Setiap orang yang melintas dari Bundaran HI menuju Semanggi pasti akan melewati patung sang panglima besar. Berdiri tegak memberi hormat, Soedirman menebarkan dan menularkan semangat juangnya.
Tidak banyak dokumentasi aktivitas Jenderal Soedirman di Jakarta. Dalam Seri Buku Tempo Soedirman: Seorang Panglima, Seorang Martir terbitan tahun 2012, Jumat, 1 November 1946, Jenderal Soedirman menginjakkan kaki di Jakarta. Keterangan itu diperkuat Pramoedya Ananta Toer, Koesalah Soebagyo Toer, dan Ediati Kamil lewat buku Kronik Revolusi Indonesia Bagian II (1946).
Buku itu menerangkan, Panglima Besar Angkatan Perang Republik Indonesia Jenderal Soedirman dan Kepala Staf Mayor Jenderal Urip Sumohardjo untuk pertama kali sesudah proklamasi kemerdekaan datang di Jakarta guna menghadiri sidang perundingan gencatan senjata.
Menurut Ketua Tim Sidang Pemugaran DKI Jakarta Bambang Eryudhawan, kedatangan Soedirman di Jakarta itu diduga kali pertama sekaligus terakhir di sepanjang hidup pria kelahiran Desa Bantarbarang, Kecamatan Rembang, Purbalingga pada 24 Januari 1916, ini. ”Tokoh yang menonjol dalam sejarah Indonesia hanya sekali ke Jakarta, seperti Pangeran Diponegoro yang hanya sekali ke Batavia,” ucapnya, Rabu (27/2/2019).
Soedirman memang pernah ke Bogor, Jawa Barat, tahun 1944 karena mengikuti pendidikan menjadi daidancho (komandan batalyon) pasukan Pembela Tanah Air (Peta) semasa pendudukan Jepang. Namun, ia tak mampir ke Jakarta.
Informasi bertentangan tersaji di Kronik Revolusi Indonesia. Buku itu menyebutkan, Soedirman tanggal 15 Oktober 1946 pukul 16.00 bertolak dengan pesawat ke Jakarta untuk menjumpai Perdana Menteri Sutan Syahrir.
Namun, sejarawan Universitas Indonesia, Rushdy Hoesein, menyatakan, Soedirman pernah nyaris mencapai Jakarta, tetapi ditahan tentara Sekutu di Bekasi, Jawa Barat.
Pada 21 Oktober 1946, tentara Sekutu melarang pengawal Soedirman membawa senjata masuk Jakarta. Soedirman menganggap itu pelanggaran kehormatan seorang jenderal negara yang sejajar. ”Soedirman lantas memerintahkan agar kereta kembali ke Yogyakarta,” ujar Rushdy.
Menteri Pertahanan kala itu, Amir Sjarifuddin, protes kepada Sekutu. Larangan kemudian dibatalkan sehingga Soedirman bersedia ke Jakarta pada 1 November bersama Urip serta barisan pengawal bersenjata. Mereka menumpang kereta api.
Majalah Pantja Raja terbitan Balai Pustaka tanggal 15 November 1946 mencatat, di Stasiun Manggarai, pembesar-pembesar di Jakarta dan rakyat menyambut Pak Dirman. Di jalan-jalan, rakyat berteriak, ”Merdeka!”. Pak Dirman disebut akan berdiam di Hotel Shutte Raaff, Gambir Timur.
Majalah itu mewartakan, Soedirman menunaikan shalat Idul Adha di Lapangan Gambir pada 4 November. Pekik merdeka terus bergema. Seusai shalat, sejumlah warga berebut menjabat tangan Soedirman.
Pada 4 November, Komisi Gencatan Senjata Bersama dalam sidang di Markas Besar Tentara Sekutu memutuskan memerintahkan penghentian tembak-menembak antara Indonesia dan Sekutu.
Sebenarnya, Soedirman pada 1 November bisa turun di Stasiun Gambir yang berseberangan dengan Hotel Shutte Raaff dan markas Sekutu. Namun, menurut Rushdy, dipilihnya Stasiun Manggarai karena dua kemungkinan. Pertama, Soedirman ingin menunjukkan sosoknya yang dikawal banyak prajurit bersenjata kepada publik serta Sekutu. Kedua, ada kebiasaan pejabat Indonesia untuk turun di Stasiun Manggarai jika menumpang kereta menuju Jakarta.
Sampai kapan Pak Dirman di Jakarta? Tidak jelas, tetapi koleksi foto Indonesian Press Photo Service (IPPHOS) menunjukkan, pertemuan Soedirman dengan Perdana Menteri Sutan Syahrir berlangsung di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56, Jakarta Pusat, pada 15 November 1946.
Empat lokasi
Dari berita di Pantja Raja bisa ditemukan setidaknya empat tempat bersejarah di Jakarta terkait kedatangan Soedirman, yaitu Stasiun Manggarai, Hotel Shuttee Raaff, Lapangan Gambir, serta Markas Besar Tentara Serikat.
Stasiun Manggarai mudah dikenali karena terus berfungsi hingga sekarang. Lapangan Gambir juga masih ada jejaknya, yaitu kini Lapangan Merdeka di kawasan Monas.
Terkait Hotel Shutte Raaff, Bambang Eryudhawan memperlihatkan koleksi buku telepon lawas untuk wilayah Jakarta terbitan Mei 1949. Dalam buku itu, hotel tercantum beralamat di Koningsplein Oost 11 dan 12 atau kini Jalan Medan Merdeka Timur.
Lokasi hotel kini jadi aset Pertamina, berada di antara Gereja Protestan di Indonesia Bagian Barat (GPIB) Immanuel dan Galeri Nasional. Media Communication Manager Pertamina Arya Dwi Paramita menyebutkan, di lokasi itu kini ada poliklinik dan Wisma Wiperti. Arya tidak menjawab apakah benar dulu Hotel Shutte Raaff berada di lahan itu.
Gedung Markas Besar Tentara Sekutu yang dijadikan tempat berunding, menurut Bambang, sekarang digunakan untuk kantor Kementerian Perhubungan.
Menurut Fardian Isibhi, Kepala Subbagian Program Sekretariat Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Perhubungan, informasi yang diterima Kemenhub, gedung ini memang bekas markas tentara Sekutu pada pascaproklamasi.
Saat ini, gedung beralamat di Jalan Medan Merdeka Timur Nomor 5, Jakarta Pusat, dan digunakan sebagai kantor Balitbang Perhubungan, Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Perhubungan, dan Komite Nasional Keselamatan Transportasi.
Meski tak banyak, jejak Soedirman mengingatkan akan seseorang yang ikhlas dan pantang menyerah memperjuangkan nasib bangsanya. Orang yang mencintai negerinya serta percaya diri dan menempatkan diri juga bangsanya sejajar dengan bangsa lain.
Saat melintas di Jalan Jenderal Sudirman, cobalah lihat patung besar itu. Balaslah hormatnya dengan mengadopsi besarnya cinta Pak Dirman atas tanah air dan daya juang yang terus berkobar hingga akhir hayatnya.