Pulihkan Status Daerah Bencana demi Peningkatan Kunjungan Wisman
Oleh
Pascal S Bin Saju
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Jumlah wisatawan mancanegara dan tingkat keterisian hotel di Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Tengah, Banten, dan Lampung menurun pascabencana tsunami dan gempa bumi. Untuk mendongkrak kembali sektor pariwisata, Menteri Pariwisata Arief Yahya, Senin (4/3/2019), mendesak agar status wilayah-wilayah tersebut dikembalikan ke normal.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), sebanyak 1,16 juta wisatawan mancanegara (wisman) mengunjungi Indonesia selama Januari 2019, naik 5,22 persen dibandingkan pada Januari 2018. Sebanyak 743.949 wisman masuk melalui jalur udara atau meningkat dari 645.605 dari tahun sebelumnya.
Namun, wisman yang masuk melalui Bandara Internasional Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB), turun 62,02 persen menjadi 2.102 pada Januari 2019. Pada Januari 2018, total wisman mencapai 5.535. Tren merosot ini mulai terjadi setelah gempa bumi yang mengguncang pulau tersebut pada Juli 2018.
Tingkat hunian kamar hotel pun juga menurun di NTB, dari 37,91 persen pada Januari 2018 menjadi 30,85 persen pada Januari 2019. Pelemahan indikator pariwisata ini juga dirasakan di Sulawesi Tengah setelah gempa dan tsunami di Palu dan Donggala pada September 2018. Hanya 35,51 persen kamar yang terisi pada Januari 2019, turun 9 persen dari tahun sebelumnya.
Sementara itu, data keterisian kamar di Banten dan Lampung tidak tercatat oleh BPS. Pada 22 Desember 2018, letusan Gunung Anak Krakatau mengakibatkan longsoran. Tsunami yang tercipta akibat longsoran itu menerjang pesisir Banten dan Lampung.
Menurut Menpar Arief, penetapan status waspada, siaga, ataupun awas bencana di beberapa daerah tersebutlah yang menyebabkan penurunan jumlah wisman. ”Hipotesis saya, statuslah yang menyebabkan angka okupansi kamar drop drastis. Masyarakat tidak mengerti bahasa status, cuma tahu kalau di sana bahaya,” katanya.
Menurut Arief, okupansi kamar hotel di beberapa daerah Banten, seperti Anyer, Tanjung Lesung, dan Carita, terjun bebas ke bawah 10 persen. Ia menilai, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) belum mengumumkan secara jelas keamanan berkunjung ke Banten karena status Gunung Anak Krakatau masih Awas. Radius aman juga belum dinyatakan secara tegas.
Ia mengingatkan, dampak status Siaga letusan Gunung Agung di Bali menyebabkan Bali kehilangan 1 juta pengunjung yang daya belinya mencapai 1.000 dollar AS per kunjungan. Saat itu, 14 negara mengeluarkan peringatan perjalanan bagi warganya, termasuk China.
Menpar berjanji akan mengunjungi Banten setiap bulan untuk memantau perkembangan pariwisata pada setiap bulan. Kunjungan selanjutnya adalah pada 1 April mendatang.
Pada 2018, jumlah wisatawan ke Indonesia mencapai 15,8 juta, naik dari 14 juta pada 2017. Tren meningkat bertahan sejak 2015. Devisa dari pariwisata pada 2017 pun mencapai 202 miliar dollar AS, meningkat dari 176 miliar dollar AS pada 2016 dan 175 miliar dollar AS pada 2015.
Dihubungi secara terpisah, Kepala Pusat Data Informasi dan Hubungan Masyarakat BNPB Sutopo Purwo Nugroho menyatakan, status yang ditetapkan bagi daerah-daerah di Lombok, Lampung, Banten, dan Sulawesi Selatan saat ini adalah transisi darurat menuju pemulihan. Status ini sebatas administratif untuk mempercepat penanganan bencana.
”Ada pemahaman yang salah dari Pak Menteri (Arief). Kepala daerah menetapkan status darurat untuk memudahkan akses penggunaan anggaran, pengerahan personel, peralatan, logistik, dan sebagainya. Tidak ada kaitannya dengan kerawanan bencana,” kata Sutopo.
Sutopo menegaskan, aktivitas Gunung Anak Krakatau sudah menurun drastis sejak pertengahan Januari lalu dan tidak ada letusan besar. Potensi longsor juga sudah sangat kecil sehingga wisatawan bisa kembali berlibur ke daerah pesisir Banten yang berbatasan dengan Selat Sunda.
Sutopo mengatakan, pariwisata sangat penting sebagai sumber devisa negara. Karena itu, masyarakat dianjurkan mengikuti pernyataan BNPB atau lembaga kebencanaan lainnya, seperti Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi.
Di sisi lain, Sutopo juga berharap para elite pemerintahan tidak membuat pernyataan yang membuat masyarakat takut berwisata ke daerah rawan bencana. (KRISTIAN OKA PRASETYADI)