JAKARTA, KOMPAS - Koalisi Masyarakat Sipil mendorong Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengeluarkan aturan untuk menjamin hak pilih pemilih pindahan. Waktu menuju pemilu yang tersisa 44 hari dinilai tidak cukup untuk uji materi Undang-Undang Pemilu ke Mahkamah Konstitusi dan pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang perlu banyak lobi politik.
KPU sedang mencari solusi mengatasi konsentrasi jumlah pemilih pindah yang terdaftar dalam Daftar Pemilih Tambahan di titik-titik tertentu. Kenyataan ini terjadi di institusi pendidikan, pondok pesantren, lembaga pemasyarakatan atau rumah tahanan, serta perusahaan-perusahaan besar, terutama perusahaan tambang di daerah-daerah terpencil dengan akses yang jauh ke tempat pemungutan suara (TPS) di sekitarnya.
Sekretaris Jenderal Komite Independen Pemantau Pemilu Kaka Suminta di Jakarta, Minggu (3/3/2019) dalam Peluncuran Posko Perlindungan Pemilih dan Diskusi Menyelamatkan Suara Pemilih, mengatakan, pendataan pemilih dalam pemilu 2019 tidak berbasis domisili atau tempat tinggal, melainkan berbasis alamat yang tercantum dalam Kartu Tanda Penduduk Elektronik (KTP-el). Pendataan berbasis KTP-el berdampak pada jumlah pemilih pindah memilih yang besar daripada berbasis domisili.
"Polemik DPTb, KPU terlihat gambang mengatasi potensi kekurangan surat suara karena banyak pemilih pindah memilih. Opsinya, KPU mengeluarkan Peraturan KPU tentang penambahan surat suara untuk pemilih pindah memilih atau sediakan TPS khusus bagi mereka," ucapnya.
Berdasarkan data Kompas, terdapat 275.923 pemilih dalam DPTb yang tersebar di 87.483 TPS di seluruh Indonesia per 17 Februari. Rata-rata yang terdata, ialah pemilih pindah memilih.
Manager Pemantauan Jaringan Pendidikan Pemilih Untuk Rakyat Alwan Ola Riantoby menyebutkan, KPU belum proaktif mengurai persoalan pemilih pindah memilih. Jumlah surat suara sudah ditetapkan untuk daftar pemilih tetap ditambah dengan dua persen cadangan dan telah didistribusikan ke TPS.
"Pemilih pindah memilih secara otomatis dicoret di daerah asal memilih dan suarat suaranya dihanguskan atau dihilangkan. Pemilih pindah memilih akan difasilitasi di TPS baru atau digeser ke TPS lain jika surat suara kurang. Kita tahu, surat suara tambahan jumlahnya terbatas," katanya.
Sementara itu, Ketua Kode Inisiatif Veri Junaidi menjelaskan, surat suara di tempat asal pemilih pindah memilih tidak dapat dikirim maupun digeser ke lokasi pindahan. Kurang elok jika KPU menyerahkan penanganan persoalan itu pada pihak lain. KPU harus membuat Peraturan KPU untuk mencetak surat suara bagi DPTb.
"Seharusnya persoalan DPTb dan teknis lain sudah tuntas. Mengapa? Sejak Reformasi, Indonesia sudah menggelar tiga kali pemilu. Sayangnya, masih saja muncul persoalan yang sama. KPU punya opsi melalui Peraturan KPU, akan tetapi masih bersandar pada pihak lain melalui perpu dan uji materi," ucapnya.
Kerja sama
Koalisi Masyarakat Sipil terdiri dari Pemantauan Jaringan Pendidikan Pemilih Untuk Rakyat, Sindikasi Pemilu dan Demokrasi, Komite Independen Pemantau Pemilu, dan Kode Inisiatif. Adapun, mereka terus mendorong KPU dan Bawaslu lebih proaktif mengatasi persoalan hak pilih.
Peneliti Sindikasi Pemilu dan Demokrasi Erik Kurniawan mengatakan, KPU dapat bekerja sama dengan Kementerian Dalam Negeri terkait pemutakhiran data daftar pemilih tetap. UU Pemilu menyebutkan bahwa pemilih merupakan warga negara yang genap berusia 17 tahun atau lebih dan sudah kawin atau pernah kawin, sedangkan KTP-el jadi syarat agar pemilih dapat ikut pemungutan suara di TPS.
"KPU seharusnya kerja sama dengan Kemendagri memutakhiran daftar pemilih sesuai aturan UU Pemilu. Syarat KTP-el dapat dilengkapi setelah data mutakhir," ujarnya.
Koalisi Masyarakat Sipil juga menyediakan Posko Perlindungan Pemilih di Sekretariat Jaringan Pendidikan Pemilih Untuk Rakyat di Jalan Jeruk Nomor 6 Menteng, Jakarta Pusat. Selain itu, tersedia call center 081314157272. Posko itu melayani aduan terkait hak pilih. Aduan akan diteruskan ke KPU. (FRANSISKUS WISNU WARDHANA DHANY)