Gubernur Sulsel: Daerah Tangkapan Air Tidak Boleh Diganggu
Banjir bandang dan longsor yang melanda sebagian besar kawasan Sulawesi Selatan pada akhir Januari mengagetkan publik. Tercatat 13 kabupaten dan kota terdampak, puluhan orang meninggal, dan ribuan rumah rusak. Bencana ini lebih buruk ketimbang banjir besar di Sulawesi Selatan pada 1998.
Sebenarnya apa yang menyebabkan bencana banjir dan longsor ini terjadi? Bagaimana upaya pembenahan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan ke depan?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, Kompas berkesempatan mewawancarai Gubernur Sulawesi Selatan Nurdin Abdullah di rumah jabatan Gubernur Sulsel, di Kota Makassar, Rabu (6/2/2019) malam.
Ditemui dua jam sebelum lewat tengah malam, Nurdin yang baru saja menyelesaikan kegiatannya seharian penuh masih tampak bersemangat meladeni pertanyaan-pertanyaan Kompas terkait banjir di Sulawesi Selatan.
Bagaimana pandangan Anda terhadap penanganan Daerah Aliran Sungai (DAS) Jeneberang?
Jadi, sebenarnya DAS Jeneberang sudah puluhan tahun masuk kategori kritis. Terus itulah kenapa cekdam dibangun. Jadi, yang kedua, sejak beberapa tahun terakhir, DAS itu sudah dinyatakan superkritis. Jadi masuk DAS superkritis. Kenapa? Karena itu, kan, kawasan konservasi di atas atau di hulunya.
Cekdamitu multipurpose, itu cekdam (bendungan) bisa tahan 100 tahun. Bendungan berfungsi sebagai pengendali banjir, sumber air pertanian ataupun air bersih, lalu power plant. Itulah yang digunakan di sana. Maka, dibangunlah Cekdam Bili-Bili. Salah satu pengontrol sedimennya ada sabo dam. Lalu kenapa Bendungan Bili-bili mengalami sebuah (gangguan). Jadi, kemarin, di samping curah hujan yang cukup tinggi, 382 milimeter per hari, yang normalnya 51 mm per hari.
Satu hal (lain) yang mungkin dilihat di atas itu adalah adanya tambang. Nah, saya kira dengan DAS kritis di atas itu, mungkin bisa dikendalikan lewat sabo dam. Namun, dengan petambang pasir dan batu, ini yang mempercepat pendangkalan. Akhirnya, cekdam terus terjadi sedimentasi. Kami belum mengukur sebenarnya berapa besar sedimen ini yang mengendap setelah cek- dam dibangun. Namun, kita bisa lihat begitu cepat level air naik melebihi batas normal. Kami tidak ingin ada masalah yang lebih besar. Karena itu, kami putuskan kami buka untuk menghindari hal-hal yang tidak kita inginkan. Kalau jebol, Makassar habis sudah.
Yang kedua, aliran Sungai Jenelata. Ini sumbangsih baru. Membuka pintu air Bili-bili lalu ditambah air Sungai Jenelata. Inilah yang membuat Makassar dan Gowa tenggelam. Keputusan yang paling bagus adalah membuat Cekdam Jenelata. Namun, saya sudah berbicara dengan Kepala BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) bahwa yang harus dilakukan adalah mengembalikan catchment (area resapan) air sebagai fungsi hulunya supaya kembali menjadi (kawasan) konservasi.
Jadi, cekdamini dibangun seharusnya diiringi dengan menjaga catchment area dan area konservasi hulu di atas. Akan tetapi, yang terjadi, perluasan penanaman jagung di mana-mana, di sekitar bagian hulu. Padahal, jagung itu sangat bertentangan dengan konservasi. Sebenarnya pendekatan kami pada rehabilitasi lahan tak lagi tanaman tahunan, tetapi produktif. Akan tetapi, bagaimanapun juga masyarakat harus merasa memiliki. Jadi, harusnya kita mengembangkan tanaman, seperti jambu mete, cokelat, dan kopi. Jambu mete cocok di daerah kering. Namun, untuk jangka pendek, penutupan lahan ini segera harus dilakukan agar produksi sedimen bisa dikendalikan dengan cepat supaya Cekdam Bili-bili tidak rusak. Sebab, itu mahal dan bukan hal yang mudah untuk mengeruk sedimentasi di bawahnya. (Supaya) CekdamBili-bili menjadi pengendali banjir Makassar.
Tapi, sekarang, Bendungan Bili-bili ini yang justru jadi penyebab banjir?
Iya karena kapasitasnya menurun.
Persoalan DAS Jeneberang ini kompleks. Ada alih fungsi lahan yang masif di bagian hulu, penambangan pasir di tengah dan hulu, lalu sedimentasi dipakai tempat tinggal di sekitar hilir sungai. Tapi, mengingat ini melintasi kabupaten, bagaimana Pemprov Sulsel mengatasi hal ini?
Saya kira begini, pembangunan Bendungan Jenelata dan Jeneponto dipercepat. Sebab, Jeneponto juga kritis di hulu. Itu jagung semua tanamannya. Dulu, jagung ditanam di sawah. Bergantian, padi, jagung, padi. Kalau sekarang harga bagus, ya, semua jagung. Jadi, ini harus ditata ulang. Daerah konservasi harus dijaga.
Pada kawasan hulu, yakni di Malino, marak alih fungsi hutan menjadi pertanian. Di satu sisi, pertanian hortikultura jadi andalan perekonomian warga. Bagaimana menangani persoalan ini?
Tanaman kentang itu tidak apa-apa asalkan ditanam dengan metode terasering. Kan, terasering ini menahan erosi. Kita ingin erosi tidak berlaku cepat. Erosi itu, kan, bikin lahan kritis. Kita tak ingin lahan menjadi tidak subur karena top soil-nya terkikis. Nah, dengan terasering, top soil-nya tertahan. Agar tetap subur tanah ini. Sebab, kami juga butuh sayur. Bantaeng dulu sumber banjir sampai 2008. Namun, kami tingkatkan skill masyarakat, tetap menanam kentang, kol, wortel, mereka produksi, tetapi konservasi tetap dilakukan. Jadi memang ada daerah tangkapan air itu yang tidak boleh diganggu. Nah, di Sungai Jeneberang tidak ada lagi daerah tangkapan air.
Bagaimana cara mengembalikan daerah tangkapan air?
Inilah kami bikin tim. Ketuanya saya. Ada Pangdam (Panglima Daerah Militer), ada Kapolda (Kepala Kepolisian Daerah) Sulsel. Harus secara masif, bersama masyarakat, perguruan tinggi, kami libatkan semua. Lalu ada KKN (Kuliah Kerja Nyata) mahasiswa. Jadi, tiga tahun ke depan KKN mahasiswa soal kebencanaan untuk mitigasi bencana. Sosialisasi potensi bahaya bencana kepada masyarakat. Program konservasi dijalankan. Kami minta kelompok masyarakat untuk lakukan pembibitan supaya masyarakat cepat memperoleh tanaman. Jadi, programnya holistik, bukan berdasarkan proyek saja.
Jadi target penanganan DAS Jeneberang selama tiga tahun?
Ya, tiga tahun kami canangkan dengan berkolaborasi dengan masyarakat. Jadi, semua program-program bakti sosial kami rancang.
Gerakan ini apakah melibatkan masyarakat yang di hulu?
Harus. Masyarakat di hulu ini harus dilegalkan. Kemarin, selama ini, mereka masuk areal tanaman hutan, tanam jagung, itu ilegal. Nah, kami ingin coba, ini masuk kawasan hutan konservasi. Kami pendekatannya adalah jangan menanam tanaman tahunan, tetapi produktif. Tumpang sari dengan tanaman cokelat dan kopi. Bisa produksi dan tahan naungan.
Apa nama timnya?
Tim terpadu pelestarian DAS Jeneberang. Di utara ini juga ada DAS Sadang yang juga sudah superkritis. Ini Bone, Soppeng, Wajo, sumber airnya dari sungai itu. Ini bisa bahaya. Ini penyangga pangan nasional. Berat kerjanya gubernur ini.
Tim terpadu ini payung hukumnya apa?
Surat keputusan gubernur dulu. Nanti kita lihat.
Apakah tim terpadu ini untuk menggantikan forum DAS atau berbeda entitas?
Tidak, forum DAS tetap berjalan. Kalau ini program percepatan. Program percepatan pemulihan DAS Jeneberang. Forum DAS tetap berjalan. Saya, tahun 1988, ambil S-2 dan S-3 di Jepang. Banjir, tuh, di Provinsi Kumamoto, profesor saya kepala dam di Jepang. Dia bikin tim, dua minggu kami temukan penyebabnya. Kami ukur panjang pohon, lalu ukur vegetasi di atas. Kami gali tanah yang longsor. Kami ukur infiltrasi per lapisan tanah. Lalu kami ukur infiltrasinya. Ini yang mungkin bisa kami coba praktikkan di sini. Semangat dan upaya mitigasi bencananya.
Kepala BNPB Doni Monardo sempat mengusulkan penanganan Sungai Jeneberang ini mencontoh penanganan Sungai Citarum? Apa tanggapan Anda?
Ya, model Citarum mau dibawa ke sini.
Penanganan Sungai Citarum ini menggunakan dasar hukum peraturan presiden. Apa perlu juga dikeluarkan peraturan presiden untuk penanganan Sungai Jeneberang?
Kami jalan dulu. Nanti kalau berhasil, baru kami buat perdanya. Kalau perlu, perpresnya juga. Makanya, kami minta testimoni pengelola Sungai Citarum. Kemarin, mereka datang. Kepala program Sungai Citarum itu, kan, dulu juga Pak Doni Monardo. Model itu kami coba. Kami mau ke sana untuk melihat, kami lihat apakah cocok dikembangkan di sini.
Bagaimana koordinasi dengan pemkot/pemkab terkait penanganan DAS Jeneberang?
Kami sudah kompak semua. Sudah sinergi semua. Coba lihat penanganan banjir itu bagus. Tidak ada yang panik. Kompak semua di lapangan. Saya katakan, tidak usah ragu, kami punya dananya. Harusnya daerah itu mandiri, jangan mengeluh mana nih dana dari pusat. Maka, saya usul 1 persen APBD dialokasikan untuk tanggap darurat bencana. Nilainya sekitar Rp 100 miliar dari Rp 10 triliun. DPRD hanya setujui Rp 20 miliar.
Baru ada bencana ini, sekarang mereka baru buka mata. Kalau ada Rp 100 miliar, recovery itu bisa kami kerjakan sendiri, tidak perlu menunggu pemerintah pusat. Selama ada bencana, belum ada batuan dari pusat. Kami harus mandiri.
Bagaimana mengatasi lahan konservasi yang kini alih fungsi jadi lahan pertanian?
Fungsi konservasi itu harus dijaga. Kami kembalikan fungsinya sebagai konservasi. Akan tetapi, pendekatannya kami ubah. Tidak mungkin pemerintah sepenuhnya yang jaga. Masyarakat yang harus jaga. Sebagai contoh, waktu saya masih menjadi Bupati Bantaeng, masyarakat sendiri yang menjaga pohon dan hutan. Saya pergi ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, saya bilang, tolong jadikan hutan itu sebagai hutan desa. Maka, tidak haram lagi bagi masyarakat sendiri untuk mengelola lahan di dalam hutan. Jadi, mereka olah lahan tani sambil menjaga hutan ini. Mereka berusaha di dalamnya, seperti menanam anggrek, kopi. Kopi itu bagus untuk konservasi dan dapat hasilnya. Ini yang kami harus coba. Jadi, bagamana masyarakat ini seperti memiliki hutan. Kalau mau dijaga alam, ya kita harus jaga alam. Ini alam sudah tidak jaga kita karena kita sebelumnya tidak menjaga alam.
Kami pernah datang ke bagian hulu dan wawancara dengan masyarakat di dekat hutan. Mereka mengaku berani masuk ke hutan karena mendapat izin dari oknum tertentu. Terkait hal ini, apakah ada upaya untuk melacak siapa kira-kira yang terlibat dalam kerusakan lingkungan ini?
Jadi, kan, masyarakat kita butuh hidup, yang kedua kami memang melihat mereka ini tak juga sejahtera. Mereka sudah rambah hutan, berladang, tanam jagung. Tidak juga kesejahteran ini jadi baik.
Jadi, yang harus kami coba atasi itu tengkulak itu. Mereka yang bawa duit dan bibit. Kami ingin ke depan bagaimana kesejahteraan masyarakat ini bisa meningkat. Di satu sisi juga, hutannya mereka jaga. Caranya, pemerintah harus hadir. Apa peran pemerintah? Tak henti-hentinya memberikan dukungan pada mereka. Berikan benih, pupuk, dan tanaman yang lebih bernilai ekonomi tinggi. Sulsel ini, kan, dikenal dengan cokelat, kopi, cengkeh, dan banyak komoditas lainnya. Yang saya kira ini bagus sekali untuk kami kembangkan.
Ada indikasi keterlibatan aparat di Pemprov Sulsel?
Dan memang salah satu penyebabnya kalau ada yang kasih angin, kan? Camatnya, kepala desanya. Saya dulu kepala desanya saya kasih masuk penjara, kepala desanya, waktu saya menjadi Bupati Bantaeng. Setelah itu tidak ada lagi yang berani. Ya, harus begitu memang. Polisi hutannya saya ambil semua. Caranya gini, dia bakar hutan, kebakaran hutan. Hutan pinus habis. Akan tetapi, sekarang tidak ada lagi.
Dulu, awal jadi bupati, kebakaran lagi, kebakaran lagi. Kami tunggu. Saat dia garap, langsung kami ciduk. Ini pembakarannya, ya. Caranya gitu. Itu, kan, land clearing paling murah dengan membakar. Makanya tim terpadu kami bentuk untuk atasi ini.
Kami sudah melihat di Danau Tanralili di Bawakaraeng yang juga hulu Jeneberang. Di sana banyak longsoran baru karena tanah labil. Bagaimana penanganannya ke depan?
Kami itu sudah punya mitigasi bencana, ya. Sudah ada petanya. Daerah mana saja yang areal permukiman. Cuma masyarakat harus dipindah. Harus direlokasi. Lihat saja di Bogor, bersusun-susun rumahnya di gunung, ngeri juga saat bencana. Bagi saya, kata kuncinya adalah kita harus kembali menata hulu, kita inventarisasi masyarakat yang hidup di situ. Jangan dipatahkan juga, mereka mau makan apa? Jadi, mereka tetap boleh berladang, tetapi kaidah lingkungan harus diperhatikan.
Bagaimana cara merehabilitasi daerah hulu tersebut?
Kita carikan tanaman yang cepat tumbuh sementara. Seperti daerah lahan yang ada di tebing. Ini harus direhabilitasi. Harus ada banyak tanaman di sini untuk menghindari longsor.
Bagaimana soal penambangan pasir yang masif?
Kami tidak melarang karena ini kebutuhan pembangunan. Akan tetapi, tolong jangan tambang di hulu sungai, harusnya di hilir. Ini juga mengurangi sedimentasi ke cekdam. Namun, tekniknya harus yang ramah lingkungan. Maka, kami harus mulai berikan izin galian c ini dengan ketat. Ini, kan, berjajar semua tambang mulai dari atas. Kalau hujan, ke mana lagi pasir itu kalau tidak kembali ke cekdam atau bendungan.
Dari data Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Sulawesi Selatan, ada 18 IUP (izin usaha pertambangan) tambang pasir. Bahkan, selain itu, ada kemungkinan pertambangan lain yang dilakukan dengan ilegal. Bagaimana Pemprov Sulsel mengatasi persoalan ini?
Kapolda Sulsel sudah bilang, ada kejahatan lingkungan di Kabupaten Gowa. Itu yang pertama akan kami tertibkan. Itu tidak ada ampun, itu. Yang berizin pun itu kami coba evaluasi. Sand pocket ini juga sudah roboh. Kenapa? Sebab, menambangnya di bawah bangunan sand pocket. Sebenarnya, bagi saya, tidak sekadar diberikan izin, tetapi juga diberikan teknologi. Artinya, sebelum izinnya kami kasih izin IUP, harusnya dilihat dulu areal dan konsesinya di mana. Kalau saat ini, kan, sudah dapat izin, tetapi lokasinya merambah ke mana-mana.
Jadi, Pemprov Sulsel bersama kepolisian sudah berupaya menertibkan ini?
Sudah. Polisi sudah bergerak. Memang kita harus sinergis, TNI, Polri, akademisi, kalangan pengusaha, LSM. Kami sudah bergerak bersama, termasuk dengan KKN mahasiswa. Kami harus selamatkan bersama Bendungan Bili-bili ini.
Bagaimana dengan masyarakat yang tinggal di bantaran sungai? Mereka rawan tersapu air saat banjir bandang datang. Apakah kawasan ini akan ditata?
Kalau itu, sebenarnya ini pertama kali mereka tersapu dan banjir sampai atap. Namun, ada juga sumber air baru di Jenelata. Kalau Jenelata bisa ditangani dengan cepat, Gowa dan Makassar tidak perlu khawatir. Ini yg harusnya kita tekan laju sedimentasi. Kita jaga kawasan konservasi.
Sebelum banjir terjadi, apa kendala dalam menangani DAS Jeneberang?
Saya, kan, orang berlatar belakang konservasi. Memang salah satu masalah yang kita hadapi adalah bikin kajian terus, kita orientasinya pada report. Tidak ada aksi. Kalau saya, harusnya ada aksi. Siapa yang nanggung bibit, siapa yang nanam? Siapa yang rawat? siapa yang tanggung jawab untuk keberlangsungan ini? Di Bantaeng itu dulunya gersang. Seminggu dilantik, saya bikin program Jumat bersih, Sabtu menanam. Kami siapkan banyak bibit agar orang cari bibitnya. Bibit jangan dijaga. Biar saja dicuri orang. Silakan ambil. Kan, ditanam. Kalau program ini dijalankan, hijau semua itu nanti. Bantaeng, kan, hijau sekarang.