Tidak Semua Trotoar di Jalur MRT Layak Bagi Pejalan Kaki
JAKARTA, KOMPAS - Koalisi Pejalan Kaki (KoPK) menyoroti perbedaan bentuk trotoar yang berada di sepanjang 13 kilometer jalur moda raya terpadu (MRT) dari Lebak Bulus-Bundaran Hotel Indonesia. Ternyata, bentuk trotoar yang ideal baru terbentang di sepanjang kawasan Sudirman-Thamrin-Stasiun Senayan.
Semakin ke arah selatan, mulai Jalan Sisingamangaraja, Jalan Panglima Polim, Jalan Fatmawati, Jalan RA Kartini, hingga Lebak Bulus, kondisi trotoar kian menyempit dan tidak ramah bagi pejalan kaki.
Jumat (1/3/2019) sore, tiga anggota KoPK bersepeda menyusuri jalur MRT dari Jalan MH Thamrin ke Jalan Sudirman, hingga Blok M dan Jalan RS Fatmawati. Mereka ingin melihat lebih dekat kondisi trotoar di sepanjang jalur bawah tanah maupun jalur layang MRT.
Dari pengamatan mereka, ternyata bentuk dan kualitas trotoar di sepanjang jalur MRT bisa dibagi ke dalam tiga zona utama.
Zona 1 berada di antara Stasiun Bundaran Hotel Indonesia hingga Stasiun Senayan. Trotoar di zona ini bisa dikatakan ideal karena lebar, bagus, dilengkapi fasilitas untuk penyandang disabilitas, dan ramah bagi pejalan kaki. Trotoar dalam zona ini sering mendapatkan pujian. Bahkan, baru-baru ini Wakil Presiden Jusuf Kalla menjuluki trotoar di zona 1 sebagai "trotoar Singapura" atau "trotoar luar negeri".
"Setelah Bundaran Senayan ke selatan ke arah Blok M, trotoar semakin menyempit dan banyak terjadi pelanggaran seperti sepeda motor naik ke trotoar saat macet. Yang paling parah itu trotoar dari Stasiun Fatmawati ke Lebak Bulus. Di situ trotoarnya sempit, hanya sekitar satu-tiga langkah kaki, tinggi, dan tidak dilengkapi ramp," ujar Sandy Apriliansyah dari Koalisi Pejalan Kaki, Jumat.
Meskipun demikian, KoPK mengapresiasi pembangunan speed bump yaitu semacam polisi tidur yang berfungsi untuk memperlambat kecepatan kendaraan di zona 2 Bundaran Senayan-Jalan RS Fatmawati. Speed bump di mulut jalan ini sangat mendukung keselamatan pejalan kaki.
Namun, sayangnya kualitas trotoar di zona 2 ini menurun dibandingkan dengan kawasan bisnis dan perkantoran Sudirman-Thamrin. Di zona 2, trotoar cukup luas dan lebar tetapi tidak sebaik di zona 1.
Bahkan, di ujung Jalan RS Fatmawati yang berbatasan dengan Jalan TB Simatupang, tidak ada akses trotoar sama sekali. Di sepanjang jalan itu, sedang dibangun saluran drainase sehingga bagian atasnya masih dibiarkan menjadi lubang menganga. Pejalan kaki harus berdesakan dengan sepeda motor dan mobil.
"Ini padahal tinggal menghitung hari untuk pengoperasian MRT secara komersial, tapi kok masih ada 1 persen masalah terutama soal fasilitas pendukung bagi pejalan kakinya. Seharusnya, masalah ini diselesaikan terlebih dahulu," ujar Alfred Sitorus, anggota KoPK.
Kondisi paling parah berada di zona 3 yaitu Stasiun Fatmawati hingga Lebak Bulus. Di zona ini, kualitas trotoar sangat mengkhawatirkan secara fisik. Lebar trotoar di bawah Stasiun Fatmawati kurang dari satu meter. Trotoar juga dibuat dengan desain tinggi tanpa ramp yang sangat tidak ramah pejalan kaki dan ibu hamil.
Trotoar dari Stasiun Fatmawati pun tidak terintegrasi dengan baik dengan stasiun terdekat yaitu Stasiun Cipete Raya. Jika ingin berjalan kaki ke arah Stasiun Cipete Raya, pejalan kaki harus menyeberang cukup berbahaya di perempatan TB Simatupang.
Setelah itu, di Jalan RS Fatmawati yang berada dekat exit tol Fatmawati, belum tersedia trotoar. Trotoar masih berbentuk lubang menganga karena digunakan untuk membangun saluran air. Kondisi ini terpantau sepanjang sekitar 1 kilometer hingga ke arah ITC Fatmawati.
"Sejak dulu sebelum ada MRT, kualitas trotoar di Jalan Fatmawati ujung yang berbatasan dengan TB Simatupang ini memang sudah buruk. Sekarang tambah parah karena ternyata malah tidak ada trotoar sama sekali," tukas Sandy.
Pekerjaan yang belum selesai
KoPK mengapresiasi keberhasilan Pemprov DKI dalam membangun moda transportasi massal yang memudahkan mobilitas pejalan kaki di wilayah Jakarta. Namun, ternyata masih ada 1 persen pekerjaan yang belum selesai yaitu penyediaan fasilitas integrasi dan pendukung pejalan kaki.
Mengapa bentuk fasilitas trotoar di sepanjang 13 km jalur MRT tidak sama? Apakah yang membuat perbedaan antara fasilitas di pusat kota dengan pinggiran kota?
"Untuk itu kami meminta Presiden RI dan Gubernur DKI mengkaji kembali operasional MRT karena aksesibilitas penumpang sebagai prasyarat MRT dapat beroperasi dengan baik, belum tersedia. Alangkah hebatnya bisa membangun MRT tetapi fasilitasnya luput," tegas Alfred.
KoPK juga mendesak pemprov DKI supaya dapat menegakkan hukum di trotoar sepanjang jalur MRT. Sebab, masih banyak pelanggaran terjadi seperti trotoar menjadi tempat parkir, dan pada saat macet kendaraan masih naik ke trotoar.
Hal ini sangat membahayakan bagi para pejalan kaki yang mengakses trotoar tersebut. Jika pelanggaran itu terus dibiarkan, keamanan dan kenyamanan pejalan kaki akan terabaikan. Hal itu akan berpengaruh pada kesediaan dan kenyamanan pejalan kaki saat menggunakan MRT.
Dari kondisi dan observasi KoPK di lapangan, mereka memberikan delapan rekomendasi di antaranya menyarankan Pemprov DKI dan pemangku kepentingan memberikan penjelasan kepada masyarakat terkait perbedaan lebar dan bentuk trotoar di pusat kota dan pinggiran kota.
Kedua, meminta Pemprov DKI dan penegak hukum terkait melakukan edukasi kepada warga, pengendara, dan pejalan kaki tentang pentingnya menaati aturan lalu lintas.
Ketiga, mendorong Pemprov DKI dan pemangku kepentingan membangun fasilitas pejalan kaki yang ramah di sepanjang jalur MRT tetapi juga di sepanjang gang dan jalan yang terhubung dengan akses menuju stasiun.
Keempat, mendorong Pemprov DKI dan pemangku kepentingan terkait untuk membuat simulasi keramaian dan menata kolong stasiun sejak dini supaya tidak diokupasi ojek, taksi, dan pedagang kaki lima.
Kelima, mendorong Pemprov DKI dan pemangku kepentingan untuk melengkapi rambu-rambu lalu lintas, menyelesaikan pembangunan penyeberangan sebidang, memperbanyak penyeberangan jalan bagi pejalan kaki dan membangun halte atau bus stop yang mendukung integrasi antarmoda transportasi.
Keenam, mendorong Pemprov DKI dan pemangku kepentingan untuk menyediakan fasilitas pendukung seperti park and ride di stasiun-stasiun pinggiran kota seperti Fatmawati dan Lebak Bulus.
Ketujuh, mendorong pemerintah agar menetapkan dan mengimplementasikan regulasi yang mendorong pembatasan kendaraan (ERP, ganjil-genap) sehingga masyarakat dipaksa untuk beralih dari kendaraan pribadi ke MRT Jakarta.
Terakhir, dalam rangka mendukung #Gerakan1JutaTumbler yang dibuat oleh Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, KoPK mendorong agar Pemprov DKI dan pemangku kepentingan agar menyediakan tap water umum di setiap stasiun MRT yang dapat digunakan oleh pejalan kaki dan penumpang MRT.