Persoalan pencemaran di Teluk Jakarta sudah bertahun-tahun dibawa ke hadapan publik. Dampaknya pada kerang hijau pun sudah diangkat dalam riset sejumlah peneliti. Namun, urusan perut mengalahkan ketakutan masyarakat pada efek pencemaran ke kesehatan tubuh.
Oleh
J Galuh Bimantara
·4 menit baca
Persoalan pencemaran di Teluk Jakarta sudah bertahun-tahun dibawa ke hadapan publik. Dampaknya pada kerang hijau pun sudah diangkat dalam riset sejumlah peneliti. Namun, urusan perut mengalahkan ketakutan masyarakat pada efek pencemaran ke kesehatan tubuh.
Ketrik, ketrik, ketrik, ketrik.... Suara gunting pemretel kerang hijau beradu dengan kulit kerang di salah satu kawasan pinggir laut di RT 012 RW 004 Kelurahan Cilincing, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara, Selasa (26/2/2019) sore. Enam orang, kebanyakan kaum ibu, sibuk melepaskan kerang-kerang dari tali tambang yang jadi tempat hinggap hewan bercangkang dua ini.
Kerang itu hasil panen para nelayan di perairan Teluk Jakarta. Area pencarian mereka hingga sekitar 3 kilometer dari batas daratan Ibu Kota.
Tempat pemretelan sekaligus perebusan kerang berada di semacam rumah panggung yang ditopang bambu dan kayu di atas permukaan laut. Seusai mempreteli kerang, mereka membuang begitu saja kotoran dan tali tambang ke laut.
Salah satu pemretel kerang, Rina (49), tertarik untuk bergabung karena ingin membantu menambah penghasilan bagi keluarga. Dalam sehari, Rina rata-rata mendapat Rp 25.000 dari kerja merontokkan kerang.
Profesi suaminya pun tidak jauh-jauh: mengantar kerang dari kapal nelayan ke pengepul kerang di daerah Kalibaru, Cilincing, dengan mengendarai mobil. ”Penghasilan dari suami rata-rata hanya Rp 1,5 juta setiap bulan,” kata Rina. Sementara itu, dua dari empat anak mereka masih jadi tanggungan karena masih sekolah.
Profesi ini sudah dijalani Rina sepuluh tahun, sesuai usia bisnis kerang hijau bosnya, Rosyid (43). Pria yang akrab disapa Bang Cemong itu sedang mengemas bumbu pedas dalam plastik-plastik ukuran 1 liter. Bumbu itu juga akan dijual bersama kerang hijau siap saji ke warung-warung makan. ”Ini namanya bumbu sambalado,” ujarnya.
Siklus produksi di sana, Rosyid menerima kerang hijau yang dikumpulkan nelayan, berkisar 400-480 kilogram (bobot kotor, termasuk jaring dan segala yang tersangkut di situ) per hari. Kerang lantas dipreteli dari tali atau bahan yang dihinggapi. Setelah itu, kerang-kerang direbus selama 10-15 menit tanpa bumbu ataupun garam.
Kerang kemudian dikemas dalam ember dan diangkut oleh karyawan yang mengendarai motor ke warung-warung makan pelanggan Rosyid. Di warung, penjual tinggal menambahkan bumbu yang sudah dibuatkan Rosyid ke dalam kerang sebelum disajikan kepada penikmat kerang.
Dalam sehari, ia rata-rata memproduksi 300 kilogram kerang siap saji (bobot kerang berkurang dibandingkan saat diterima dari nelayan karena sudah dibersihkan dan direbus).
Rosyid yang berambut panjang dan gemar mengenakan kacamata hitam itu menceritakan, bisnisnya bermula dari kepekaan dia terhadap bisnis potensial di daerah Condet, Jakarta Timur. ”Waktu itu tidak ada yang jual kerang di Condet,” ucapnya.
Ia pun mulai membuka tempat penampungan kerang hijau dari nelayan di Cilincing sepuluh tahun lalu untuk dimasak dan dijual kepada konsumen. Awalnya, ia berkeliling menjajakan kerang dengan menggenjot sepeda. Setahun kemudian, ia membuka warung makan kerang hijau di Kelurahan Batu Ampar, Kramatjati, Jakarta Timur. Warung itu masih jaya hingga sekarang.
Rosyid menuturkan, omzet dari kerang hijau di warungnya sekitar Rp 1,3 juta per hari. Dari warung yang buka pukul 17.00-22.00 itu, ia kini mampu mengupah empat pekerja. Masing-masing menerima Rp 130.000 per hari.
Ia bahkan memasok kerang untuk belasan warung lain di Jakarta Timur, Jakarta Selatan, hingga Depok. Penghasilan kotor dari menjual kerang ke warung-warung ini Rp 4 juta per hari.
Rosyid tidak melihat adanya masalah akibat pencemaran pada kerang-kerang yang dijualnya. ”Selama sepuluh tahun ini, tidak ada konsumen yang mengeluh,” katanya.
Tidak ada penikmat kerang yang jatuh sakit akibat makan kerang hijau Rosyid. Permintaan terhadap kerang hijau pun tidak ada habisnya meski ada isu pencemaran.
Rosyid dan orang-orang yang mendapat lapangan pekerjaan dari bisnisnya menolak disalahkan karena terus menyuguhkan kerang hijau kepada masyarakat. Pihak yang salah bagi dia adalah pemerintah, yang sekian lama tidak kunjung mengatasi pencemaran Teluk Jakarta. ”Selama ini, pemerintah tidak pernah peduli soal itu,” ujarnya.
Di sisi lain, para peneliti sejak lama sudah mengingatkan potensi bahaya mengonsumsi kerang hijau dari Teluk Jakarta. Dosen Institut Pertanian Bogor, Etty Riani, misalnya, menyarankan agar kerang hijau Teluk Jakarta tidak dikonsumsi karena konsentrasi logam beratnya paling tinggi.