MATARAM, KOMPAS-- Setelah buron selama empat tahun, Nusyirwan, terpidana korupsi Pengadaan Jasa Konsultasi Survei Investigasi dan Desain Perluasan Sawah tahun anggaran 2014 pada Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura NTB, akhirnya ditangkap petugas Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Barat. Pengadilan Negeri Mataram telah mengadili dan memvonis Nursyiwan dalam persidangan in absentia, setelah kabur dari Mataram, Lombok.
Menurut Kepala Seksi Penerangan Hukum dan Humas Kejati NTB Dedi Irawan, Jumat (1/3/2019) di Mataram, tim gabungan Kejaksaan Tinggi NTB bersama Tim Adhyaksa Monitoring Centre (AMC) Kejagung RI, menangkap Nursyiwan, Kamis (28/2/2019) sore di rumahnya di Cibiru, Bandung, Jawa Barat.
Setelah ditangkap, ia ditahan di Kantor Kejari Jakarta Selatan, kemudian diterbangkan Jumat (1/3/2019) pagi ke Lombok, lalu dibawa ke Kantor Kejati NTB di Mataram. Setelah itu ia menjalani proses administrasi penahanan di Lapas Mataram. "Jadi yang bersangkutan sekarang kami eksekusi terhitung hari ini," tutur Dedi.
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Mataram dalam sidang in absentia dengan putusan bernomor 38/Pid Sus-TPK/2016/PN MATARAM menyatakan, Nusyirwan terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi bersama Harapan Makbul, pejabat pembuat komitmen (PPK) proyek dari Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura (TPH) NTB, sehingga negara dirugikan sebesar Rp 432.600.000.
Majelis hakim tahun 2016 menjatuhkan vonis pidana empat tahun, denda Rp 50 juta (subsider tiga bulan kurungan) serta membayar uang pengganti Rp 232.600.000 subsider setahun penjara. Namun, sejak tahap penyidikan hingga proses pengadilan Nusyirwan tidak hadir.
"Ketika ditetapkan sebagai tersangka, dia melarikan diri. Dipanggil-panggil ke persidangan dia tidak hadir. Sejak saat itu dia tidak pernah muncul sampai sidang in absentianya berjalan,” ucap Dedi.
Terhadap Harapan Makbul, majelis hakim memvonis hukuman penjara setahun penjara, atau lebih rendah dari tuntuan jaksa selama satu tahun enam bulan penjara. Makbul pun didenda Rp 50 juta (subsider bulan kurungan) dan telah mengganti kerugian negara saat proses penyidikan. “Saat ini Makbul sudah keluar dari penjara,” kata Dedi.
Suap pembangunan sekolah
Sementara itu, Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Mataram, Nusa Tenggara Barat, menjatuhkan vonis dua tahun penjara dan denda Rp 50 juta atau subsider dua bulan penjara, kepada H Muhir, anggota DPRD Kota Mataram. Ia terbukti melakukan tidak pidana korupsi dengan menerima uang suap proyek pembangunan gedung SD dan SMP Pemerintah Kota Mataram.
Majelis hakim yang diketuai Ferdinand M Leander dengan anggota Isnurul Syamsul dan Abadi, dalam persidangan Jumat menyatakan Muhir yang merupakan anggota Komisi IV DPRD Kota Mataram dari Fraksi Partai Golkar, terbukti menerima hadiah untuk pembangunan gedung sekolah itu.
Majelis hakim menyatakan pertimbangan hukum yang memberatkan terdakwa adalah terdakwa telah mencederai kepercayaan publik. Sebagai anggota legislatif, semestinya terdakwa menjadi contoh yang baik dalam upaya pemerintah memberantas korupsi, kolusi dan nepotisme. Adapun hal yang meringankan adalah terdakwa bersikap sopan dalam persidangan, memiliki tanggungan keluarga dan tidak pernah dihukum.
Muhir setelah berkonsultasi dengan penasihat hukumnya, Iin Kurniati menyatakan pikir-pikir. Jaksa Ida Ayu Camundi Dewi juga menyatakan pikir-pikir.
Di dalam persidangan, saat majelis hakim membacakan vonis, terdengar suara tangis dari keluarga Muhir. Suasana itu berlanjut saat Muhir keluar ruang sidang menuju mobil tahanan. Muhir sambil menangis memeluk keluarganya, ‘Sabar, Sabar,” ucapnya. Ia telah ditahan sejak pertengahan September 2018.
Kejaksaan Negeri Mataram, menciduk Muhir dalam operasi tangkap tangan, Jumat, 14 September 2018 di sebuah rumah makan di Kota Mataram. Berdasarkan laporan masyarakat, DPRD Kota Mataram mengalokasikan dana Rp 4,2 miliar melalui APBD Perubahan tahun 2018. Dana itu untuk biaya rehabilitasi dan rekonstriksi 14 sekolah di antaranya gedung SD dan SMP.
Agar proyek rehabilitasi dan rekonstruksi berjalan mulus, Muhir diduga minta jatah fee dari saksi Catur Totok Hardianto, seorang pegawai negeri sipil, dan Haji Sudenom, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Mataram sebesar Rp 30 juta. Pada proses penyerahan itulah Muhir ditangkap.
Iin Kurniawati mengatakan, majelis hakim tidak mempertimbangkan fakta-fakta di persidangan, hanya merujuk dakwaan alternatif, padahal dalam kasus ini, yang terjadi adalah percobaan penerimaan hadiah. Muhir menolak mengambil uang itu, namun dipaksa untuk menerimanya. Sesuai ketentuan hukum, penerima maupun pemberi uang mestinya mendapat hukuman.