Cerita Pencemaran Tak Singgah kepada Para Pekerja Kerang Hijau
Oleh
Agnes Rita Sulistyawaty
·3 menit baca
”Jangan dimakan! Itu beracun, nanti kamu mati,” kata Asna (35) memperingatkan saat seekor kucing berusaha mencuri kerang hijau yang tengah dikupas, Selasa (26/2/2019). Siang itu, bersama puluhan wanita lain, ia duduk bercangkung mengupas kerang hijau.
Di RT 006 RW 022, Penjaringan, Jakarta Utara, ratusan orang menggantungkan hidup dari penjualan kerang hijau. Selain nelayan, kerang hijau juga membuka peluang bagi warga untuk bekerja sebagai perebus ataupun pengupas kerang.
Warga sekitar terbiasa menyebut lokasi itu Kampung Kerang Hijau. Di sana, rumah-rumah warga berdiri di atas daratan yang terbentuk dari limbah jutaan cangkang kerang hijau. Ketika berjalan di atasnya, suara pecahan cangkang kerang renyah terdengar.
”Kami enggak percaya kerang ini mengandung limbah berbahaya. Buktinya, kucing saja masih doyan makan kerang,” kata Asna yang sehari-hari menjadi pengupas kerang hijau.
Dengan nada bercanda, ia mengusir seekor kucing yang berusaha mencuri kerang. ”Tuh, kan, sudah saya usir dia tetap makan,” katanya sambil tertawa.
Pengupas mendapat upah Rp 30.000 per satu drum yang kurang lebih berisi 50 kilogram (kg) kerang hijau. Dalam sehari, jika bekerja tanpa istirahat dari pagi hingga petang, seorang pengupas bisa menyelesaikan dua drum.
”Sebenarnya sudah tahu dari dulu soal (berita) itu, tetapi sampai sekarang, kan, enggak ada larangan menjual kerang. Jadi,ya,kami tetap kerja karena kami butuh uang untuk hidup,” kata Wandi yang bertugas merebus kerang hijau.
Ia mendapat bayaran Rp 1.500 per satu drum kerang yang selesai direbus. Pekerjaan itu dilakukan dengan berpasangan. Dalam sehari, dua pekerja bisa merebus 10 drum kerang hijau.
Pencemaran
Salah satu nelayan pencari kerang, Alex (42), tinggal di sebuah rumah mungil berdinding papan bersama istri dan seorang anaknya. Letak rumah bercat putih itu tepat berada di pinggir bibir pantai. Pintunya menghadap ke laut.
”Kami bahagia hidup seperti ini. Hasil menjual kerang cukup menghidupi kami bertiga,” ucap Alex.
Ia berpendapat, seharusnya perusahaan yang membuat Teluk Jakarta tercemar perlu dihukum seberat-beratnya. Imbas pencemaran itu tidak hanya membunuh biota laut, tetapi juga berpotensi membuat masyarakat pesisir kehilangan pekerjaan.
Seperti juga warga lain di Kampung Kerang Hijau, ia khawatir berita soal kandungan logam berat dalam kerang hijau di Teluk Jakarta akan membuatnya kehilangan pekerjaan. Bukan tak mungkin pada akhirnya nanti pembeli berhenti mengonsumsi kerang hijau karena takut terpapar logam berat.
”Dulu ikan pergi karena reklamasi, sekarang kerang beracun karena pencemaran. Kalau begini terus, sebentar lagi kami bakal mati karena kehilangan pekerjaan,” ujar Alex.
Logam berat
Penelitian dosen Institut Pertanian Bogor, Etty Riani, menunjukkan, kandungan logam berat merkuri (Hg) pada ikan dan kerang-kerangan di Teluk Jakarta melebihi batasan yang dapat ditoleransi. Bahkan, kerang hijau disarankan tidak dikonsumsi karena konsentrasi logam beratnya paling tinggi.
Logam berat, merkuri, kadmium, timbel, krom, dan timah masuk ke tubuh ikan melalui permukaan tubuh, pada insang, atau melalui proses makan-memakan. Logam berat ini kemudian terakumulasi dalam organ tubuh dan bersifat irreversible atau tidak dapat lepas (Kompas, 25/2/2019).
Wakil Wali Kota Jakarta Utara Ali Maulana Hakim, Senin (25/2/2019), mengatakan, tata kelola limbah perusahaan di Jakarta Utara selama ini telah diawasi secara ketat oleh suku dinas lingkungan hidup setempat. Agar mudah dipantau, perusahaan juga diwajibkan menyerahkan laporan pengelolaan limbah setiap tiga bulan sekali.
Soal biota laut di Teluk Jakarta yang mengandung logam berat, Ali mengatakan, sejauh ini belum ada rekomendasi dari Suku Dinas Lingkungan Hidup Jakarta Utara serta Suku Dinas Ketahanan Pangan, Kelautan, dan Pertanian Jakarta Utara untuk bertindak.
”Kalau nanti rekomendasinya menyatakan peredaran kerang hijau harus dilarang, kami akan membantu nelayan kerang hijau beralih profesi. Setelah itu, kami juga akan memastikan kerang hijau di pasaran tidak lagi berasal dari Teluk Jakarta,” kata Ali. (PANDU WIYOGA)