Baiya Mak Itam, Maestro Nyanyian Panjang
Baiya (72) yang lebih dikenal dengan panggilan Mak Itam, tidak berbeda dengan perempuan berumur baya di dusunnya, Desa Sungai Sirih, Sorek, Kecamatan Pangkalan Kuras, Kabupaten Pelalawan, Riau. Ia tidak pernah mengecap pendidikan formal, meski hanya tingkat sekolah dasar.
Ia juga tidak dapat berbahasa Indonesia dengan lancar. Sehari-hari lebih banyak berbahasa daerah. Namun siapa sangka, di balik sosok sederhana itu, Mak Itam seorang seniman besar “nyanyian panjang” yang masih dimiliki Riau pada saat ini.
Coba bayangkan, mampukah Anda menceritakan ulang (di luar kepala) isi sebuah buku setebal 400 halaman sampai 800 halaman? Rasanya, hanya sedikit manusia yang mampu melakukannya. Terus, apakah ada manusia yang mampu mengingat dan menceritakan utuh puluhan buku yang tebal-tebal itu tadi?
Mak Itam adalah salah seorang di antara sedikit orang yang bisa melakukannya. Lantaran kemampuannya itu, ia layak mendapat julukan maestro.
Mak Itam memiliki kemampuan luar biasa mengingat kisah-kisah sastra lisan orang Petalangan yang disampaikan dengan lantunan nada yang disebut nyanyian panjang. Ia memiliki ingatan fotogenik. Belasan cerita bahkan lebih panjang dari kisah Mahabrata dapat diingatnya dengan baik.
Nyanyian panjang adalah kisah atau rangkaian cerita yang mengandung petuah, nasihat, aturan adat dan petatah petitih, yang dipakai sebagai petunjuk kehidupan, kepemilikan lahan hutan dan hukum adat masyarakat Petalangan di Kabupaten Pelalawan (wilayah pemekaran dari Kabupaten Kampar).
Dalam buku Bujang Tan Domang (2008) karangan almarhum Tenas Effendy, Petalangan merupakan bagian dari Kerajaan Pelalawan. Petalangan memiliki banyak suku. Setiap suku memiliki hutan adat yang diwariskan kepada keturunannya. Kepemilikan dan pemeliharaan hutan serta hukum adat istiadat, disusun dalam sebuah tombo (silsilah) persukuan.
Selain berisi asal-usul hutan tanah adat dan persukuan, tombo mengandung tunjuk ajar, petuah dan nasihat yang berisi nilai budaya yang dirangkaikan dengan cerita berbau fiksi. Tombo itu disampaikan melalui sastra lisan.
Salah satu bentuk pembacaan tombo dilantunkan dengan irama yang disebut nyanyian panjang. Nyanyian biasa ditampilkan dalam acara adat dan pesta perkawinan yang berfungsi sebagai hiburan sekaligus mengajarkan aturan dan tunjuk ajar kepada warga.
Bujang Tan Domang adalah satu cerita nyanyian panjang yang telah dibukukan oleh budayawan besar Melayu Tenas Effendy. Buku setebal 800 halaman itu telah banyak diteliti dan dijadikan bahan disertasi oleh mahasiswa S3 terutama dari Malaysia, tempat Tenas pernah mengajar.
Herman Maskar, seorang budayawan Pelalawan melanjutkan upaya Tenas menyelamatkan kisah-kisah dalam nyanyian panjang. Berkat upaya Herman, kemampuan Mak Itam masih dapat dinikmati dan diselamatkan dari kepunahan sampai sekarang.
Terpantau
Pada era 1980-an, masih banyak pelantun nyanyian panjang di Pelalawan. Mak Itam belum terpantau radar Herman. Saat itu Herman lebih sering berkiprah dengan pelantun Mak Pili. Ketika Mak Pili meninggal tahun 1996, Herman khawatir karena mencari pelantun pengganti Mak Pili bukan main sukarnya.
Setelah mencari sekian lama, Herman mendapat informasi tentang Mak Itam.
Namun saat awal dijumpai di rumahnya, Mak Itam tidak mengaku sebagai pelantun nyanyian panjang. Herman tidak putus asa. Minimal sebulan sekali ia mendatangi rumah Mak Itam, sampai akhirnya perempuan itu menyerah dan mau bernyanyi lagi.
Menurut Mak Itam, saat Herman mengajak bernyanyi kembali, hatinya sedang gundah. Ternyata, pada saat itu ia baru saja kehilangan suami tercintanya, Kamal.
“Setelah atuk (sebutan Mak Itam untuk suaminya) meninggal, Mak tidak bisa menyanyi. Setiap menyanyi, Mak merasa atuk duduk di samping Mak. Mak selalu menangis kalau menyanyi,” ujar Mak Itam menjelaskan mengapa ia sempat menolak ajakan Herman untuk menyanyi kembali.
Setelah menyanyi kembali, Mak Itam menjadi semakin fokus. Ia mulai sering tampil dalam acara-acara di Pangkalan Kerinci (ibu kota Kabupaten Pelalawan), Pekanbaru, dan Jakarta.
Atas bujukan dan rayuan Herman, Mak Itam pun bersedia merekam kisah nyanyian panjang dalam bentuk kaset pita. Herman menyediakan seluruh keperluan rekaman. Sampai pekan pertama Februari 2019, jumlah rekaman yang dihasilkan sudah mencapai 134 keping kaset.
“Belasan tape recorder rusak dalam proses merekam nyanyian panjang. Beberapa judul sudah saya transkripkan dalam bahasa Indonesia. Ada satu nyanyian berjudul \'Putih Teuwai\' (putih terurai, kisah perempuan berkulit putih yang memiliki rambut terurai) berdurasi sampai 43 jam dan 50 menit, namun belum saya transkrip."
"Ada satu judul \'Balam Penganju\' yang berkisah tentang orang sakti yang diusir ayahnya ketika kecil, sudah saya bukukan. Cerita ini tidak terlalu panjang dibandingkan \'Putih Teuwai\', namun setelah ditranskrip, bukunya mencapai 400 lembar,” kata Herman.
Untuk merekam nyanyian panjang ke dalam pita kaset, Mak Itam hanya perlu mengeluarkan memori yang tersimpan utuh di kepalanya selama puluhan tahun. Biasanya setelah tengah malam yang sepi, Mak Itam mulai menyanyi sambil merekam di kamarnya.
“Apakah cerita nyanyian ini karangan Mak semata atau ada buku yang Mak baca dahulu?" tanya Kompas.
“Tidak,” tegas Mak Itam didampingi cucunya Anggun Windi Sendari (16) yang banyak menerjemahkan bahasa neneknya.
Seluruh nyanyian tidak pernah tertulis di buku. Bahkan, pada saat awal belajar nyanyian panjang di usia tujuh tahun, Mak Itam masih buta huruf. Proses belajar nyanyian itu diturunkan oleh bibinya Siti Hawa yang merupakan salah satu pelantun nyanyian panjang di desanya.
“Pada umur 10 tahun, saya sudah bisa membawakan nyanyian panjang sendiri. Dulu saya sering menemani bibi ke acara pesta perkawinan, acara adat dan acara-acara besar di kampung. Seluruh nyanyian masih tersimpan di sini,” kata Mak Itam sembari memegang dada dan kepalanya.
Setelah tahun 1990, nyanyian panjang meredup dan jarang ditampilkan. Pada saat pesta, orang lebih suka mengundang pemain kibor atau organ tunggal, begitu warga menyebut alat musik keyboard. Akibatnya, nyanyian panjang mati suri.
Pada 2010, Mak Itam mendapat penghargaan dari Bupati Pelalawan, Rustam Effendi. Pada tahun 2016, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI menetapkan nyanyian panjang sebagai warisan tak benda Indonesia asal Riau. Mak Itam dinobatkan sebagai maestronya.
Meski demikian, Mak Itam risau. Ia mengaku sedih karena tidak ada anak muda di kampungnya yang mau menekuni nyanyian panjang. Masih untung Herman menemukan seorang perempuan muda bernama Kharisma yang mau mempelajari tradisi lisan orang Petalangan itu.
Dalam beberapa kesempatan, Kharisma sudah mendampingi Mak Itam dalam pergelaran nyanyian panjang. Namun, tidak ada jaminan sastra lisan itu akan berumur panjang seperti kisah-kisahnya yang dinyanyikan panjang.
Baiya atau Mak Itam
Lahir : Kuala Panduk, 72 tahun lalu
Suami : Kamal (meninggal dunia)
Anak : Adis (37) dan Kana Rusmita (35)
Pendidikan : tidak sekolah