Prinsip Keberlanjutan Jadi Senjata Pertahankan Sawit di Pasar Eropa
Oleh
M Paschalia Judith J
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Dewan Negara-Negara Produsen Minyak Sawit atau CPOPC mengedepankan prinsip berkelanjutan menghadapi Arah kebijakan Energi Terbarukan atau RED II Uni Eropa dinilai memberatkan minyak kelapa sawit. Di Indonesia, langkah tersebut diwujudkan melalui sertifikasi kelapa sawit berkelanjutan atau ISPO.
Indonesia, Malaysia, dan Kolumbia merupakan anggota CPOPC. Ketiganya menguasai 90 persen produksi kelapa sawit di tingkat global.
Saat ini, minyak kelapa sawit tengah menghadapi tantangan dari dokumen RED II yang dikeluarkan Uni Eropa. Menurut tinjauan CPOPC, dokumen RED II tersebut mendiskriminasikan minyak kelapa sawit sebagai minyak nabati dalam perdagangan internasional.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, CPOPC akan mempertahankan pasar di Eropa dengan kerangka Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs).
"Indonesia tegah membangun basis keberlanjutan untuk kelapa sawit, dimulai dengan moratorium," kata dia dalam konferensi pers CPOPC di Jakarta, Kamis (28/2/2019).
Moratorium itu diatur dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan dan Perkebunan Kelapa Sawit serta peningkatan produktivitas perkebunan kelapa sawit. Inpres ini ditandatangani pada September 2018.
Dalam Inpres ini, terdapat moratorium selama tiga tahun untuk pendataan dan evaluasi perizinan. Artinya, tidak ada lahan baru untuk perkebunan kelapa sawit.
Darmin menuturkan, moratorium itu merupakan kesempatan bagi pemerintah untuk mendata secara lengkap, baik lewat satelit maupun langsung di lapangan. Pendataan meliputi perkebunan milik rakyat maupun swasta.
"Pendataan itu akan menunjukkan ketelusuran dari produk kelapa sawit. Ketelusuran itu akan menjadi dasar keberlanjutan. Kami juga akan mempersiapkan sistem berbasis dalam jaringan untuk mendata jumlah dan asal pembelian produk kelapa sawit," tutur Darmin.
Nantinya, sertifikasi Indonesia Sustainability Palm Oil (ISPO) akan terpadu dengan sistem pendataan tersebut. Saat ini, Darmin mengatakan, rancangan dokumen peraturan presiden yang mengatur ISPO telah rampung dan diserahkan pada presiden.
Secara terpisah, Kepala Sekretariat Komisi ISPO Azis Hidayat berpendapat, adanya aturan di tingkat presiden akan menyelesaikan hambatan sertifikasi ISPO yang bersifat lintas sektoral. Misalnya, tumpang-tindih perizinan lahan perkebunan kelapa sawit.
Hingga saat ini, Komisi ISPO mencatat, terdapat 457 sertifikat ISPO yang sudah terbit untuk luas lahan secara keseluruhan 3,8 juta hektar. Luas tersebut berkisar 27,4 persen dari luas total lahan sawit 14,03 juta hektar.
Artinya, jumlah sertifikasi itu juga meliputi produksi tandan buah segar sebanyak 49 juta ton per tahun. Angka ini setara dengan 11 juta ton per tahun minyak kelapa sawit mentah.
Adanya aturan di tingkat presiden akan menyelesaikan hambatan sertifikasi ISPO yang bersifat lintas sektoral. Misalnya, tumpang-tindih perizinan lahan perkebunan kelapa sawit.
Sementara itu, Menteri Industri Primer Malaysia Teresa Kok menyatakan, Malaysia menargetkan 100 persen industri kelapa sawit Malaysia bersertifikasi Malaysia Sustainable Palm Oil pada akhir 2019. Saat ini jumlah sertifikasi berkisar 30 persen.
Melalui MSPO, Malaysia menunjukkan prinsip keberlanjutan dari perkebunan hingga industri pengolahan minyak kelapa sawit. "Sayangnya, tampaknya Uni Eropa tidak melihat usaha kami dalam mengedepankan prinsip keberlanjutan di insutri kelapa sawit dari hulu ke hilir," tuturnya dalam konferensi pers CPOPC.