”Along-along”, Saksi Sejarah Perkembangan Pulau Rupat
Oleh
Syahnan Rangkuti
·4 menit baca
Matahari pagi belum terlalu muncul di ufuk timur, namun semburat jingga sudah terlihat di angkasa. Di pagi berkabut asap tipis itu, antrean kendaraan di pelabuhan roro Dumai-Rupat di kawasan Purnama, Kota Dumai, sudah mulai terlihat. Antrean didominasi oleh kendaraan pedagang sayur dan kebutuhan rumah tangga menggunakan sepeda motor dengan keranjang besar di boncengan.
Sejumlah pedagang lain membawa muatan lebih banyak menggunakan kendaraan sepeda motor beroda tiga yang memiliki bak kecil di belakang. Ada pula mobil bak terbuka yang mengangkut kebutuhan rumah tangga, seperti beras, gula, dan ayam, serta berbagai dagangan lain.
Antrean kendaraan itu menunggu keberangkatan kapal roro pertama dari Dumai yang akan menyeberang ke Pelabuhan Tanjung Kapal di Pulau Rupat pada pukul 07.00.
Para pedagang yang biasa disebut along-along itu adalah penyuplai utama bahan kebutuhan dapur yang masih segar kepada penduduk Pulau Rupat. Sebagian besar pedagang berasal dari Kota Dumai, yang mencari peruntungan di pulau seberang.
Kota Dumai dan Pulau Rupat hanya dipisahkan oleh Selat Morong yang dapat ditempuh selama 40 menit menggunakan kapal roro.
Rupat adalah pulau terluar Indonesia di Riau. Luasnya mencapai 1.500 kilometer persegi dan langsung berbatasan dengan Selat Malaka.
Di pulau itu hanya ada satu jalan poros memanjang di bagian tengah dari pelabuhan Tanjung Kapal (Kecamatan Rupat) di selatan menuju utara di Tanjung Medang (Kecamatan Rupat Utara), sekitar 80 kilometer. Pada malam hari, dari Pantai Tanjung Medang terlihat jelas pemandangan lampu-lampu Pelabuhan (Port) Klang di Malaysia yang terang benderang. Jaraknya hanya sekitar 30 mil laut (55,6 kilometer).
Pekerjaan sebagai along-along banyak dijumpai di sepanjang pantai timur Sumatera dari Sumatera Utara sampai Riau. Pekerjaan itu sesungguhnya persis seperti tukang sayur keliling lingkungan perumahan di Jakarta. Bedanya, daya jelajah along-along lebih jauh karena pelanggannya tersebar dari kampung ke kampung yang saling berjauhan.
Along-along awalnya muncul untuk mengatasi kebutuhan warga yang bermukim di perusahaan perkebunan di Sumatera Utara dan Riau, yang biasanya jauh dari pasar di kota kecamatan. Di Pulau Rupat, Kabupaten Bengkalis, Riau, along-along muncul karena awalnya nyaris tidak ada kegiatan pertanian dan sumber bahan pokok di pulau itu. Jadi, semua sayuran dan bahan pokok harus dipasok dari luar. Karena jaraknya yang sangat dekat dengan Kota Dumai, kemudian muncul along-along memanfaatkan permintaan pasar.
Along-along adalah sahabat ibu-ibu dan kedai-kedai yang berjualan di sepanjang jalan Pulau Rupat. Berkat along-along, upaya masak-memasak sayur segar dan lauk-pauk keluarga menjadi lebih gampang.
”Along-along menggunakan Jialing (merek kendaraan roda tiga yang menggunakan bak terbuka) seperti saya, jualannya tidak terlalu jauh. Paling-paling kami hanya berjalan sekitar satu jam sampai satu setengah jam dari pelabuhan. Kalau along-along mobil khusus untuk jarak jauh, sampai ke Rupat Utara,” kata Juhari (40), salah seorang along-along yang ditemui Kompas di atas kapal roro penyeberangan dari Dumai menuju Pulau Rupat, Kamis (28//2/2019) pagi.
Tidak semua along-along berasal dari Dumai. Sebagian kecil pedagang merupakan penduduk asli Pulau Rupat. Mereka memilih menyeberang pada sore hari dan bermalam di Dumai. Setelah berbelanja ke pasar, along-along lokal itu menyeberang kembali bersama koleganya yang berasal dari Dumai di pagi hari.
”Along-along dari Rupat bisanya pemilik kedai kecil yang mencari keuntungan lebih besar. Namun, pemilik kedai-kedai besar umumnya membeli sayur dan ikan dari kami karena tidak merepotkan mereka. Kedai besar hanya memasok sendiri kebutuhan barang kering saja, seperti beras, minyak goreng, dan barang lain,” kata Juhari.
Juhari yang biasa dipanggil Ucok mengatakan, along-along berfungsi ganda. Pada pagi hari, mereka berjualan sayur dan bahan pokok kepada warga Pulau Rupat. Namun, di sore hari, mereka membeli hasil bumi warga Rupat untuk kembali dijual di Dumai.
”Saya biasa membeli pisang, cabai, atau jengkol dari warga (Rupat). Hasilnya cukup lumayan,” kata Ucok menolak menyebutkan pendapatannya.
Yang jelas, omzet para along-along cukup besar. Ucok menyebutkan, barang dagangannya bernilai Rp 10 juta rupiah. Jika ditotal, Ucok memperkirakan dagangan semua along-along yang beredar di Rupat setiap hari mencapai Rp 500 juta rupiah.
Pedagang along-along adalah saksi sejarah perkembangan Pulau Rupat. Edi (45), along-along yang sudah berjualan selama 10 tahun, mengatakan, awalnya ia hanya membawa sedikit dagangan menggunakan sepeda motor. Ketika itu, barang dagangannya sulit terjual karena tingkat ekonomi rakyat di pulau itu rendah.
”Dulu sewaktu roro mulai beroperasi 10 tahun lalu, jalan di Rupat masih sangat buruk. Warganya masih banyak yang miskin. Saya berjualan disana karena belum ada pedagang lain sebagai saingan,” kata Edi.
Perlahan, kata Edi, ekonomi warga membaik setelah muncul kelapa sawit pada era 2010-an. Hasilnya, kini setiap hari 40-60 truk pengangkut tandan buah kelapa sawit terlihat menyeberang ke Dumai menggunakan roro.
Warga Rupat pun sudah mulai menanam berbagai pohon buah dan jengkol, bahkan sesekali menanam cabai.
Perlahan ekonomi warga meningkat. Kini, para along-along semakin mudah berjualan. Barang dagangan yang dijual semakin banyak dan berkembang. Hasilnya pun sepadan dengan kerja keras mereka yang berjalan jauh menyeberangi laut dan menyusuri daratan pulau.