Federer Pernah Khawatir Tak Bisa Juara
Seratus gelar juara didapat Roger Federer (37) ketika menjuarai turnamen ATP World Tour 500 Dubai, Uni Emirat Arab. Jumlah itu menempatkannya di urutan kedua sebagai tunggal putra dengan gelar terbanyak dalam era terbuka setelah Jimmy Connors dengan 108 gelar. Siapa sangka, pada masa mudanya Federer khawatir tak bisa menjadi juara.
”Saya tidak bercanda jika saya ceritakan bahwa saya pernah berharap tidak frustrasi karena menjadi petenis yang tak pernah juara,” kata Federer, setelah gelar juara yang ke-100 didapat ketika mengalahkan Stefanos Tsitsipas dalam final di Dubai. Pada final, Sabtu (2/3/2019), Federer menang 6-4, 6-4, atas petenis yang mengalahkannya pada babak keempat Australia Terbuka, Januari.
Federer, petenis kelahiran 8 Agustus 1981, baru mulai bermain tenis pada usia 8 tahun. Dia memulainya pada usia lebih tua dibandingkan dengan dua rivalnya, Rafael Nadal dan Novak Djokovic, yang bermain tenis masing-masing pada usia 4 tahun.
Pernah menjadi ball boy pada turnamen ATP Basel—turnamen yang akhirnya memberi sembilan gelar juara—pada 1993 dan 1994, Federer mulai bersaing di arena profesional pada 1998. Turnamen di Gstaad, Swiss, menjadi ajang untuk penampilan pertamanya dalam turnamen profesional. Dia langsung kalah pada babak pertama.
Anak kedua dari Robert Federer (Swiss-Jerman) dan Lynette Federer (Afrika Selatan) itu mendapat kesempatan pertama menjuarai ATP Tour saat tampil pada final di Marseille, Perancis, tahun 2000.
Saya tidak bercanda jika saya ceritakan bahwa saya pernah berharap tidak frustrasi karena menjadi petenis yang tak pernah juara.
Federer yang berusia 18 tahun tinggal membutuhkan dua poin untuk mengalahkan seniornya, Marc Rosset, pada tie-break set ketiga. Namun, dia kehilangan poin saat bola dari forehand inside-out bisa menyeberangi net. Federer kalah, 6-2, 3-6, 6-7 (5).
Federer, yang sangat kecewa dengan kekalahan itu, tersenyum saat Rosset menghiburnya. ”Saya menangis saat Marc mengatakan, ’Jangan khawatir, suatu saat kamu akan juara’,” kata Federer. ”Yeah… kamu mudah sekali untuk mengatakannya.”
Kesempatan kedua juga gagal membuahkan gelar juara saat tampil dalam final di Basel 2001. Federer kalah lima set dari Thomas Enqvist (Swedia).
Setelah tampil dalam 59 turnamen, termasuk Grand Slam, gelar pertama dari rangkaian turnamen ATP Tour akhirnya didapat di Milan, Januari 2001. Pada usia 19 tahun, dia mendapat trofi juara pertamanya setelah mengalahkan Julien Boutter (Perancis) di final.
”Momen ini (juara untuk ke-100 kali) mengingatkan betapa saya sangat ingin menjadi juara di Milan. Saya lega karena akhirnya tak menjadi petenis yang gagal memanfaatkan talenta dengan tak pernah juara. Meraih gelar ke-100 membuat saya sedikit tak percaya jika mengingat perjalanan berat di awal karier,” tutur Federer.
Di hadapan anggota Kerajaan Dubai, trofi besar berbentuk perahu menjadi simbol gelar juara. Panitia turnamen juga menyiapkan papan dengan bentuk angka 100 saat Federer menjalani sesi foto.
”Saya tidak menandai trofi yang spesial, seperti trofi kesatu, ke-25, ke-50, dan seterusnya. Saya rasa, trofi ini akan mendapat tempat yang biasa seperti yang lain. Namun, trofi ini tentu akan mendapat tempat karena spesial dan akan mencolok karena memakan tempat,” kata Federer.
Federer datang ke Dubai tanpa target juara. Apalagi, tujuh pesaing lain yang menjadi delapan unggulan bersama dirinya adalah petenis-petenis berperingkat 20 besar dunia.
Penampilan terakhir sebelum datang ke Dubai, yaitu saat kalah dari Tsitsipas pada babak keempat Australia Terbuka, juga menjadi pertimbangannya. ”Saya hanya berusaha menikmati pertandingan dan senang bisa tampil dengan baik di final. Apalagi, ini menjadi turnamen pertama saya setelah Australia Terbuka,” katanya dalam laman resmi ATP.
Menyadari telah menginjak usia 37 tahun, Federer tak terlalu berambisi untuk menambah deretan rekor yang telah dibuatnya, termasuk 20 gelar Grand Slam. Setelah tersingkir di Australia Terbuka, Federer bahkan mengatakan, dirinya sudah tak mungkin lagi menciptakan kejutan dalam turnamen besar.
Motivasinya untuk meneruskan kariernya adalah kecintaan pada tenis. Olahraga ini telah menjadi bagian dari hidupnya. Federer pun hanya ingin menikmati setiap laga sambil menyeimbangkan dengan peran sebagai suami dan ayah dari empat anak.
Mengejar Connors
Gelar juara ke-100 menjadikan Federer sebagai tunggal putra kedua, dalam era terbuka, yang bisa mengumpulkan gelar juara dalam jumlah tiga digit. Sebelumnya, ada Jimmy Connors (AS) yang mendapat 109 gelar juara pada rentang 1972 hingga 1989, yaitu dalam usia 20-37 tahun.
”Selamat datang di klub peraih juara turnamen dengan tiga digit. Saya sedikit kesepian dan saat ini senang karena mendapat teman,” ujar Connors dalam akun Twitter-nya. Ucapan selamat juga disampaikan legenda tenis lainnya, Rod Laver.
Gelar juara ke-100 menjadikan Federer sebagai tunggal putra kedua, dalam era terbuka, yang bisa mengumpulkan gelar juara dalam jumlah tiga digit.
Federer dan Connors telah menjadi bagian dari sejarah tenis. Mereka mencapainya dengan cara berbeda. Connors, yang aktif bertanding pada 1972-1996, adalah sosok yang membawa tenis pada ”perang psikologi”.
Connors, yang saat ini berusia 66 tahun, sering memprotes keputusan hakim garis. Namun, dia adalah petenis yang hebat yang akan selalu menyulitkan lawannya.
Federer adalah sosok yang berbeda. Dia selalu tampil tenang. Sangat jarang penonton tenis melihat Federer mengeluarkan ”sumpah serapah”.
Dalam era ketika banyak petenis yang memiliki servis keras dan pukulan serang dari baseline, gaya bermain indah dan elegan membawa Federer pada kejayaan meski akan menginjak usia 38 tahun pada 8 Agustus nanti.
Dia pun masih mampu mengalahkan petenis-petenis NextGen, sebutan untuk petenis berusia 22 tahun ke bawah yang berada di peringkat 200 besar dunia.
Menjelang Australia Terbuka 2009, The Game Insight Group (GIG) mengeluarkan statistik tentang kelebihan setiap petenis bintang. GIG adalah tim ahli yang dibentuk oleh Tennis Australia, bekerja sama dengan Universitas Victoria, yang menganalisis tenis melalui ilmu pengetahuan.
Statistik yang diberi nama ”Player DNA” itu memberi nilai tinggi untuk kemampuan teknik, taktik, dan mental Federer, masing-masing dengan 96 dari 100 poin. Angka-angka tersebut mengalahkan kondisi fisik yang bernilai 82.
Dari semua peserta tunggal putra Australia Terbuka, Federer hanya menempati peringkat ke-18 pada faktor fisik. Namun, dia menjadi yang teratas pada teknik (servis, pengembalian servis, forehand, backhand), serta peringkat kedua pada taktik dan mental. Insting untuk ”membunuh”, salah satu indikator, mental, bahkan, mencapai nilai hampir sempurna, yaitu 99.
Saat Federer bertanding, penonton selalu melihat kemampuannya dalam mengarahkan pukulan dengan sudut lebar yang sulit dijangkau lawan, backhand satu tangan yang tajam, serta drop shot yang selalu menipu. Kecepatan dalam membaca arah bola, lalu mengeksekusinya, dinilai pelatih Serena Williams, Patrick Mouratoglou, sebagai yang terbaik.
Melihat Federer tampil seperti melihat penari dengan gerakan-gerakan indah dan elegan. Tak heran, dia pun dijuluki maestro.
Kemampuan itu dan dedikasi untuk tenis mempertahankan Federer pada peringkat 10 besar dunia sejak 2002 hingga 2019. Hanya pada November 2016-Januari 2017, dia terlempar dari 10 besar setelah absen pada setengah musim terakhir 2016 karena cedera.
Itu pun cedera pinggul dan lutut yang dialami, hingga membuatnya menjalani operasi, tak terjadi saat bertanding atau berlatih. Federer jatuh saat memandikan putri kembarnya.
Dalam peringkat dunia, Federer tak tergeser di puncak peringkat sejak 2 Februari 2004 hingga Rafael Nadal menggantikannya pada 18 Agustus 2008. Total selama 310 pekan di peringkat teratas menempatkannya sebagai tunggal putra nomor satu dunia terlama.
Setelah mencapai tiga digit gelar juara, pertanyaan pun muncul. Apakah Federer akan melewati rekor Connors?
Melihat empat gelar juara yang diraih pada 2018 serta tujuh gelar pada musim sebelumnya—Federer tak menjuarai apa pun pada 2016—kemungkinan itu bisa saja terwujud. Apalagi, dia belum memperlihatkan tanda akan segera pensiun.
”Saya tidak fokus pada rekor meski saat memperolehnya tetap menyenangkan. Apa yang dicapai Jimmy sangat luar biasa dan membanggakan. Saya pun bangga dengan apa yang telah saya lakukan hingga saat ini. Yang terpenting untuk saya saat ini adalah saya bisa tetap sehat,” katanya.