Pesan Purnomo yang Tak Terbalas
Sebuah pesan lewat aplikasi komunikasi whatsapp, Jumat, 1 Februari 2019, muncul di telepon seluler saya. “Mas Adi, saya dirawat di RSPI Bintaro Jaya, kamar 6103”. Pesan itu dari Purnomo, mantan sprinter nasional dengan prestasi level Asia bahkan dunia, di era 1980-an. Ia menginformasikan, harus dirawat lagi di rumah sakit karena kanker limfoma yang lama dideritanya, kambuh lagi.
Ketika itu, saya menjawab, belum bisa menjenguk, sembari menginformasikan bahwa Ibu saya juga sedang sakit. Mas Pur, demikian saya biasa memanggil, menjawab, “Semoga Ibunda lekas sembuh”. Saya membalas lagi, “Semoga demikian pula dengan mas Pur. Cepat sembuh, mas”.
Waktu berlalu, beberapa hari kemudian, Selasa (5/2/2019), Purnomo mengirim pesan lebih panjang, mayoritas keluh kesahnya. Diawali dengan kalimat bahwa salah satu cita-cita warga Indonesia, adalah berprestasi setinggi-tingginya bagi negara. Maka, lanjut dia, ketika ada peluang untuk berkarier menjadi pelari, kesempatan itu tak disia-siakannya.
Era 1980-an menjadi pembuktian Purnomo yang berasal dari Ajibarang, Jawa Tengah, sebagai salah satu pelari cepat andalan Indonesia. Beberapa prestasi penting yang dicatatnya, yakni medali perak nomor 100 meter Kejuaraan Atletik Asia 1985 di Jakarta. Ia membukukan waktu 10,33 detik, yang sekaligus menjadi rekor nasional.
Baca juga : https://kompas.id/baca/utama/2019/02/16/selamat-jalan-purnomo/
Puncak penampilannya tak lain adalah saat tampil di Olimpiade Los Angeles 1984. Kala itu, Purnomo lolos ke semifinal nomor 100 meter. Pencapaian itu menjadi tonggak sejarah atletik Indonesia, karena hingga kini tim "Merah Putih" belum pernah meloloskan pelarinya lagi di semifinal 100 meter putra olimpiade.
Pesannya berlanjut dengan kalimat, "Awal 2015 Purnomo terserang kanker kelenjar getah bening di sekitar usus halus. Saya harus berjuang lagi, cuma kali ini beda. Purnomo harus berjuang melawan kanker".
Ia mengisahkan, lima tahun lamanya berjuang untuk kesembuhan. Sempat dinyatakan sembuh, dan beberapa kali pula kankernya kambuh. "Dan kambuh kali ini adalah kambuh tahun kelima," tuturnya, sembari mengisahkan bahwa harta benda hasil kerja keras selama sehat, habis terkuras untuk berobat.
Saat ditanya dari mana biaya pengobatan selama ini, ia menyebutkan, sejauh ini dari semangat, simpati dan bantuan dari sahabat, yang membuatnya bisa bertahan. Ia menepis saat disinggung bantuan dari pemerintah. "Bantuan dari Pemerintah? Maaf jangan tanya itu!! Sudah lima tahun saya sakit, belum ada bantuan baik dari PB PASI maupun Menpora," ujarnya.
Mungkin, lanjut dia, prestasi yang dulu pernah ia persembahkan, dianggap belum pantas untuk membuatnya menerima bantuan pemerintah. "Lalu bagaimana pejuang dan pahlawan olahraga yang lain? Semoga mereka tidak mengalami nasib seperti saya," kata Purnomo lagi.
Ia berharap banyak, saya menulis berita tentangnya lagi, seperti beberapa kesempatan sebelumnya. "Terserah Mas Adi judulnya apa. Saya percaya saja. Semoga ada dermawan yang tergerak dan bersedia membantu saya," tuturnya lagi.
Saya menjawab singkat, "Baik, mas Pur. Saya sempatkan ke RSPI beberapa hari lagi. Tetap semangat mas, biar segera sembuh lagi". Sudah saya siapkan waktu di akhir pekan untuk menjenguk mas Pur, sekaligus mencari bahan suasana untuk berita rancangan saya.
Terpaksa menyerah
Apa daya, Jumat (15/2/2019), atau 10 hari setelah pesan curhatnya, tersiar kabar Purnomo meninggal dunia. Pelari yang pernah menjadi andalan Indonesia itu, harus menyerah saat harus berjuang pulih dari kanker. Kepergiannya menyisakan kisah panjang perjuangan pemuda Ajibarang yang berkelana di Jakarta, dan sukses mencatatkan diri sebagai sprinter berkelas internasional, sekaligus pebisnis mapan.
Buat Purnomo, kesuksesannya bukan tanpa perjuangan. Ia kerap berkisah, dulu semasa masih menjadi atlet, masa-masa itu pula ia kuliah di STIE Perbanas. Setiap pagi sekitar pukul 06.30 WIB, setelah berlatih pagi ia bergegas mandi dan siap berangkat kuliah.
”Saya ingat betul, tepat jam tujuh pagi, ketika teman-teman (atlet) lain sedang tidur setelah berlatih, saya berangkat ke kampus Perbanas,” kata suami RAy Endang Irmastiwi itu.
Baca juga : https://kompas.id/baca/olahraga/2019/02/15/mantan-sprinter-nasional-purnomo-yudhi-berpulang/
Ia bahkan masih ingat trayek angkutan kota yang selalu ditumpanginya menuju kampus STIE Perbanas di Kuningan, yakni Kopaja S 66 (Manggarai-Blok M). Malam hari, setelah sesi latihan sore, ia pun masih harus mengerjakan tugas serta kursus komputer dan bahasa Inggris. Hasilnya? Setelah ia tak lagi berkiprah sebagai atlet, Purnomo sukses berkarier.
Ia pernah bekerja sebagai karyawan salah satu perusahaan apparel terkemuka di Indonesia. Selepas itu, Purnomo kemudian berkarier sebagai usahawan media promosi luar ruangan. Usahanya inilah yang kemudian membuat Purnomo makin eksis.
Dalam sebuah wawancara di Jakarta, Juli 2012, ia mengisahkan betapa masih sering terharu saat mengenang penampilannya di Olimpiade Los Angeles 1984. Selepas tak lagi menjadi atlet, ia juga bersyukur karena kerja kerasnya saat harus meraih gelar sarjana, berbuah karier yang layak dibanggakan.
"Banyak cerita hidup mantan atlet terlunta-lunta secara ekonomi. Alhamdulillah, saya tetap bisa menghidupi keluarga setelah tidak lagi menjadi atlet," tuturnya.
Kepeduliannya terhadap pembinaan olahraga nasional, juga terus dibuktikannya baik di saat sakit kanker limfoma, juga di saat sempat dinyatakan sehat. Ketika berlangsung diskusi tentang Asian Games 2018 di kantor Harian KOMPAS, Purnomo juga hadir dan menyampaikan pendapatnya.
Olahraga hampir selalu kebagian menteri dari partai politik. Ada yang bisa cepat menyesuaikan diri dengan problema-problema pembinaan olahraga nasional, tetapi ada juga yang lambat
“Olahraga hampir selalu kebagian menteri dari partai politik. Ada yang bisa cepat menyesuaikan diri dengan problema-problema pembinaan olahraga nasional, tetapi ada juga yang lambat. Kalau kemudian hasilnya tidak maksimal, apa tidak lebih baik, jabatan Menteri Pemuda dan Olahraga dipercayakan kepada mereka yang benar-benar memahami seluk beluk olahraga? Sehingga Menpora benar-benar berbicara dengan bahasa olahraga,” kata Purnomo ketika itu.
Waktu berlalu, kabar dari mas Pur timbul tenggelam. Sesekali saya menyapa, kadang dia yang mendahului berkirim kabar. Namun, sejak pertengahan 2017, ketika saya mewawancarainya untuk rubrik “Olimpian Kita”, yang kemudian terbit di Kompas pada 29 Juli 2017 dengan judul “LA 1984 dan Memori Semifinal 100 Meter”, pertemuan semakin jarang.
Baca juga : https://kompas.id/baca/olahraga/2018/04/29/purnomo-mutiara-dari-ajibarang/
Bahkan, kabar soal kembali dirawatnya sprinter andalan Indonesia era 1980-an itu di RS, belum membuat saya beranjak untuk segera menengoknya. Saya yakin, mas Pur masih bisa bertahan, seperti beberapa kesempatan sebelumnya ketika dia dinyatakan sembuh dari kanker, meski lalu kambuh lagi.
Apa boleh buat, kenyataan berkata lain. Mas Pur yang selalu penuh semangat, harus menghembuskan nafasnya yang terakhir. Pahlawan atletik Indonesia itu harus pergi, sebelum melihat mimpinya soal kondisi ideal pembinaan olahraga nasional terwujud.
Selamat jalan, mas Pur…