Lebih dari 3.000 orangutan Kalimantan Tengah hidup di luar kawasan lindung, khususnya Hutan Rungan yang mencakup Kabupaten Pulang Pisau, Gunung Mas, dan Kota Palangkaraya. Alih fungsi lahan di kawasan bukan lindung akan mengancam kehidupan satwa yang sangat terancam punah tersebut.
Oleh
Dionisius Reynaldo Triwibowo
·3 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS – Lebih dari 3.000 orangutan (Pongo pygmaeus) Kalimantan Tengah hidup di luar kawasan lindung, khususnya Hutan Rungan yang mencakup Kabupaten Pulang Pisau, Gunung Mas, dan Kota Palangkaraya. Alih fungsi lahan di kawasan bukan lindung akan mengancam kehidupan satwa yang sangat terancam punah tersebut.
Penelitian tersebut dilakukan Borneo Nature Foundation (BNF) di hutan Rungan selama dua tahun. Lebih dari 20 ekspedisi sudah dilakukan sejak 2017 hingga 2018 di kawasan seluas 155.000 hektar. Dengan berjalan kaki hingga 158 kilometer, lebih dari 2.000 sarang orangutan diteliti.
Hasilnya, lebih dari 3.000 orangutan hidup di kawasan rentan. Kawasan itu berupa hutan produksi dan area penggunaan lain. Tidak hanya itu, orangutan juga tinggal di kawasan pemegang ijin konsesi seperti Hutan Tanaman Industri (HTI), Hak Pengusahaan Hutan (HPH), dan perkebunan sawit.
3.000 orangutan hidup di kawasan rentan
Penelitian tersebut, menurut Bernat, merupakan bukti bahwa populasi orangutan terbesar berada di luar kawasan lindung. Hal itu dinilai sebagai salah satu bentuk ancaman, ketika negara, para pemegang ijin, dan pemilik kawasan tidak menyiapkan kawasan tersebut dengan baik.
Bernat mengakui orangutan merupakan prioritas di Indonesia. Aturan yang ada juga sudah mewajibkan perusahaan atau pemegang ijin untuk membentuk kawasan high conservation value (HCV), sebelum melakukan pembukaan lahan. HCV adalah kawasan hutan dengan fungsi konservasi yang tinggi.
Akan tetapi, setiap perusahaan, menurut Bernat memiliki pandangan dan skema yang berbeda dalam membentuk HCV. Di Kalteng, HCV justru menjadi perangkap ekologis. Kawasan itu kerap kali kecil dan tidak tersambung dengan kawasan lindung.
“Orangutan tidak hidup berkelompok. Sehingga ketika semuanya ditaruh di habitat yang sama dengan wilayah yang kecil, maka yang akan terjadi adalah kompetisi, dominasi, dan rebutan pakan. Ini menjadi ancaman penurunan populasi,” ungkap Bernat.
Koordinator Bidang Sustainability dan Pembinaan Masyarakat Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Provinsi Kalteng Suto Suwahyo mengungkapkan, lebih kurang terdapat 800.000 hektar lebih yang disiapkan oleh 102 anggotanya untuk HCV. Pihaknya memberikan sanksi dan tegas terhadap anggotanya yang belum menyediakan HCV.
“Kalau perusahaan yang bergabung dengan RSPO itu kan wajib, kalau tidak ada itu artinya tidak lulus. Nah, tidak semua anggota GAPKI masuk ke RSPO tetapi kami tetap dorong untuk menyiapkan HCV,” kata Suto.
RSPO adalah Roundtable on Sustainable Palm Oil. Ini semacam asosiasi yang terdiri dari berbagai organisasi dan pelaku industri kelapa sawit yang bertujuan mengembangkan produksi minyak sawit berkelanjutan
Suto menjelaskan, pihaknya sangat berkomitmen untuk mendukung kelestarian dan perlindungan orangutan. Komitmen itu juga dilakukan dengan menjaga lahan mereka dari kebakaran hutan dan lahan yang tentunya merusak habitat orangutan.
Sekretaris Daerah Provinsi Kalteng Fahrizal Fitri mengungkapkan, keberhasilan pembangunan dan pengelolaan liingkungan hidup di Kalteng tergantung dari kerja sama semua pihak. Mulai dari akademisi, NGO dan LSM, pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat.
“Makanya harus ada sinergitas dari semua pihak, saya berharap ruang diskusi seperti ini dilakukan terus, tetapi juga aksinya jalan terus,” kata Fahrizal.