JAKARTA, KOMPAS - Sokongan induk usaha membuat Standard Chartered Bank Indonesia tidak mengkhawatirkan isu likuiditas. Tahun ini, perusahaan optimistis dana pihak ketiga tetap akan tumbuh, sejalan dengan pertumbuhan penyaluran kredit.
Sepanjang 2018, himpunan dana pihak ketiga (DPK) Standard Chartered Bank Indonesia tumbuh stagnan di posisi Rp 29,87 triliun dibanding tahun sebelumnya Rp 29,73 triliun. Sementara, penyaluran kredit sepanjang 2018 sebesar 32,24 triliun tumbuh 17 persen dibandingkan tahun sebelumnya sebesar Rp 27,55 triliun.
Ketimpangan pertumbuhan tersebut membuat rasio kredit terhadap pendanaan atau loan to funding ratio (LFR) sepanjang tahun lalu melonjak menjadi 96,36 persen. Posisi ini melebihi batas kewajaran LFR yang ditetapkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebesar 94 persen.
Chief Executive Officer Standard Chartered Bank Indonesia, Rino Donosepoetro, mengatakan perusahaan akan mengoptimalkan sumber pendanaan lain untuk melonggarkan likuiditas. Di sisi lain pertumbuhan DPK sebabkan beban bunga dari dana yang dihimpun ikut menurun dibandingkan tahun sebelumnya.
“LFR bukan tolak ukur likuiditas. Kami juga punya sumber pendanaan lain selain DPK. Secara grup kami kuat dari segi pendanaan sehingga tidak khawatir soal likuiditas,” ujarnya di Jakarta, Senin (4/3/2019).
Beban bunga yang harus dikeluarkan Standard Chartered Bank Indonesia sepanjang 2018 sebesar Rp 1,31 triliun, menurun 22 persen dari tahun sebelumnya Rp 1,68 triliun. Hal ini membuat marjin bunga bersih (NIM) mereka tumbuh 4,38 persen sepanjang tahun lalu, meski pendapatan bunga menurun 7 persen dari Rp 3,92 triliun pada 2017 menjadi Rp 3,64 triliun pada 2018.
Chief Financial Officer Standard Chartered Bank Indonesia, Anwar Harsono, yakin momentum pertumbuhan ekonomi domestik akan berlanjut tahun ini. Hal dinilai dapat menopang pertumbuhan DPK agar sejalan dengan pertumbuhan penyaluran kredit.
“Kami akan terus mengelola likuiditas dengan menjaga pendanaan secara optimal agar permodalan tetap kuat dan terjaga,” kata Anwar.
Kami akan terus mengelola likuiditas dengan menjaga pendanaan secara optimal agar permodalan tetap kuat dan terjaga.
Standard Chartered Bank Indonesia tetap mengandalkan dana murah (CASA) berupa tabungan dan giro untuk menghimpun DPK sepanjang tahun ini. Tahun lalu porsi dana murah sebesar 67,45 persen terhadap total dana DPK atau sekitar Rp 20,15 triliun.
“Bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya posisi CASA tahun 2018 turun 10 persen, tapi itu karena ada penarikan dana besar-besaran jelang tahun baru. Tahun ini kami tetap yakin pertumbuhan DPK akan mencapai dua digit,” kata Anwar.
Laba bersih
Laba bersih Standard Chartered Bank Indonesia sepanjang 2018 sebesar Rp 536 miliar, atau tumbuh 371 persen dari 2017. Rino menilai pertumbuhan laba itu menunjukkan restrukturisasi bisnis yang dilakukan sejak 2017 berhasil.
Pada pertengahan 2017, Standard Chartered Bank Indonesia mengubah segmentasi penyaluran kredit dari ritel konsumer ke korporasi. Restrukturisasi tersebut membuat pendapatan dari segmen korporasi meningkat 36 persen sepanjang tahun lalu.
“Di segmen itu kami fokus memperdalam penetrasi korporasi-korporasi multinasional, meningkatkan partisipasi dalam mendukung proyek-proyek pemerintah termasuk infrastruktur, dan mengembangkan ekosistem perbankan,” kata Rino.
Kami fokus memperdalam penetrasi korporasi-korporasi multinasional, meningkatkan partisipasi dalam mendukung proyek-proyek pemerintah termasuk infrastruktur, dan mengembangkan ekosistem perbankan.
Selain itu, penurunan rasio kredit macet (NPL) dari tahun 2017 sebesar 3,9 persen menjadi 2,22 persen pada 2018 turut berdampak signifikan pada pertumbuhan laba bersih.
Anwar mengatakan penurunan NPL, turut membuat dana cadangan wajib perbankan untuk mengantisipasi kerugian (loan impairments) yang ditentukan regulator menurun 61 persen dari Rp 897 miliar pada 2017 menjadi hanya Rp 350 miliar pada 2018.