SURABAYA, KOMPAS – Kalangan pejabat tinggi dan pejabat teras pemerintahan di Jawa Timur kurang patuh menyerahkan laporan harta kekayaan penyelenggara negara. Menurut catatan Komisi Pemberantasan Korupsi, terdapat delapan kabupaten/kota dengan tingkat kepatuhan di bawah 40 persen. Ketidakpatuhan terkait erat dengan praktik tindak pidana korupsi.
KPK menjabarkan tingkat kepatuhan kabupaten/kota dalam penyerahan LHKPN 2018 itu dalam Rapat Koordinasi dan Evaluasi serta Penandatanganan Komitmen Bersama Pemberantasan Korupsi Terintegrasi di Jawa Timur Bersama Komisi Pemberantasan Korupsi, Kamis (28/2/2019), di Gedung Negara Grahadi, Surabaya. Rapat dihadiri pimpinan KPK, Gubernur Jatim, Wagub Jatim, dan bupati/wali kota dari 38 kabupaten/kota di provinsi berpenduduk hampir 40 juta jiwa ini.
Kedelapan daerah tingkat dua dengan kepatuhan rendah adalah Ponorogo (18,9 persen), Jombang (20,7 persen), Kota Blitar (21,8 persen), Nganjuk (26,9 persen), Lumajang (33 persen), Bondowoso (34,1 persen), Magetan (37,9 persen), dan Bangkalan (38,5 persen). Jombang, Kota Blitar, Nganjuk, dan Bangkalan di era sebelumnya dipimpin oleh bupati/wali kota yang terlibat korupsi dan dihukum.
Khusus untuk Kota Blitar, sampai kini, pemerintahan sementara dijalankan oleh Pelaksana Tugas Wali Kota Blitar Santoso. Wali Kota (nonaktif) Samanhudi Anwar, Kamis (24/1), dijatuhi hukuman penjara 5 tahun, denda Rp 500 juta, dan pencabutan hak politk 5 tahun oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Surabaya akibat terbukti menerima suap pembangunan SMP Negeri 3 Blitar senilai Rp 5,1 miliar.
Bahkan, jika dikombinasikan dengan nilai monitoring for prevention (MCP) atau pencegahan korupsi, lagi-lagi Ponorogo berada di dasar. Untuk MCP, Bumi Reog hanya mendapat nilai 39 persen. Catatan buruk ini patut menjadi perhatian Bupati Ponorogo Ipong Muchlissoni yang seusai pertemuan besar di Grahadi itu mengaku malu. “Saya malu sekali dan ini harus diatasi,” katanya dengan singkat.
Di sisi lain, ada empat kabupaten/kota mencapai kepatuhan sempurna. Surabaya, Kota Madiun, Kabupaten Kediri, dan Pamekasan meraih nilai 100 persen. Artinya, seluruh pejabat di empat daerah ini telah menyerahkan LHKPN. Catatan positif diberikan untuk Surabaya yang menurut KPK mendapat nilai MCP tertinggi di Jatim dengan 93 persen bersama dengan Lamongan. Namun, untuk Lamongan, tingkat kepatuhan LHKPN mendapat nilai 96,5 persen (urutan ketujuh terpatuh).
Indikasi
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengatakan, tingkat kepatuhan suatu daerah dalam penyerahan LHKPN merupakan indikasi praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Di era ini, penyelenggara negara tidak bisa lagi menyembunyikan kekayaan. Publik dan lembaga antirasuah akan selalu mengawasi potensi praktik korupsi. Buktinya, kurun 2017-2018, sebanyak 13 bupati/wali kota di Jatim atau satu dari tiga kepala daerah tingkat dua terkena jerat kasus korupsi dan terbukti bersalah.
Alex mengingatkan, bupati/wali kota tidak mencari cara mengembalikan dana yang keluar saat kontestasi politik. Jika menurut catatan Kementerian Dalam Negeri, seorang calon bupati/wali kota menghabiskan dana Rp 20 miliar-Rp 30 miliar demi jabatan bergengsi. Gaji dan berbagai tunjangan bupati/wali kota jika dirata-rata secara kasar diasumsikan Rp 100 juta/bulan. Dalam lima tahun pemerintahan, dana yang terkumpul Rp 6 miliar atau jauh dari yang dihabiskan. Akibatnya, kepala daerah “terpaksa” praktik korupsi dengan menjual perizinan, penggelembungan dana program, memeras aparatur dan pengusaha, dan atau mengemplang pajak untuk mengembalikan modal politik.
“Kalau tidak balik modal ya ikhlaskan saja atau siap ditangkap dan menerima hukuman,” kata Alex.
Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa mengatakan, bersama para bupati/wali kota akan terus berkoordinasi untuk pencegahan korupsi. Rapat besar itu diharapkan benar-benar menjadi pengingat para pejabat agar menghindari dan menghentikan praktik koruptif.
Pemprov Jatim dengan berbagai terobosan dan program yang sudah ada berusaha mencegah korupsi antara lain dengan perencanaan, penganggaran, pengadaan barang dan jasa, bahkan lelang jabatan berbasis sistem elektronik atau internet. “Catatan atau perhatian harus diberikan ke daerah-daerah yang tingkat kepatuhan tadi amat rendah,” ujarnya.
Dihubungi secara terpisah, Peneliti pada Pusat Studi Antikorupsi dan Kebijakan Pidana Universitas Airlangga, Iqbal Felisiano mengatakan, perlu kebijakan terobosan dalam pencegahan korupsi. Perluasan keterlibatan masyarakat dalam pengawasan dan pelaporan kasus korupsi harus diperluas. Publik perlu mendapat sosialisasi agar paham dan mau melapor kasus-kasus rasuah. “Harus dibangun mekanisme jaminan perlindungan bagi para pelapor,” ujarnya.
Dalam konteks terdekat yakni Pemilihan Umum 2019, Iqbal menyarankan publik untuk memelototi para kontestan. Jangan pilih partai politik atau calon anggota DPD, DPR, DPRD provinsi dan kabupaten/kota yang punya rekam jejak atau terlibat kasus korupsi. Jika sosialisasi amat kurang, publik ditantang untuk proaktif mencari sekaligus saat pemungutan suara pada 17 April 2019 benar-benar menggunakan hak pilih. “Berikan suara untuk kandidat yang diyakini bersih. Pemberian hak politik juga merupakan mekanisme hukuman dari rakyat yang sepatutnya tidak memilih kandidat koruptif,” katanya.