Trotoar di Sepanjang Jalur MRT Akan Direvitalisasi Bertahap
JAKARTA, KOMPAS — Dinas Bina Marga DKI Jakarta mengakui konsep ideal penataan trotoar di sepanjang jalur moda raya terpadu baru bisa diwujudkan di sepanjang Jalan Sudirman-Thamrin. Namun, secara bertahap, Dinas Bina Marga akan menata trotoar lain sebagai akses bagi pejalan kaki dan pengguna angkutan umum Ibu Kota.
Kepala Dinas Bina Marga DKI Jakarta Hari Nugroho, Sabtu (2/3/2019), mengatakan, penataan trotoar dengan konsep terbaru dan ideal memang baru bisa direalisasikan di Jalan Sudirman-Thamrin. Di jalan tersebut, trotoar bisa dibuat dengan lebar 4,5 meter, yaitu 1,5 meter untuk pejalan kaki, 1,5 meter untuk penyandang disabilitas, dan sisanya diberi bangku untuk istirahat.
Di lokasi lain, seperti jalur MRT ke arah selatan Sisingamangaraja-Fatmawati, lanjutnya, konsep yang sama belum bisa diterapkan karena trase jalan yang sempit.
”Dengan kondisi eksisting jalan yang tidak selebar di Sudirman-Thamrin, konsep ideal tidak bisa diterapkan. Akhirnya, Dinas Bina Marga membangun sesuai lahan yang tersedia,” ujar Hari saat dihubungi.
Selain itu, kendala lain yang dihadapi Dinas Bina Marga DKI adalah pembangunan trotoar di jalan nasional yang masih dikelola Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Karena dikelola oleh Kementerian PUPR, terkadang pembangunan trotoar tidak sama dengan desain milik Dinas Bina Marga.
Kondisi itu terlihat di sekitar Jalan RA Kartini yang berbatasan dengan Jalan TB Simatupang di Jakarta Selatan. Pembangunan trotoar dibangun dengan desain yang sangat tinggi dan tidak dilengkapi dengan ramp. Selain itu, trotoar juga sangat sempit dan tidak dilengkapi dengan petunjuk untuk tunanetra (guiding block).
”Memang masih ada beberapa jalan yang dikelola Kementerian PUPR. Namun, tahun ini 13 ruas jalan nasional itu akan diserahkan ke Pemprov DKI dan akan mulai kami perbaiki. Semoga pertengahan tahun sudah selesai proses serah terimanya,” tutur Hari.
Trotoar di sejumlah jalan tersebut akan diperbaiki dengan melihat trase jalan yang ada. Jika trase jalan mencapai 15 meter, trotoar masih bisa diperlebar sehingga bisa melengkapi aksesibilitas jalan. Namun, jika trase jalan sudah sempit, kendala yang harus dihadapi adalah masalah pembebasan lahan. Dinas Bina Marga tidak bisa sembarangan membebaskan lahan terutama di lokasi yang sudah padat penduduk, seperti kawasan Fatmawati, Jakarta Selatan.
”Intinya, Pemprov DKI tetap berkomitmen untuk membuat trotoar yang lebar dan nyaman. Saat membangun trotoar, kami juga memperhatikan hak-hak pejalan kaki, penyandang disabilitas, ataupun jalur sepeda,” ujar Hari.
Pemprov DKI tetap berkomitmen untuk membuat trotoar yang lebar dan nyaman. Saat membangun trotoar, juga diperhatikan hak-hak pejalan kaki, penyandang disabilitas, atau jalur sepeda.
Ia menambahkan, selain fokus di jalur yang dilewati MRT, Dinas Bina Marga tahun ini juga akan memperbaiki trotoar di sejumlah jalan, seperti Jalan Kemang Raya dan Jalan Dr Satrio, Jakarta Selatan. Selain itu, akan diperbaiki juga Jalan Cikini Raya dan Jalan Raya Salemba di Jakarta Pusat. Berikut, Jalan Dewi Sartika dan Jalan Otista Raya di Jakarta Timur.
Hal ini menunjukkan bahwa revitalisasi trotoar di Jakarta tetap berjalan secara bertahap sesuai dengan anggaran yang ada. Pada tahun 2019, penataan trotoar dianggarkan senilai Rp 400 miliar di lima wilayah di Jakarta.
”Mudah-mudahan pembangunan fisik sudah bisa dimulai pada Mei 2019 sehingga akhir tahun bisa selesai,” kata Hari.
Pada Jumat, 1 Maret, Koalisi Pejalan Kaki (KoPK) menyoroti perbedaan bentuk trotoar yang berada di sepanjang 13 kilometer jalur MRT dari Lebak Bulus hingga Bundaran Hotel Indonesia. Trotoar yang ideal baru terbentang di sepanjang kawasan Sudirman-Thamrin-Stasiun Senayan.
Semakin ke arah selatan, mulai Jalan Sisingamangaraja, Jalan Panglima Polim, Jalan Fatmawati, Jalan RA Kartini, hingga Lebak Bulus, kondisi trotoar kian menyempit dan tidak ramah bagi pejalan kaki.
Tiga zona
Tiga anggota KoPK bersepeda menyusuri jalur MRT dari Jalan MH Thamrin ke Jalan Sudirman hingga Blok M dan Jalan RS Fatmawati. Mereka ingin melihat lebih dekat kondisi trotoar di sepanjang jalur bawah tanah ataupun jalur layang MRT. Dari pengamatan mereka, ternyata bentuk dan kualitas trotoar di sepanjang jalur MRT bisa dibagi ke dalam tiga zona utama.
Zona 1 berada di antara Stasiun Bundaran Hotel Indonesia dan Stasiun Senayan. Trotoar di zona ini bisa dikatakan ideal karena lebar, bagus, dilengkapi fasilitas untuk penyandang disabilitas, dan ramah bagi pejalan kaki. Trotoar dalam zona ini sering mendapatkan pujian. Bahkan, baru-baru ini Wakil Presiden Jusuf Kalla menjuluki trotoar di zona 1 sebagai ”trotoar Singapura” atau ”trotoar luar negeri”.
”Setelah Bundaran Senayan ke selatan ke arah Blok M, trotoar semakin menyempit dan terjadi banyak pelanggaran, seperti sepeda motor naik ke trotoar saat macet,” ucap Sandy Apriliansyah dari KoPK, Jumat.
Kualitas trotoar di zona 2 ini menurun dibandingkan dengan kawasan bisnis dan perkantoran Sudirman-Thamrin. Di zona 2, trotoar cukup luas dan lebar, tetapi tidak sebaik di zona 1.
Bahkan, di ujung Jalan RS Fatmawati yang berbatasan dengan Jalan TB Simatupang, tidak ada akses trotoar sama sekali. Di sepanjang jalan itu, sedang dibangun saluran drainase sehingga bagian atasnya masih dibiarkan menjadi lubang menganga. Pejalan kaki harus berdesakan dengan sepeda motor dan mobil.
”Ini padahal tinggal menghitung hari untuk pengoperasian MRT secara komersial, tapi kok masih ada 1 persen masalah terutama soal fasilitas pendukung bagi pejalan kaki. Seharusnya, masalah ini diselesaikan terlebih dahulu,” ujar Alfred Sitorus, anggota KoPK.
Kondisi paling parah berada di zona 3, yaitu Stasiun Fatmawati hingga Lebak Bulus. Di zona ini, kualitas trotoar sangat mengkhawatirkan secara fisik. Lebar trotoar di bawah Stasiun Fatmawati kurang dari satu meter. Trotoar juga dibuat dengan desain tinggi tanpa ramp yang sangat tidak ramah pejalan kaki dan ibu hamil.
”Yang paling parah itu trotoar dari Stasiun Fatmawati ke Lebak Bulus. Di situ trotoarnya sempit, hanya satu-tiga langkah kaki, tinggi, dan tidak dilengkapi ramp,” lanjut Sandy.
Trotoar dari Stasiun Fatmawati pun tidak terintegrasi dengan baik dengan stasiun terdekat, yaitu Stasiun Cipete Raya. Jika ingin berjalan kaki ke arah Stasiun Cipete Raya, pejalan kaki harus menyeberang cukup berbahaya di perempatan TB Simatupang.
Yang paling parah itu trotoar dari Stasiun Fatmawati ke Lebak Bulus. Di situ trotoarnya sempit, hanya satu-tiga langkah kaki, tinggi, dan tidak dilengkapi ramp.
Setelah itu, di Jalan RS Fatmawati yang berada dekat pintu keluar tol Fatmawati, belum tersedia trotoar. Trotoar masih berbentuk lubang menganga karena digunakan untuk membangun saluran air. Kondisi ini terpantau sepanjang sekitar 1 kilometer hingga ke arah ITC Fatmawati.
KoPK mengapresiasi keberhasilan Pemprov DKI dalam membangun moda transportasi massal yang memudahkan mobilitas pejalan kaki di wilayah Jakarta. Namun, ternyata masih ada 1 persen pekerjaan yang belum selesai, yaitu penyediaan fasilitas integrasi dan pendukung pejalan kaki.
”Untuk itu, kami meminta Presiden RI dan Gubernur DKI mengkaji kembali operasionalisasi MRT karena aksesibilitas penumpang sebagai prasyarat MRT dapat beroperasi dengan baik belum tersedia. Alangkah hebatnya bisa membangun MRT tetapi fasilitasnya luput,” ujar Alfred.
KoPK juga mendesak Pemprov DKI supaya dapat menegakkan hukum di trotoar sepanjang jalur MRT. Sebab, masih banyak pelanggaran terjadi, seperti trotoar menjadi tempat parkir dan pada saat macet kendaraan masih naik ke trotoar.
Hal ini sangat membahayakan pejalan kaki yang mengakses trotoar tersebut. Jika pelanggaran itu terus dibiarkan, keamanan dan kenyamanan pejalan kaki akan terabaikan. Hal itu akan berpengaruh pada kesediaan dan kenyamanan pejalan kaki saat menggunakan MRT.