JAKARTA, KOMPAS - Festival Sarung Indonesia 2019 diharapkan dapat memperluas pasar kerajinan tenun. Pasar produk untuk sementara beredar di kalangan terbatas. Karena itu perlu kampanye yang lebih giat untuk memopulerkan karya ini.
Gagasan ini mengemuka dalam pembukaan Festival Sarung Indonesia 2019, di area Gelora Bung Karno, Jakarta, Minggu (3/3/2019). Acara ini dihadiri Menteri Koperasi dan UKM Anak Agung Gede Ngurah Puspayoga, Ketua Dewan Petimbangan Presiden, Sri Adiningsih, dan Ketua Umum Panitia Pelaksana Festival Sarung Indonesia IGK Manila.
Acara yang sedianya dimulai pukul 08.30 baru dibuka pukul 11.25. Festival yang baru pertama kali diselenggarakan secara nasional ini diawali dengan peragaan busana yang memamerkan sarung produksi sejumlah daerah. Model berlenggak-lenggok mengenakan sarung tenun yang dikombinasikan dengan sarung Gajah Duduk.
Menteri Koperasi dan UKM Anak Agung Gede Ngurah Puspayoga festival ini merupakan gerakan kebudayaan yang bertujuan untuk meningkatkan ekonomi rakyat. Melalui festival, publik semakin mengenal sarung yang merupakan salah satu wastra Nusantara. “Harapannya, jika produknya semakin dikenal, perajin tenun semakin meningkatkan produktivitas dan kualitas dari sarung yang dihasilkan,” kata Puspayoga.
Melalui festival ini juga, publik diharapkan mengetahui betapa telatennya perajin tenun. “Bayangkan untuk membuat hasil tenun begini, manusianya harus cerdas, kreatif dan sabar. Kalau nggak, sarungnya nggak bakal jadi,” kata Puspayoga menunjuk sarung yang dikenakannya.
Perajin tenun Baduy, Kabupaten Lebak, Banten, Jamal (36) mengaku kesulitan memasarkan sarung tenunan yang ia hasilkan. Selama ini, kata dia, belum banyak yang mengetahui sarung tenun Baduy. “Padahal, hampir semua masyarakat Baduy itu perajin kain tenun,” kata Jamal.
Saat ini, Jamal memiliki 15 orang karyawan, yang semuanya warga Baduy. Satu orang menghasilkan satu helai kain selama satu minggu. Artinya, usaha Jamal menghasilkan sekitar 60 helai kain per bulan. “Per tahun itu, ada ratusan kain yang belum terjual. Saya juga belum begitu bisa berjualan lewat online,” kata dia.
Di stan milik Jamal terpajang sekitar 200 helai sarung Baduy. Harganya berkisar dari Rp 250.000 hingga Rp 2 juta. Festival semacam ini menjadi andalan Jamal untuk memperkenalkan tenun Baduy. Sejak pagi, 15 potong sarung Baduy sudah terjual. “Harapannya di festival ini saya bisa berkenalan dengan desainer. Jadi, produk kami bisa dikombinasikan dengan karya mereka ,” kata Jamal.
IGK Manila berharap, sarung bisa populer seperti batik di tengah masyarakat. Menurutnya, batik juga butuh usaha keras untuk memperkenalkannya ke tengah masyarakat. “Dulu , orang malu pakai batik. Sekarang, kalau pakai ke batik ke pesta malah dihormati. Justru kalau kita pakai jas kita disangka panitia,” kata dia.
Manila melanjutkan, perajin sarung tenun di daerah sudah berkurang karena proses pembuatan yang lama tidak dibarengi dengan banyaknya permintaan. Oleh sebab itu, festival ini memberi kesempatan perajin bertemu dengan pihak lain, seperti desainer.
“Festival ini sekaligus ingin mengukur bagaimana respons masyarakat terhadap sarung. Kalau model sarung begitu-begitu saja, tentu anak muda susah meliriknya. Beda cerita dengan peragaan busana yang digelar barusan. Itu kan menarik,” kata Manila.
Milik semua
Di sisi lain, kata Manila, festival ini juga menjelaskan bahwa sarung tidak hanya milik etnis tertentu atau agama tertentu. Selama ini, sarung dikesankan hanya untuk beribadah.
“Sarung tidak hanya milik santri atau orang yang mau sembahyang di pura. Anak muda juga bisa memakai sarung. Kesan sarung yang hanya dipakai kelompok tertentu itu yang ingin dikikis,” katanya. (INSAN ALFAJRI).