JAKARTA, KOMPAS — Neraca transaksi berjalan masih akan defisit kendati diperkirakan lebih menyempit dibandingkan tahun lalu. Untuk memperkecil dampak ke ekonomi domestik, defisit transaksi berjalan mesti diimbangi arus modal masuk.
Senior ASEAN Economist UBS Investment Bank Edward Teather mengatakan, upaya memperbaiki defisit transaksi berjalan masih cukup menantang. Tahun ini, laju pertumbuhan impor tetap akan lebih tinggi dibandingkan ekspor karena menyesuaikan kebutuhan industri dan pembangunan infrastruktur.
”Ekspor akan tumbuh perlahan pada semester II-2019 merespons perekonomian global yang mulai kondusif,” kata Edward dalam konferensi pers UBS Indonesia Conference 2019 di Jakarta, Selasa (5/3/2019).
Mengutip data Bank Indonesia (BI), defisit transaksi berjalan pada triwulan IV-2018 sebesar 9,1 miliar dollar AS atau 3,57 persen produk domestik bruto (PDB). Defisit itu lebih besar dari triwulan III-2018 karena laju impor barang nonmigas lebih tinggi dari ekspor.
Selain neraca dagang, defisit transaksi berjalan triwulan IV-2018 juga disebabkan defisit neraca jasa 1,6 miliar dollar AS dan neraca pendapatan primer 7 miliar dollar AS. Secara keseluruhan, defisit transaksi berjalan pada Januari-Desember 2018 sebesar 31,1 miliar dollar AS atau 2,98 persen PDB.
Berdasarkan hasil riset UBS Investment Bank, kata Edward, defisit transaksi berjalan dapat menyempit hingga 2,6 persen PDB. Sebab, gejolak di perdagangan internasional seharusnya tidak berdampak signifikan karena keterlibatan Indonesia dalam rantai pasok global relatif kecil. Kondisi berbeda akan dialami negara-negara kawasan Asia Tenggara yang sistem ekonominya lebih terbuka.
”Meski demikian, rantai pasok global kini mulai bergeser menuju Indonesia. Sementara itu, Jepang, Taiwan, dan Korea masih menjadi tujuan utama,” kata Edward.
Defisit transaksi berjalan dapat menyempit hingga 2,6 persen PDB. Sebab, gejolak di perdagangan internasional seharusnya tidak berdampak signifikan karena keterlibatan Indonesia dalam rantai pasok global relatif kecil.
Edward menambahkan, perbaikan defisit transaksi berjalan yang masih menantang mesti dibarengi arus modal masuk ke dalam negeri. Tujuannya untuk memperkecil dampak defisit terhadap perekonomian domestik. Investasi yang dibidik berupa penanaman modal asing ataupun investasi portofolio.
Sebelumnya, Direktur Eksekutif Kepala Departemen Statistik BI Yati Kurniati mengatakan, tantangan memperbaiki defisit transaksi berjalan pada triwulan I-2019 masih cukup berat. Kondisi itu dipengaruhi kinerja ekspor yang belum optimal, pertumbuhan ekonomi global yang melambat, serta penurunan harga komoditas global.
”Kendati cukup menantang, bukan berarti ruang perbaikan tidak ada. BI menargetkan defisit transaksi berjalan tahun ini 2,5 PDB,” kata Yati.
Menurut Yati, kebijakan pemerintah belum berdampak signifikan terhadap perbaikan defisit transaksi berjalan karena implementasi baru dimulai triwulan IV-2018, seperti B20 dan penundaan sebagian pembangunan infrastruktur. Dampak kebijakan baru dari pariwisata yang tecermin dalam peningkatan ekspor jasa perjalanan dari 13,1 miliar dollar AS (2017) menjadi 14,1 miliar dollar AS (2018).
Ekonomi melambat
Country Head UBS Investment Bank Indonesia Joshua Tanja mengatakan, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2019 diproyeksikan melambat kendati masih pada level 5 persen. UBS Investment Bank memproyeksikan ekonomi tumbuh pada kisaran 5,0-5,2 persen tetap lebih tinggi dibandingkan negara-negara di kawasan Asia Tenggara.
”Ekonomi cenderung tumbuh melambat, tetapi akan terdorong oleh investasi,” kata Joshua.
Ekonomi cenderung tumbuh melambat, tetapi akan terdorong oleh investasi.
Menurut Joshua, keputusan Bank Indonesia menahan suku bunga acuan sebesar 6 persen diyakini mampu menarik arus modal masuk. Masuknya investasi portofolio secara bertahap akan diikuti investasi asing langsung. Investasi menjadi komponen pertumbuhan ekonomi yang paling mungkin untuk ditingkatkan. Kontribusi dari konsumsi rumah tangga cenderung stagnan.
Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Thomas Trikasih Lembong menambahkan, pemerintah fokus menjaga iklim investasi melalui pemberian insentif dan penyederhaan prosedur kemudahan berusaha. Implementasi sistem perizinan terintegrasi secara online (online single submission/OSS) kini masih dalam tahap sinkronisasi antara pemerintah pusat dan daerah.
Berdasarkan data BKPM, realisasi investasi pada Januari-Desember 2018 sebesar Rp 721,3 triliun atau meningkat 4,1 persen secara tahunan. Namun, pertumbuhan investasi tahun 2018 lebih rendah dari tahun 2017 yang mencapai 10 persen.