Sebagian Warga Tangerang Masih Bergantung pada Sungai Cisadane yang Keruh
Oleh
Emilius Caesar Alexey
·3 menit baca
TANGERANG, KOMPAS - Sejumlah warga Kampung Tanjung Burung Beting, Desa Tanjung Burung, Kecamatan Teluknaga, Kabupaten Tangerang, Banten, masih memanfaatkan air Sungai Cisadane yang keruh untuk keperluan mandi, mencuci, dan buang air besar. Hal ini disebabkan oleh sulitnya akses air bersih di tempat mereka.
Desa Tanjung Burung merupakan tempat bermuaranya aliran Sungai Cisadane yang mengalir sepanjang sekitar 126 kilometer dari hulu di Gunung Pangrango dan Salak sampai ke Laut Jawa. Sungai ini melintasi Kota dan Kabupaten Tangerang.
Berdasarkan pantauan, Jumat (1/3/2019), Kampung Tanjung Burung Beting, berada di pinggir Sungai Cisadane. Pada Jumat siang itu, aliran sungai berwarna coklat dan membawa sampah plastik dari hulu.
Di sungai berwarna coklat inilah Khusna (55) dan sejumlah warga lain mandi, mencuci baju, dan memenuhi panggilan alam. Rumah bambu milik Khusna berjarak sekitar 10 meter dari pinggir Sungai Cisadane. “Kalau untuk masak dan minum, saya pakai air galon,” kata warga RT 16 RW 008 ini.
Khusna membeli segalon air seharga Rp 5.000. Dalam sebulan, ia menghabiskan sekitar Rp 100.000 untuk membeli air. “Serasa udah kayak di kota saja, padahal ini kampung,” kata ibu dua anak dan satu cucu ini.
Sebenarnya, Khusna bisa lebih hemat dengan membeli air bersih yang dijual di kampungnya. Air bersih itu dipasok oleh Perusahaan Daerah Air Minum. Satu jerigen air bersih dijual seharga Rp. 2.500. Namun tempat pembelian air ini berjarak sekitar satu kilometer dari rumahnya. Ia tak sanggup mengangkut air tersebut.
Berjarak 20 meter dari rumah Khusna, terdapat bambu-bambu yang disusun di pinggir sungai. Di tempat inilah warga mencuci baju dan mandi. Pada jumat siang itu, seorang ibu mencuci baju ditemani anaknya yang berumur sekitar 3 tahun. Sang anak turut mencuci pakaiannya sendiri. “Saya nyuci beras juga di sini. Walau agak keruh, airnya nggak bau kok,” kata ibu itu.
Ketua Ketua RT 016 RW 008 Ija mengatakan, di Kampung Tanjung Burung Beting terdapat 130 rumah dan dihuni sekitar 170 keluarga. Hampir separuh dari jumlah rumah tersebut belum mempunyai MCK.
“Yang tidak punya MCK ya mandinya di kali ini. Di sini juga masih biasa memakai ‘WC terbang’,” kata Ija. “WC terbang” merujuk pada aktivitas manusia yang membuang kotoran ke dalam plastik, lalu plastik itu dibuang ke semak atau ke badan kali.
Ija bercerita, warga berhenti mengonsumsi air Sungai Cisadane pada tahun 1990-an. Sebelumnya, warga masih memanfaatkan air sungai itu untuk air minum. “Pada sekitar tahun 1998, air sungai kondisinya sudah nggak bener,” kata pria yang sudah tinggal sejak tahun 1970 di kampung ini.
Banjir
Kawasan kampung ini berada pada pinggir sungai yang tidak memiliki turap. Ketinggian daratan dari aliran sungai kurang dari satu meter. Jika hujan di hulu, kampung ini akan terendam.
Pada Sabtu kemarin, air sungai itu meluap. Rumah Khusna tergenang air bercampur lumpur hingga selutut orang dewasa. Sisa lumpur itu masih terlihat di depan rumahnya. Sampah-sampah plastik sisa banjir tersangkut di ranting pohon yang tumbuh di pinggir sungai. “Kalau udah banjir, saya memilih untuk tidak mandi karena air sungai butek dan bau busuk,” kata Husna.
Kontras
Kondisi pinggir Cisadane di Kampung ini terlihat kontras dengan pinggir Cisadane melintasi Kota Tangerang. Pinggir Sungai Cisadane di kota yang baru saja merayakan Hari Ulang Tahun ke-26 ini ditata sedemikian rupa.
Menelusuri bantaran Cisadane, mulai dari Cikokol hingga ke arah hilir, banyak ditemukan taman dan pusat jajan. Ada Kampung Bekelir di Jalan Perintis Kemerdekaan yang dulu kumuh dan kini bersih berwarna. Ada juga Flying River Deck di Jalan Kalipasir Indah. Semakin ke bawah, temukan Cisadane Walk di Jalan Benteng Makasar. Di tempat ini sebuah tulisan ”Cisadane” terpajang, cocok buat swafoto. (Kompas, Kamis 28 Februari 2019).