JAKARTA, KOMPAS — Gagasan Kartu Indonesia Pintar Kuliah berusaha memberi semakin banyak pilihan bagi anak-anak dari kelompok ekonomi lemah agar bisa mengakses pendidikan tinggi. Hendaknya pembentukan kebijakan ini diiringi jaminan bahwa kuliah juga harus bermutu, tidak sekadar masuk perguruan tinggi demi mendapat gelar sarjana.
Wacana mengenai Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah diutarakan oleh Presiden Joko Widodo ketika bertemu dengan warga di Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, akhir pekan lalu. Tujuannya agar akses pendidikan tidak hanya wajib belajar 12 tahun, tetapi juga membuka kesempatan untuk menempuh perguruan tinggi, baik di bidang akademik, vokasi, maupun kedinasan.
Deputi IV Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Agus Sartono ketika ditemui di Jakarta, Senin (4/3/2019), mengatakan, gagasan utamanya adalah pendidikan sebagai wahana yang bisa memberi jalan keluar bagi persoalan kemiskinan dan kesenjangan sosial. Masyarakat yang terdidik berarti memahami tata tertib berbangsa dan bernegara, menjaga kesehatan, dan mampu menerapkan pengasuhan anak yang baik.
Gagasan utama KIP Kuliah adalah pendidikan sebagai wahana yang bisa memberi jalan keluar bagi persoalan kemiskinan dan kesenjangan sosial.
"KIP Kuliah akan menjadi salah satu akses untuk memudahkan kuliah selain Bantuan Pendidikan Siswa Miskin, beasiswa afirmatif pendidikan, beasiswa dari Lembaga Pengelola Dana Pendidikan, dan beasiswa lainnya," ujarnya.
Ia mengatakan, saat ini teknisnya masih dalam pembahasan antara 24 kementerian/lembaga karena KIP Kuliah tidak hanya merupakan urusan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi bersama Kementerian Agama, tetapi juga semua kementerian/lembaga yang memiliki sekolah kedinasan dan politeknik. Juga ada pembahasan dengan sektor industri dan bisnis untuk membuat peta dan prioritas jurusan perkuliahan.
"Jangan sampai penerima manfaat KIP Kuliah hanya asal kuliah. Misalnya, asal diterima di perguruan tinggi tanpa melihat mutunya dan asal memilih jurusan karena ini nanti akan menimbulkan masalah baru," kata Agus.
Data Kemenko PMK menyebutkan, setiap tahun ada 1,2 juta penerima KIP yang lulus dari SMA/SMK/madrasah aliyah. Memang untuk lulusan SMK tidak semua langsung melanjutkan ke perguruan tinggi apabila terserap industri. Akan tetapi, bagi yang memilih untuk kuliah harus ada jaminan kesetaraan akses dan mutu pendidikan.
Pendidikan tinggi hendaknya memberi nilai tambah selain dari ilmu pengetahuan dan keterampilan. Di dalamnya termasuk kesempatan untuk mendapat pekerjaan dengan upah yang layak juga untuk menunda usia pernikahan sehingga cukup waktu menyiapkan fisik dan mental untuk membangun rumah tangga.
Sedikit
Amich Alhumami, Direktur Pendidikan Tinggi, Iptek, dan Kebudayaan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional menjabarkan, baru 30 persen penduduk Indonesia yang saat ini mengenyam bangku kuliah. Dari jumlah itu, 60 persen mahasiswa berasal dari kalangan ekonomi menengah dan atas. Hanya 10 persen mahasiswa yang dari latar belakang miskin dan rentan miskin.
Baru 30 persen penduduk Indonesia yang saat ini mengenyam bangku kuliah. Dari jumlah itu, hanya 10 persen mahasiswa yang dari latar belakang miskin dan rentan miskin.
"Ada tiga penyebab kalangan miskin dan rentan miskin sukar kuliah. Pertama, faktor geografis yang jauh membuat biaya kuliah ditambah biaya hidup sangat tinggi. Kedua, rumah berada di kota yang memiliki perguruan tinggi, namun tidak ada biaya kuliah. Faktor ketiga adalah kombinasi keduanya," katanya.
Menurut dia, siswa penerima KIP di jenjang SMA sederajat dibebaskan dari uang pendaftaran. Misalnya, tidak perlu membayar Rp 200.000 untuk mengikuti Ujian Tulis Berbasis Komputer.
Sementara itu, Guru Besar Sosiologi Pendidikan Universitas Negeri Surabaya Warsono mengusulkan pemberian KIP Kuliah bisa meniru program Bidikmisi, yaitu hanya diberikan jika mahasiswa diterima di perguruan tinggi dan jurusan berakreditasi A atau pun B.