Rumah Babirusa dalam Kepungan Ancaman
Siang itu, angin cukup kencang di dalam hutan lebat. Tiupannya menggugurkan daun layu dan ranting kering dari pohon julang untuk jatuh menimpa pohon atau semak yang lebih pendek. Benturan itu mengagetkan babirusa di dalam kubangan lantas menghilang kilat ke dalam hutan. Lesakkan kaki-kakinya di kubangan terdengar jelas.
Itu sekilas pemandangan di Kubangan Adudu, Suaka Margasatwa Nantu-Boliyohuto, Kabupaten Gorontalo, Provinsi Gorontalo, Sabtu (16/2/2019). Babirusa (Babyrousa babyrussa) dengan mudah bisa disaksikan secara langsung di situ setiap hari, terutama pada siang dan sebelum matahari menuju peraduan. Namun, keberadaannya kini dalam kepuangan ancaman.
Babirusa selalu mampir di kubangan itu untuk mengisap atau menjilati air ataupun lumpur yang diduga mengandung mineral, zat yang dibutuhkannya untuk metabolisme. Sejumlah referensi menyebutkan mineral dibutuhkan babirusa untuk menetralisasi gatalnya buah pangi (Pangium edule) yang dimakannya.
Babirusa sekilas mirip dengan babi hutan. Namun, ciri khas babirusa tampak pada jantan yang tumbuh taring melengkung di dekat hidung searah dengan moncongnya.
Kubangan Adudu berjarak sekitar 800 meter dari Camp Yayasan Adudu Nantu Internasional (Yani) yang juga jadi pos jaga anggota Brimob Kepolisian Daerah Gorontalo. Titik tersebut jadi salah satu pintu masuk ke hutan. Yani yang diprakarsai ahli biologi-konservasi Ingris Lynn Marion Clayton terlibat dalam menjaga ekosistem Suaka Margasatwa Nantu-Boliyohuto.
Kekayaan hayati di SM Nantu-Boliyohuto yang seluas 51.639 hektar bisa dinikmati semenjak dari tepi kawasan. Di sekitar Camp Yani, terdapat banyak vegetasi; rotan (Calamus sp.) yang memanjang dan melingkar ke pohon-pohon tinggi bahkan melampauinya; tegakan pangi yg menjulang; roa (Dracontomelon dao) dengan bagian dekat akar yang membentuk celah. Ada juga pohon nantu (Palaquium sp.) yang masih muda.
Kicauan berbagai jenis burung tak berhenti di dalam hutan. Sesekali terdengar “kaok..kaok..kaok” burung rangkong sulawesi (Rhyticeros cassidix). Nyaris tak ada detik kehidupan yang dilewatkan absen kicauan.
Tak mengabaikan satwa lainnya, babirusa dan anoa (Babulus sp.) merupakan prioritas konservasi di SM Nantu-Boliyohuto. Itu karena kedua satwa yang di hutan-hutan lain di Sulawesi yang merupakan bagian dari kawasan imanjiner Wallacea tak bisa lagi dengan mudah ditemukan.
Keberadaan Adudu adalah anugerah besar untuk SM Nantu-Boliyohuto. Saat Kompas berada di lokasi pada Jumat-Minggu (15-17/2/2019), anoa tak muncul di kubangan. Satwa liar yang juga disebut sapi hutan itu hanya dideteksi melalui kotoran dan jejak kakinya di sekitar Kubangan Adudu.
Dalam daftar merah Lembaga Konservasi Internasional (IUCN), babirusa berstatus rentan (vunerable) terhadap kepunahan. Sementara anoa berstatus terancam punah (endegered). Di SM Nantu-Boliyohuto, hidup dua jenis anoa, yakni anoa dataran rendah (Babulus depressicornis) dan anoa dataran tinggi (Babulus quarlesi).
Kawasan imajiner Wallacea merujuk pada teori naturalis asal Inggris Alfred Russel Wallace yang menyebut flora dan fauna di Sulawesi, Nusa Tenggara, dan Kepulauan Maluku, khas karena merupakan peralihan antara flora dan fauna benua Asia di barat dan Australia di timur.
Kubangan Adudu berukuran 20 meter x 50 meter. Kubangan tak terlalu dalam setidaknya terlihat dari tak “tenggelamnya” kaki-kaki babirusa saat berada di dalam kubangan. Air mengalir dari timur ke barat terutama di bagian selatan kubangan. Kubangan dikelilingi rotan dan jenis tumbuhan dari marga palem. Babirusa biasanya mampir ke kubangan dalam kelompok (soliter) pada siang hingga sore hari.
Kubangan Adudu ditemukan Lynn pada 1989. Saat itu ia mencari lokasi yang paling tepat memantau babirusa. Di kubangan itu ia menemukan dan bisa mengamati babirusa dalam jumlah banyak serta durasi lama. Terdapat pondok kecil di barat kubangan untuk mengamati babirusa.
Selain Kubangan Adudu, di SM Nantu-Boliyohuto ditemukan kubangan lainnya, terutama di sisi timur Kubangan Adudu. Namun, kubangan lainnya tak cukup luas dan hanya berfungsi saat musim hujan. Dengan kondisi itu, Kubangan Adudu menjadi benteng terakhir bagi konservasi babirusa dan juga satwa lainnya, termasuk anoa.
Justru di situ masalahnya. Kubangan Adudu seolah membuka jalan lapang bagi pemburu babirusa atau anao. Keberadaan kubangan meninggalkan jejak jalur babirusa atau pun anoa. Dengan mengetahui jejak atau jalur masuk-keluar kubangan, pemburu dengan gampang memasang jerat. Jelang akhir tahun lalu, ditemukan 60 jerat dari tali nilon.
James Kumolontang, petugas Yani menyatakan jerat itu diketahui saat patroli bersama dengan anggota Brimob. Jerat dipasang hingga radius 2 kilometer dari Kubangan Adudu di bagian barat. “Berdasarkan pengalaman selama ini, pemasangan jerat marak menjelang akhir tahun,” kata James yang sudah dua dekade bekerja bersama Lynn di Yani.
Pemburu menjerat babirusa dan anoa untuk dijual dagingnya ke Sulawesi Utara. Berdasarkan penelusuran Kompas di Pasar Beriman Tomohon, Sulawesi Utara, tahun lalu, jual-beli daging anoa masih terjadi. Meski tak terang-ternangan laig, seorang pedagang mengakui daging anoa dipasok dari Gorontalo dan Kabupaten Tolitoli, Sulawesi Tengah, dengan harga Rp 50.000 per kilogram (Kompas, 1/8/2018).
Kepala Resor SM Nantu-Boliyohuto Zulham Tangaho mengakui perburuan salah satu ancaman bagi keberadaan babirusa dan anoa. Meskipun kedua satwa itu sebenarnya bukan sasaran utama perburuan-sasaran utama babi hutan dan rusa-tindakan ilegal itu mengancam populasi babirusa dan anoa.
Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sulawesi Utara Wilayah Konservasi II Gorontalo mencatat populasi babirusa saat ini 134 ekor dengan wilayah jelajah 236 hektar. Populasi itu diklaim terjaga karena banyaknya perjumpaan anak babirusa yang tumbuh sehat di hutan. Anoa sebaliknya, pada 2018 populasi 64 ekor di areal 190 hektar, menurun dari 70 ekor pada 2017.
Rongrongan lain bagi babirusa atau anoa dan satwa liar lain di SM Nantu-Boliyohuto makin dekatnya lahan garapan warga. Kebun jagung warga Desa Sebar Tani, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Boalemo, bersisian dengan suaka margastwa di Sungai Nantu.
Kebun jagung itu dahulu merupakan hutan lebat. Tiga tahun lalu daerah itu menjadi perluasan kawasan transmigrasi. Suaka margasatwa kehilangan penyangga. Bahkan, sangat mungkin suatu saat nanti suaka margasatwa dirambah seperti yang terjadi saat ini di bagian tengah kawasan dengan luas rambahan 100 hektar.
Selain itu, aktivitas warga di kebun dan jalan turut mengganggu babirusa dan anoa, dua satwa yang sangat sensitif kehadiran manusia. Babirusa sangat peka dengan bau tubuh manusia, asap rokok. Anoa begitu sensitif dengan panas tubuh manusia. Deru kendaraan yang terdengar sampai ke Kubangan Adudu tentu juga asing bagi satwa liar. Jika kondisi makin bising, bukan tak mungkin babirusa atau anoa tak berani lagi mampir ke Kubangan Adudu.
Ancama berikutnya pertambangan emas tanpa izin (PETI). PETI berada di daerah Tamaela, Gorontalo. Zulham tak menyebutkan luas rambahan untuk pertambangan, yang jelas pohon-pohon dirambah untuk menambang. Disinyalir ada 18 kelompok yang menambang emas dengan mesin alkon di sana.
Tambang ilegal itu sudah ada sebelum penetapan perluasan SM Nantu-Boliyohuto pada 2014. Namun, kenapa aktivitas berlawanan hukum itu di kawasan konservasi dibiarkan?
“Kami mengutamakan pendekatan persuasif. Sudah ada sejumlah kelompok yang berhasil turun dengan pendekatan persuasif, yakni menggunakan kelompok mitra konservasi di Tamaela. Cara ini diharapkan bisa terus berjalan,” ucapnya.
Suhardi (43), warga Desa Sebar Tani, mau terlibat dalam konservasi SM Nantu-Boliyohuto. Kelompoknya saat ini disiapkan untuk menjadi mitra dalam menjaga kawasan konservasi dan menjadi pemandu wisata. Kelompok juga menerima bantuan pertanian (benih jagung atau bibit buah). “Di pohon-pohon besar di dekat kebun saya sering melihat rangkong sulawesi. Indah sekali. Itu hanya salah satu dari banyak kekayaan hayati yang harus dijaga,” ucapnya.
Melibatkan warga sekitar kawasan menjaga SM Nantu-Boliyohuto memang menjadi pilihan yang tak boleh lagi ditawar, selain tentu saja patroli rutin aparat dan penegakan hukum yang hingga saat ini masih terus dilakukan. Balai sudah membentuk kelompok untuk mendukung keberadaan kawasan konservasi itu. Namun, kelompok itu harus dijadikan ujung tombak untuk perlindungan sekaligus mendapatkan faedah jasa ekosistem, melalui wisata, hal yang belum dilakukan di SM Nantu-Boliyohuto.
Satwa liar, termasuk babirusa dan anoa, merupakan indikator keseimbangan ekosistem. Dengan daya jelajah yang tinggi mereka menebar biji-bijian yang mereka konsumsi sehingga tumbuh pula pohon dan berkembang menjadi hutan. Dari hutan manusia mendapatkan air. Hutan penghasil oksigen. Berkurangnya populasi satwa liar pertanda hutan dalam kondisi bahaya yang berarti sinyal akan kemungkinan bencana bagi kehidupan.