BEKASI, KOMPAS – Warga Desa Burangkeng, Kecamatan Setu, Kabupaten Bekasi, menutup Tempat Pembuangan Akhir Sampah Burangkeng mulai Senin (4/3/2019) hingga batas waktu yang tidak ditentukan. Warga menuntut kompensasi atas keberadaan tempat pembuangan akhir sampah dan pengelolaannya yang amburadul.
Sekretaris Desa Burangkeng, Setu, Kabupaten Bekasi, Ali Gunawan, mengatakan, penutupan dan pendudukan Tempat Pembuangan Akhir Sampah (TPA) Burangkeng, Kabupaten Bekasi, itu sudah dimulai sejak Senin pagi. Selain mencegah truk sampah masuk, mereka juga membubarkan para pegawai Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) TPA Burangkeng. Praktis tidak ada aktivitas pembuangan sampah maupun administrasi di sana.
Ali menambahkan, aksi tersebut merupakan kelanjutan dari demonstrasi warga pada Rabu (13/2). Saat itu, sejumlah warga menutup jalan masuk truk sampah dari pagi sampai sore, sehingga seluruh truk sampah Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bekasi tak bisa membongkar muatannya. Mereka menuntut perbaikan pengelolaan TPA dan perbaikan infrastruktur lingkungan yang rusak karena aktivitas TPA.
“Setelah demonstrasi tersebut, kami membentuk Tim 17 yang beranggotakan 17 orang. Tugas kami adalah menampung aspirasi seluruh warga Burangkeng terkait keberadaan TPA,” kata Ali yang juga menjabat sebagai Ketua Tim 17.
Tim 17 juga tidak hanya menampung aspirasi dari beberapa kampung yang terdampak langsung keberadaan TPA, tetapi juga warga di seluruh penjuru desa yang terdiri dari 10.000 kepala keluarga dan 28.000 jiwa.
Menurut dia, sebagian besar warga menginginkan agar TPA ditutup. Oleh karena itu, melalui Surat Nomor 01/Perm/T17/II/2019 yang ditujukan kepada UPTD TPA Burangkeng, warga meminta penghentian aktivitas TPA dilakukan sendiri oleh para pengurus. Akan tetapi, hal tersebut tidak dilakukan, sehingga warga pun bertindak.
“Penutupan dan pendudukan ini akan kami lakukan sampai batas waktu yang tidak ditentukan, sampai ada kesepakatan tertulis antara Pemerintah Kabupaten Bekasi dan warga,” kata Ali. Warga akan bergantian untuk memastikan TPA bebas dari aktivitas pemerintah.
Ali menambahkan, warga belum memiliki tuntutan spesifik. Mereka justru menunggu inisiatif dari Pemkab untuk merumuskan bentuk-bentuk kompensasi.
Mintarnandum (48), warga Desa Burangkeng, mengatakan, selama 23 tahun warga tidak pernah mendapatkan kompensasi. Baik dalam bentuk materiil maupun perbaikan lingkungan.
TPA Burangkeng seluas 11,6 hektare berdiri di tengah permukiman warga. Sampah memang tidak terpusat di gunungan saja, tetapi juga berceceran di sepanjang jalan. Akibatnya, lalat berkerumun dimana-mana, begitu juga bau busuk yang menyebar ke seluruh penjuru TPA. Selain itu, jalan di sekitar TPA retak dan berlubang, tidak ada penerangan jalan, saluran air di sekitar permukiman pun tidak ada.
“Jika Pemkab Bekasi tidak ada perhatian, lebih baik kami tutup saja TPA ini. Tanpa TPA, desa kami akan bersih dan indah,” kata Mintarnandum.
Dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, setiap orang berhak mendapatkan perlindungan dan kompensasi karena dampak negatif dari kegiatan tempat pemrosesan akhir sampah. Selain itu, mengenai kompensasi juga diatur dalam Pasal 25 UU No 8/2018.
Dalam pasal tersebut, pemerintah dan pemerintah daerah dapat memberikan kompensasi kepada orang yang terdampak negatif aktivitas tempat pemrosesan akhir sampah. Adapun kompensasi dapat berupa relokasi, pemulihan lingkungan, biaya kesehatan dan pengobatan, atau kompensasi dalam bentuk lain.
Tuntutan atas kompensasi dan perbaikan pengelolaaan TPA Burangkeng pun sudah terjadi sejak 2004, tiga tahun setelah TPA itu diresmikan. Saat itu, warga Kampung Cinyosok dan Kampung Jati yang paling dekat dengan TPA memasang portal agar truk sampah tidak bisa masuk. Mereka enggan membuka portal tersebut sampai Bupati Bekasi Saleh Manaf mau datang dan melihat pengelolaan sampah yang buruk (Kompas, 1/3/2004).
Setelah itu, aksi serupa dilakukan oleh warga setiap tahun. Namun, tidak ada perubahan kondisi TPA.
“Kami juga marah, karena areal ini sudah dipakai sebagai tempat pembuangan sampah sejak 1995, beberapa tahun sebelum diresmikan. Waktu itu izinnya bukan untuk TPA melainkan untuk membangun kandang ayam,” kata Ali.
Kepala Bidang Kebersihan Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bekasi Dodi Agus Suprianto mengapresiasi langkah warga. Menurut dia, kompensasi terhadap masyarakat yang terdampak aktivitas TPA memang telah diatur dalam UU Nomor 8/2018. Namun, selama ini pemerintah belum menyediakannya.
Selain itu, ia berharap warga tidak hanya berdemonstrasi. Pendataan mengenai jumlah warga terdampak juga diperlukan. “Oleh karena itu, kami mengundang warga untuk mendiskusikan ihwal TPA pada Rabu (6/3/2019) di kantor Pemkab Bekasi,” kata Dodi.
Pihaknya pun tengah berusaha menegosiasikan agar sampah bisa tetap dibuang ke TPA. Sebab, penutupan dan pendudukan TPA Burangkeng hari ini telah melumpuhkan pembuangan sampah. Akibatnya, sebanyak 800 ton sampah terbengkalai di seluruh penjuru kabupaten.