektar untuk tiga anak saya,” kata Nurbaya, saat ditemui, Minggu (3/2/2019).
Alih fungsi lahan di TWA Malino umumnya menjadi lahan pertanian hortikultura, selain permukiman dan vila. Padahal, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, kegiatan di dalam taman wisata alam tidak boleh mengurangi fungsi pokok sebagai kawasan konservasi.
Keterlibatan oknum
Selain kawasan konservasi, hutan di DAS Jeneberang juga terdiri atas hutan lindung dan hutan produksi yang juga bernasib serupa. Jika hutan konservasi di bawah wewenang BKSDA Sulsel maka hutan lindung dan produksi dikelola oleh Dinas Kehutanan Sulsel.
Kepala Dinas Kehutanan Sulsel Muhammad Tamzil mengatakan, alih fungsi lahan dan perambahan hutan terjadi karena lemahnya pengawasan di kawasan hutan lindung dan hutan produksi tidak terlepas karena keterbatasan jumlah polisi hutan. Dari 2,6 juta hektar luas hutan di Sulsel, hanya diawasi 400 polisi hutan. “Dari jumlah itu, hanya 98 orang yang PNS (pegawai negeri sipil). Sisanya pegawai honorer,” ucap Tamzil, saat ditemui di Kantor Dinas Kehutanan Sulsel.
Modusnya ada dua yang saya lihat di lapangan melalui (oknum) dan yang kedua mereka punya PBB (pajak bumi dan bangunan). Jika saya cium ada yang membekingi maka saya kasih mutasi
Selain itu, Tamzil mengakui, terdapat oknum dinas kehutanan yang juga terlibat dalam alih fungsi lahan di kawasan hutan lindung dan produksi. “Saya tidak membantah itu. Memang ada yang begitu. Modusnya ada dua yang saya lihat di lapangan melalui (oknum) dan yang kedua mereka punya PBB (pajak bumi dan bangunan). Jika saya cium ada yang membekingi maka saya kasih mutasi,” kata Tamzil.
Anwar (32), petani penggarap di Desa Kanreapia, mengakui, untuk dapat menggarap lahan di dalam kawasan hutan di lereng Gunung Bawakaraeng memerlukan izin kepala dusun dan petugas instansi kehutanan, terutama jika harus sampai menebang pohon. “Itu lahan kentang sampai ke atas bukit baru tiga tahun terakhir,” ucap Anwar yang tak mengetahui instansi kehutanan yang dimaksud.
Bupati Gowa Adnan Purichta Ichsan mengungkapkan, kewenangan pengawasan hutan baik itu yang berstatus konservasi, lindung, maupun produksi bukan di tingkat pemerintah kabupaten. “Untuk itu, kami tidak memiliki taring kewenangan untuk melarang orang melakukan alih fungsi lahan. Di Malino yang sudah jelas-jelas dilarang ada alih fungsi saja masih ada vila. Padahal, saya tidak pernah menerbitkan IMB (izin mendirikan bangunan)-nya,” ungkap Adnan.
Adnan mengakui, kerusakan lingkungan di hulu Jeneberang memiliki pengaruh besar terhadap potensi bencana banjir di area hilir sungai. Jika tidak segera ditangani, bencana banjir akan menjadi rutinitas setiap curah hujan tinggi. “Masalahnya, kemampuan kita merehabilitasi lahan lebih kecil dibanding kecepatan terjadinya kerusakan lahan,” kata Adnan.
Baca juga : Hulu Harus Diperbaiki
Tambang pasir
Tidak hanya di hulu, di bagian tengah sungai Jeneberang, wajah sungai berubah akibat aktivitas tambang pasir yang marak. Kondisi ini dikhawatirkan merusak sabo dam yang berfungsi untuk mengendalikan sedimen sungai. Terdapat 29 sabo dam di atas Bendungan Bili-bili.
Dari 29 sabo dam tersebut, Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Pompengan-Jeneberang mencatat terdapat 4 sabo dam yang rusak. Salah satunya di Desa Lanna, Kecamatan Parang Loe, Kabupaten Gowa. Ahli Hidrologi Unhas Farouk Maricar menyebutkan, tambang pasir dapat merusak sabo dam jika lokasi penambangannya terlalu dekat. Sabo dam adalah bangunan dam yang berfungsi sebagai pengendali sedimen sungai.
Berdasarkan data Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sulsel, terdapat 18 izin usaha pertambangan (IUP) yang diterbitkan di sepanjang Sungai Jeneberang dengan luas mencapai 254,24 hektar. Tambang itu tersebar di Kecamatan Parang Loe dan Manuju, Kabupaten Gowa. Para pemilik tambang tersebut ada yang berskala perusahaan hingga perorangan.
Kepala Dinas ESDM Sulsel Gunawan Palaguna mengatakan, praktik penambangan pasir diperbolehkan dan diatur dalam UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara. Ia menilai, tambang pasir juga dapat mengurangi tingkat sedimentasi di sungai.“Jeneberang ini bisa dibilang diberkahi pasir dan batuan yang melimpah dari Gunung Bawakaraeng,” ucap Gunawan.
Untuk bisa mengantongi IUP, pengusaha harus memiliki sejumlah rekomendasi, yakni dari Dinas ESDM Sulsel, Balai Besar Wilayah Sungai Pompengan-Jeneberang, dan Pemerintah Kabupaten Gowa. Rekomendasi diberikan jika lokasi dan kaidah penambangan sesuai aturan. Namun, selain tambang pasir berizin, di Jeneberang juga marak penambangan ilegal yang biasanya melakukan penambangan secara manual tanpa alat berat.
Kendati demikian, Gubernur Sulsel Nurdin Abdullah menyebutkan, tambang pasir dapat merusak sabo dam jika areal dan aktivitas penambangan tidak sesuai dengan kaidah yang ditentukan. “Karena menambangnya terlalu dekat dengan bangunan (sabo dam) maka bangunan ini roboh,” kata Nurdin, saat ditemui, Rabu (6/2/2019).
Untuk itu, Nurdin memastikan akan mengevaluasi seluruh tambang pasir yang berizin dengan melihat ulang areal konsesi dan praktik penambangannya. Dia juga akan memperketat perizinan. “Kalau itu (yang ilegal) tidak ada ampun sama sekali. Akan kita tertibkan. Kapolda juga bilang ada kejahatan lingkungan di Gowa,” ucap Nurdin.
Selain alih fungsi lahan yang masif di hulu dan tambang pasir yang marak di bagian tengah sungai, kondisi hilir Jeneberang juga diliputi persoalan. Badan sungai dipenuhi sedimen di kanan-kiri sungai. Sedimen tersebut digunakan untuk areal pertanian, perkebunan, hingga hunian liar.
Kondisi tersebut terlihat di Desa Parang Tambung, Kecamatan Lamalate, Kota Makassar. Bahkan, terdapat empat rumah yang hanyut terseret arus Jeneberang ke arah hilir. Pihak BBWS Pompengan-Jeneberang telah berkirim surat ke Pemerintah Kota Makassar dan Pemerintah Kabupaten Gowa untuk menertibkan bangunan yang berdiri di atas bantaran sungai. Namun, belum ada tindak lanjut terkait hal itu.
Debit air
Kepala Laboratorium DAS Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin Usman Arsyad menilai, salah satu parameter kerusakan DAS Jeneberang adalah rentang selisih debit air sungai saat musim hujan dan musim kemarau begitu jauh. Ciri-ciri DAS dalam kondisi baik jika selisih debit air sungai pada musim hujan tidak lebih 50 kali lipat dari debit air saat kemarau.
Menurut Usman, saat musim hujan, debit air tinggi berpotensi meluap. Sedangkan saat kemarau aliran sungai mengering. Dengan kata lain, tidak adanya area resapan membuat air langsung mengucur ke sungai saat musim hujan sedangkan saat kemarau tidak ada air tanah yang mengalir ke sungai.
Baca juga : Mereka Hidup Dibayangi Bencana
Merujuk data BBWS Pompengan-Jeneberang yang dirilis Januari 2019, debit maksimal aliran Sungai Jeneberang yang terjadi saat musim hujan mencapai 3.198,18 meter kubik per detik. Adapun debit minimal yang terjadi pada musim kemarau 6,5 meter kubik per detik. Selisih antara debit maksimal dengan minimal mencapai 3.191,68 meter kubik.
Ditemui Rabu (6/2/2019), Kepala Bidang Perencanaan Umum dan Program BBWS Pompengan-Jeneberang Hasrawati Rahim mengakui, data rentang selisih debit air tersebut menegaskan kerusakan DAS Jeneberang. Jumlah debit air sungai maksimal setara dengan 492,02 kali lipat dari debit air minimal.
Kerusakan DAS Jeneberang ini juga tercermin dari tingginya sedimentasi di Jeneberang dan Bendungan Bili-bili. Ketika curah hujan tinggi terjadi pada 22 Januari lalu, bendungan yang berfungsi sebagai pengendali banjir pun tak mampu lagi menampung air.
Pada 22 Januari 2019 pukul 20.00, elevasi air di bendungan mencapai 101,87 meter sehingga ditetapkan status Siaga. Kondisi itu membuat pintu Bendungan Bili-bili terpaksa dibuka agar bendungan tidak jebol. “Kalau sampai elevasinya 103 meter maka masyarakat di hilir harus dievakuasi,” ucap Hasrawati.