PADANG ARO, KOMPAS — Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Stasiun Geofisika Kelas I Padang Panjang, Sumatera Barat, Sabtu (2/3/2019), memasang seismometer atau sensor getaran di Solok Selatan. Pemasangan seismometer itu untuk melihat apakah masih terjadi pergerakan tanah pascagempa yang mengguncang daerah itu pada Kamis (28/2/2019) lalu.
Kepala Seksi Data dan Informasi BMKG Stasiun Geofisika Kelas I Padang Panjang Mamuri di Solok Selatan mengatakan, pihaknya memasang satu seismometer di lokasi terdampak paling parah karena diperkirakan berada paling dekat dengan pusat gempa.
”Alat akan dipasang dari pagi hingga sore ini, selanjutnya dikaji malam harinya. Kalau perlu tambahan alat, kami koordinasikan terlebih dahulu dengan BMKG pusat,” kata Mamuri.
Mamuri mengatakan, gempa di Solok Selatan dipicu aktivitas sesar Sumatera, yakni segmen Suliti. ”Tetapi, Sesar Sumatera tidak garis lurus. Ada beberapa cabang yang belum terdeteksi,” kata Mamuri.
Pertama kali
Gempa pada Kamis (28/2/2019) terjadi dua kali. Gempa pertama yang terjadi pada pukul 01.55 bermagnitudo 4,8. Gempa kedua terjadi pukul 06.27 dengan magnitudo 5,3. Menurut penuturan warga, gempa itu merupakan yang pertama kali terjadi di daerah tersebut. Sebelumnya tidak pernah ada gempa selama mereka tinggal di sana.
Gempa membuat lebih dari 500 rumah warga rusak dan 55 warga terluka. Kondisi itu, menurut Wakil Bupati Solok Selatan Abdul Rahman, membuat warga tidak begitu memperhatikan konstruksi bangunan rumah mereka.
Abdul mengatakan, penyebab timbulnya korban gempa adalah kombinasi antara guncangan dan struktur bangunan warga yang memang rapuh. ”Jadi, masyarakat di sini belum punya pengalaman tentang gempa. Sepanjang sejarah tertulis dan cerita dari orang tua, di sini memang tidak pernah terjadi gempa,” katanya.
Kondisi itu, menurut dia, membuat masyarakat membangun rumah tembok tidak memenuhi standar sehingga rawan terhadap guncangan.
”Selain rumah tidak diplester, tidak ada pengikat antara tiang dan tembok. Jadi, meski dengan guncangan di bawah magnitudo 6, kerusakannya sangat luar biasa. Bangunannya masih berdiri, tetapi rata-rata rusak,” kata Abdul.