Remah-remah Kejayaan ”Si Rubah”
”Si Rubah”, Leicester City, pernah menjadi dongeng paling menakjubkan di tanah Inggris saat menjuarai Liga Primer, tiga tahun silam. Dari klub semenjana berubah menjadi juara setelah 133 tahun berkompetisi. Alih-alih bertahan, kejayaan itu tinggal menyisakan cerita dan sisa-sisa penderitaan.
Kisah Leicester menjuarai Liga Primer 2015/2016 merupakan kemenangan dalam sejarah olahraga. Bayangkan saja, mereka juara dengan bursa taruhan 5.000 banding 1 dari rumah-rumah perjudian di Eropa. Nilai peluang itu sama dengan kenyataan bahwa Elvis Presley, penyanyi kenamaan asal Amerika Serikat, ternyata masih hidup hingga saat ini.
Musim itu merupakan tahun pertama Leicester bersama pelatih baru, Claudio Ranieri. Setelah finis di peringkat ke-14 musim sebelumnya, dengan materi yang nyaris sama, Ranieri mengantarkan Leicester melewati tim raksasa, seperti Arsenal, Chelsea, Liverpool, dan duo Manchester, untuk memenangi trofi pertama dalam 133 tahun sejak tim itu ditemukan.
”Ini sangat menakjubkan. Musim sebelumnya mereka bertarung keluar dari degradasi. Cerita ini sungguh tidak nyata. Ini adalah kombinasi dari spirit dan bakat pemain ditambah pengalaman pelatih. Terbukti semuanya mungkin dalam sepak bola,” kata David Beckham, legenda Manchester United pemenang enam gelar Liga Primer, kepada Sky Sports.
Kemenangan Leicester sangat telak musim itu, menandakan bukan suatu keberuntungan semata. Tak tanggung-tanggung, mereka meraih 82 poin, unggul 11 poin dari Arsenal di peringkat kedua. Tim lain pun tertinggal jauh, Tottenham dengan 70 poin, sedangkan Manchester City dan Manchester United dengan 66 poin.
Tulang punggung Leicester antara lain Jamie Vardy, Riyad Mahrez, dan N’golo Kante, muncul dari pemain medioker menjadi pemain bintang. Tanda tangan mereka diburu semua tim besar Eropa setelahnya. Saat ini, hanya Vardy yang masih setia berseragam biru khas Leicester. Mahrez memilih pergi ke City, sedangkan Kante ke Chelsea.
Dongeng Leicester berakhir manis pada pengujung musim. Namun, titik itu juga merupakan awal kisah pahit mereka. Pertama, Kante pergi pada musim baru. Setelah itu, sembilan bulan setelah mendapat gelar, Ranieri dipecat dari klub karena terpuruk di papan tengah klasemen Liga Primer.
Rubah berubah
Pada musim 2018/2019, Si Rubah telah jauh berubah dari musim magis tiga tahun silam. Krisis tak hentinya melanda Stadion King Power, markas Leicester. Pekan lalu, akhir Februari 2019, pelatih mereka, Claude Puel, resmi dipecat.
Puel dipecat setelah menangani Vardy dan rekan-rekan selama 16 bulan. Dia dipecat seusai Leicester kalah enam kali dalam tujuh laga terakhir, termasuk saat dibantai 1-4 oleh Crystal Palace, pekan lalu. Hasil itu membawa mereka berada di peringkat ke-11. Peringkat tersebut jauh dari target awal masuk ke papan tengah.
Target itu harga mati. Sebab, pada awal musim, Puel telah mengeluarkan 100 juta poundsterling lebih untuk belanja pemain, terlepas dari pindahnya Mahrez. Dia mendatangkan bek senior Inggris, Jonny Evans, dan penyerang sayap Aljazair, Rachid Ghezzal.
Pemecatan ini merupakan yang kedua kalinya dalam rentang kurang dari dua tahun. Sebelum Puel, pelatih pengganti Ranieri, Craig Shakespeare, yang menjadi korban keterpurukan Si Rubah. Shakespeare hanya memimpin tim tersebut dalam 26 laga.
Robert Huth, bagian dari tim juara yang sudah pensiun, sempat bekerja dengan Puel. Dia kebingungan mengapa Leicester tidak bisa meraih kejayaannya lagi. Padahal, Puel sama seperti Ranieri.
”Puel merupakan pekerja keras. Dia membawa energi positif ke dalam tim. Saat itu, kami selalu bermain sepak bola penuh energi dalam 90 menit, sama seperti yang dilakukan Ranieri. Tetapi, entah mengapa hasilnya berbeda, kata bek Inggris tersebut.
Remah-remah kejayaan Leicester, seperti Vardy, Kasper Schmeichel, Wes Morgan, Marc Albrighton, ataupun Shinji Okazaki, masih menjadi bagian klub saat ini. Namun, performa mereka tidak pernah kembali ke puncaknya seperti pada 2015/2016. Ini terutama tampak pada Vardy, yang tampil inkonsisten setelah menolak tawaran pindah ke Arsenal beberapa musim lalu.
Di sisi lain, sang manajer, Ranieri, juga kesulitan mencari formula sukses di klub lain. Dia sempat melatih Nantes pada 2016/2017 dan kini melatih Fulham sejak November 2018. Namun, kemarin, Kamis (28/2/2019), pihak klub Fulham baru saja memutus kontrak dengan pelatih asal Italia tersebut.
Wakil Presiden Fulham Tony Khan memutus kontrak Ranieri setelah Fulham terpuruk satu peringkat di atas juru kunci klasemen Liga Primer dengan rekor 3 menang, 3 seri, dan 10 kalah bersama mantan pelatih Chelsea tersebut. ”Tidak ada kejutan. Claudio juga sudah menerima keputusan ini. Kehadirannya tidak memberikan sesuatu yang kami harapkan,” ucap Khan.
Bahkan, nasib lebih miris harus diterima pemilik klub sebelumnya, Vichai Srivaddhanaprabha. Pria asal Thailand ini tewas akibat kecelakaan helikopter saat akan pulang menonton Leiciester dari Stadion King Power pada Oktober lalu.
Lupakan yang terjadi kemarin. Itu adalah sebuah bonus. Sebuah dongeng yang akan terus diingat. Jangan berpikir keajaiban itu akan datang kembali tanpa kesiapan dan pertarungan yang keras.
Baca juga: Pemilik Leicester Termasuk Korban Tewas Kecelakaan Heli
Vichai merupakan salah satu aktor utama dalam kesuksesan Leicester menjadi juara. Dia membeli tim tersebut saat masih berada di divisi kedua, Championship, pada 2010 seharga 39 juta poundsterling. Sejak itu, dia membangun tim dengan mengumpulkan pemain berbakat, termasuk pelatih berpengalaman.
Nyaris seluruh fondasi dongeng Leicester sedang mengalami krisis. Namun, Si Rubah agaknya memiliki sedikit harapan. Dikabarkan, Puel resmi digantikan oleh Brendan Rodgers. Mantan pelatih Liverpool itu meninggalkan klub yang sedang dilatihnya, Celtic, demi menyeberang ke Stadion King Power.
Rodgers merupakan pelatih berpengalaman yang pernah membawa ”Si Merah”, Liverpool, nyaris juara Liga Primer pada musim 2013/2014. Dia membangkitkan naluri juara Steven Gerrard dan rekan-rekan setelah pada musim sebelumnya hanya finis di peringkat ke-7. Materi yang dimiliki Rodgers serupa dengan Ranieri yang sempat membangun Chelsea pada era 2000-an, sebelum kedatangan Jose Mourinho.
Meski begitu, tidak ada jaminan kesuksesan. Bahkan, Ranieri saja sempat mengungkapkan, kisah Leicester adalah sebuah dongeng yang akan sulit terulang. ”Lupakan yang terjadi kemarin. Itu adalah sebuah bonus. Sebuah dongeng yang akan terus diingat. Jangan berpikir keajaiban itu akan datang kembali tanpa kesiapan dan pertarungan yang keras,” kata Ranieri.
Dongeng Si Rubah masih menjadi misteri hingga hari ini. Banyak yang menganggap kemenangan Leicester bermula dari janji sang bos untuk membelikan makanan khas negaranya, pizza, jika mereka bisa mengakhiri laga tanpa kebobolan. Namun, hal itu keterusan hingga mereka juara. Jika benar adanya, Rodgers tampaknya harus memikirkan makanan terbaik dari negara asalnya, Irlandia Utara. (THE GUARDIAN/SKY SPORTS)