MUARA ENIM, KOMPAS — Pemerintah mendorong hilirisasi batubara untuk menghasilkan nilai tambah dan produk substitusi impor. Dengan hilirisasi, wajah pertambangan batubara di Tanjung Enim, Sumatera Selatan, diharapkan berubah pada usianya yang ke-100 tahun, tak sekadar menghasilkan dan menjual bahan mentah, tetapi juga produk-produk bernilai tambah.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan pada pencanangan industri hilirisasi batubara PT Bukit Asam Tbk di Tanjung Enim, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan, Minggu (3/3/2019), menyampaikan hal itu. ”Tidak banyak tambang batubara besar yang memiliki semangat hilirisasi,” ujarnya.
Hadir dalam acara itu Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto, Menteri BUMN Rini Soemarno, Direktur Utama PT Bukit Asam Tbk Arviyan Arifin, Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati, Direktur Utama PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) Budi Gunadi Sadikin, dan Direktur Utama PT Pupuk Indonesia (Persero) Aas Asikin.
Jonan meminta direksi Bukit Asam, Pertamina, dan Pupuk Indonesia tidak ragu-ragu dalam pengembangan industri hilir batubara. Dengan hilirisasi batubara, impor elpiji dapat dikurangi karena dapat digantikan oleh bahan bakar alternatif, yakni dimetil ether (DME). Sebagai gambaran, impor elpiji mencapai 4,5-4,7 juta ton per tahun.
Arviyan menjelaskan, produk yang akan dihasilkan dalam hilirisasi batubara tersebut berupa 500.000 ton urea, 400.000 ton DME, dan 450.000 ton polipropilena. Melalui gasifikasi, batubara dapat dikonversi menjadi syntetic gas (syngas) yang menjadi bahan baku pembuatan produk hilir, seperti pupuk urea, DME yang menjadi alternatif pengganti elpiji, serta polipropilena yang menjadi bahan baku plastik.
Kerja sama
Hilirisasi batubara dilakukan PT Bukit Asam Tbk (PTBA) melalui kerja sama dengan Pertamina untuk memproduksi DME, PT Pupuk Indonesia untuk menghasilkan pupuk urea, dan PT Chandra Asri Petrochemical Tbk untuk memproduksi polipropilena. Batubara yang dibutuhkan untuk hilirisasi itu mencapai 7 juta ton per tahun.
Investasi untuk membangun pabrik gasifikasi mencapai 1,2 miliar dollar AS. ”Bisa lebih,” kata Arviyan. Itu karena nilai tersebut baru merupakan investasi gasifikasi, belum termasuk investasi untuk pembangunan pabrik pupuk urea, DME, dan polipropilena.
Airlangga mengungkapkan, teknologi gasifikasi batubara memungkinkan konversi batubara kalori rendah menjadi syngas yang selanjutnya diproses menjadi DME, urea, dan polipropilena.
Hilirisasi batubara jadi pekerjaan rumah yang belum selesai. Ketua Indonesia Mining Institute Irwandy Arif berpendapat, hilirisasi batubara belum punya payung hukum yang jelas. Selain itu, proyek gasifikasi batubara belum sampai tahap terbukti secara komersial, sebatas proyek percontohan (Kompas, 8/1/2019).