Mampu Memadamkan Api, tetapi Masih Minim Solusi
Di Riau, kebakaran lahan dan hutan berkorelasi dengan produksi kelapa sawit. Semakin luas yang terbakar, (beberapa tahun kemudian) produksi kelapa sawit di sana pasti akan meningkat. Memang belum ada penelitian ahli tentang kaitan luas kebakaran dengan produksi, tetapi fakta lapangan berbicara demikian.
Lihat saja di Pulau Rupat, Kabupaten Bengkalis, Riau. Dari tahun 2012 sampai 2015, kebakaran hebat senantiasa terjadi di pulau terluar Indonesia itu. Api di lahan gambut disana menjadi andil bencana asap di Riau. Setelah asap menghilang, lahan terbakar di tanam kelapa sawit.
Menurut Johari (40)—salah seorang along-along atau pedagang sayur dan bahan pokok rumah tangga keliling asal Kota Dumai, yang menyeberang ke Pulau Rupat setiap hari sejak tahun 2012—jumlah truk pengangkut tandan buah segar (TBS) kelapa sawit terus bertambah sepanjang tahun. Awalnya, saat memulai berdagang di Pulau Rupat, paling ada sekitar 20-25 truk TBS menyeberang ke Dumai setiap hari.
Kini pada awal Maret 2019, atau tujuh tahun kemudian, Kompas melihat jumlah truk TBS sudah mencapai 40-50 unit per hari. Artinya, terjadi peningkatan jumlah truk sawit 100 persen.
Kalau rata-rata truk mengangkut 5 ton, produksi sawit Rupat mencapai 200 ton per hari, atau 6.000 ton sebulan. Angka produksi itu bukan rekaan. Itu riil. Keberadaan truk-truk TBS dapat dilihat di Pelabuhan Roro Tanjung Kapal, Kecamatan Rupat, setiap hari.
Pada 2019 ini, kebakaran hebat kembali terjadi di Rupat. Lebih dari 1.000 hektar lahan dilalap api. Bencana asap pun kembali melanda Rupat dan tetangga terdekatnya, Kota Dumai. Nah, mari kita tunggu lima tahun lagi, produksi kelapa sawit Rupat pasti akan membesar dibandingkan dengan sekarang.
Mengapa warga Rupat membakar lahan untuk bertanam kelapa sawit?
Siapa pun tahu, tidak ada cara yang paling mudah dan murah selain api untuk mempersiapkan lahan. Memang ada cara lain, yaitu mekanisasi menggunakan alat berat, tetapi ongkosnya mahal, apalagi untuk ukuran warga Rupat yang rata-rata miskin.
Lihat Video: Dibakar dan Kemarau Penyebab Karhutla
Kemiskinan telah mendorong warga untuk membakar lahan, yang kini dianggap melanggar hukum berkategori kejahatan lingkungan. Kemiskinan dan kejahatan memang erat hubungannya. Filsuf Yunani terkenal, Aristoteles, pernah mengatakan bahwa kemiskinan adalah ibu dari kejahatan.
Cara membakar kini dianggap kontroversial dan menimbulkan bencana buat jutaan orang. Namun, buat pelakunya, hal itu memberi manfaat ekonomi di kemudian hari.
Berkat kelapa sawit, kehidupan warga Rupat menjadi lebih berdenyut. Apalagi peran negara dalam membangun Rupat yang tertinggal dirasakan minim.
Baca juga: ”Along-along”, Saksi Sejarah Perkembangan Pulau Rupat
Kebakaran lahan dan hutan bukanlah persoalan baru. Hampir setiap tahun Riau berasap. Tahun 2015, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyebutkan, sekitar 174.000 hektar lahan dan hutan di Riau terbakar. Pada tahun itu, seluruh udara Riau terpapar asap yang bahkan menyebar ke negara tetangga. Secara keseluruhan, menurut Bank Dunia, bencana asap menyebabkan kerugian Rp 221 triliun.
Sejak 2016, penanggulangan kebakaran memang menjadi lebih terkoordinasi sehingga luas lahan terbakar mengecil dan tidak ada kabut asap dalam skala luas. Namun, bukan berarti tidak terjadi kebakaran. Pada 2018, api masih membakar lahan seluas 5.776 hektar.
Sejak 2016, penanggulangan kebakaran memang menjadi lebih terkoordinasi sehingga luas lahan terbakar mengecil dan tidak ada kabut asap dalam skala luas.
Minim pencegahan
Riko Kurniawan, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia wilayah Riau, menyebutkan, pemerintah memang ”lebih senang” memadamkan api daripada mencegah kebakaran. Kalau ada api, dana pemadaman yang luar biasa besar akan mengalir lancar. Sebaliknya, untuk pemulihan lahan gambut yang rusak, dana seakan menetes dan tidak sepadan dengan kerusakan yang sudah terjadi.
”Sejak 2012 Rupat terbakar, tetapi tidak pernah ada pemulihan gambut di sana. Begitu juga daerah lain yang terbakar, seperti Dumai dan Rokan Hilir,” kata Riko.
Lihat Video: Walhi Aksi Karhutla
Budayawan Riau, Al Azhar, sependapat dengan Riko. Namun, ia menuding bahwa kebakaran juga merupakan kegagalan perguruan tinggi pertanian di Indonesia. Institut pertanian semestinya mampu menyediakan solusi untuk warga agar dapat membuka lahan tanpa membakar.
”Ini menjadi kegagalan institut pertanian di Indonesia. Semestinya perguruan tinggi hadir menjawab persoalan. Selama ini, fakultas pertanian seakan terpisah dari persoalan ekologis kita dan pemerintah memang lebih suka bertindak sebagai pemadam kebakaran,” kata Al Azhar.
Selama ini, fakultas pertanian seakan terpisah dari persoalan ekologis kita.
Al Azhar juga menyoroti setiap tahun selalu ada seminar, diskusi, pertemuan, dan rapat khusus untuk mencari jalan keluar persoalan kebakaran lahan. Selalu muncul solusi secara detail. Namun, tahun depan, solusi ditinggalkan hanya sebagai dokumen berdebu yang tidak disentuh lagi.
Baca juga: Siti Nurbaya: PBB Puji Aksi Nyata Jokowi Kelola Lahan Gambut
”Kebijakan dan solusi itu sudah ada, tetapi penguasa kita terkurung dalam mental retardatif. Selalu lambat dan gemar menjadi pemadam kebakaran semata,” katanya.
Kiprah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) serta Badan Restorasi Gambut (BRG) juga disoroti. Dua instansi ini mewakili pemerintah untuk mempertanggungjawabkan kegagalan mengatasi bencana asap.
Koordinator Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau Made Ali menyebutkan, KLHK dan BRG tidak memiliki konsep yang jelas. Pekerjaan di kedua lembaga itu hanya sibuk mengurusi asap pada musim kering, tetapi kemudian diam membisu pada musim hujan.
”Kebijakan pemerintah memberi ruang kelola lahan kepada masyarakat juga masih sangat rendah, hanya 10 persen. Selebihnya, 90 persen, diberikan untuk kelapa sawit, hutan tanaman industri, dan tambang. Perhutanan sosial dan reforma agraria yang semestinya menjadi solusi tidak berjalan baik. Bahkan, Riau membuat perda tata ruang yang justru mempersulit masyarakat dalam pola perhutanan sosial. Daerah dan pusat tidak sinkron,” kata Made.
Di bagian lain, terutama pendanaan, sektor lingkungan hidup juga belum menjadi urusan wajib buat pemerintah di Riau. Menurut Tarmizi dari Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran Riau, semestinya daerah rawan kebakaran menjadikan isu lingkungan sebagai urusan dasar yang kadarnya sama atau sedikit lebih kecil dari urusan pendidikan dan kesehatan.
”Tahun 2019, ketersediaan dana reboisasi sebesar Rp 19 miliar, 53 persen di antaranya adalah untuk pemadaman. Dana pencegahan tidak banyak, apalagi untuk pemberdayaan masyarakat dan perhutanan sosial yang tidak disediakan. Jadi, terbukti bahwa pemerintah memang lebih suka pemadaman,” kata Tarmizi.
Baca juga: Pemerintah Baru Sebatas Memadamkan Kebakaran Lahan
Dengan kondisi pro-pemadaman, jelas saja persoalan kebakaran lahan dan hutan masih akan terus berlangsung. Ini semakin membuktikan tudingan bahwa negara lebih senang bekerja dengan manajemen ala pemadam kebakaran. Ketika ada api, baru bertindak cepat memadamkannya. Solusi lain yang dapat meringankan beban di kemudian hari masih nanti-nanti dulu.