Nilai-nilai Tasawuf Relevan dengan Kehidupan Berbangsa dan Bernegara
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemahaman mengenai prinsip tasawuf relevan dengan kehidupan bermasyarakat dan beragama di Indonesia. Sejatinya, di dalam pencarian terhadap kasih dan anugerah Tuhan yang mahakuasa, manusia harus menerapkan kepedulian dan kecintaan kepada semua penghuni bumi.
“Ilmu tasawuf mengumpamakan manusia sebagai burung. Untuk bisa terbang dibutuhkan dua sayap, yang satu adalah cinta dan yang lain ilmu,” papar Guru Besar Filsafat Islam Universitas Paramadina Abdul Hadi WM dalam Kajian Etika dan Peradaban ke-6 di Universitas Paramadina, Jakarta, Rabu (27/2/2019).
Tema kali ini adalah “Batas-batas Pengetahuan Subyektif: Tasawuf Spekulatif dan Tasawuf Syariah Al-Ghazali” yang membahas pandangan keislaman dan spiritualitas berdasar pemikiran Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali (1058-1111) yang biasa dikenal dengan gelar Imam Ghazali.
Tasawuf merupakan proses mencari ketenangan batin dan kecintaan kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Tujuan dari tasawuf adalah mencapai makrifat atau pengetahuan mengenai Tuhan. Tasawuf menjadi salah satu disiplin ilmu pada abad ketujuh melalui ulama Ibn Arabi yang menyusun ilmu tasawuf sistematis dengan menggabungkan wahyu, kalbu, dan akal. Selanjutnya, studi tasawuf dikembangkan oleh Imam Ghazali.
Tasawuf merupakan proses mencari ketenangan batin dan kecintaan kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Tujuan tasawuf adalah mencapai makrifat atau pengetahuan mengenai Tuhan.
Hadi menjelaskan, prinsip tasawuf banyak dipahami dengan keliru dan dianggap hanya mementingkan batin dan mengesampingkan ilmu maupun hukum. Padahal, di dalam pencarian terhadap Tuhan, manusia harus bisa mengintegrasikan ilmu, hukum, adab, dan spiritualitas di dalam kehidupan sehari-hari. Semuanya adalah sebuah kesatuan.
Terdapat beberapa ulama Nusantara yang mendalami tasawuf sekaligus juga filsafat, tafsir, dan fikih, antara lain Maulana Malik Ibrahim, Sunan Bonang, dan Hamzah Fansuri. “Mereka menekankan bahwa dalam mencari pencerahan, hal terpenting adalah tujuan. Jenis jalan yang diambil, atau tarekat, tidak masalah,” tuturnya.
Ia mengemukakan bahwa Tuhan memiliki dua jenis cinta, yaitu kepada seluruh ciptaannya dan kepada orang-orang tertentu. Konsep pertama disebut rahman dan harus diterapkan kepada umat manusia dan alam tanpa terkecuali. Setelah cinta yang universal itu, baru masuk konsep rahim, yakni cinta yang spesifik ditujukan kepada orang-orang tertentu seperti cinta ibu kepada anaknya.
“Berpegang pada prinsip ini, keimanan dan ketakwaan seseorang tidak akan luntur meskipun ia berada di tengah masyarakat yang majemuk karena ia meyakini cinta kepada Tuhan tercermin kepada perbuatannya sehari-hari dan cara ia memperlakukan umat manusia secara baik,” jelas Hadi.
Keimanan dan ketakwaan seseorang tidak akan luntur meskipun ia berada di tengah masyarakat yang majemuk.
Hadi menuturkan, perkembangan Islam di Nusantara melalui jalur perdagangan merupakan salah satu ciri dari penerapan tasawuf. Berdagang merupakan tindakan yang mengutamakan pertemuan dengan berbagai golongan yang berbeda dan membangun relasi. Di dalamnya tidak ada niat untuk menguasai orang lain seperti penjajahan, justru mengedepankan kemandirian dan kerja sama. Praktik ini merupakan bentuk ibadah dalam adab bermasyarakat.
Luntur
Muhammad Nur Jabir mengatakan bahwa di dalam konsep tasawuf, syariat atau hukum merupakan jalan menuju pencerahan. Permasalahannya, pada masyarakat sekarang, banyak anggapan bahwa syariat merupakan tujuan. Hal ini melunturkan konsep Islam sejuk yang diterapkan di Nusantara selama berabad-abad.
“Ibadah kini hanya untuk mengejar surga, bukan karena ikhlas. Akibatnya, muncul intoleransi terhadap penerapan ritual yang dianggap tidak sejalan dengan aliran tertentu,” ucapnya.
Ibadah kini hanya untuk mengejar surga, bukan karena ikhlas. Akibatnya, muncul intoleransi terhadap penerapan ritual yang dianggap tidak sejalan dengan aliran tertentu.
Ia mengatakan, narasi tasawuf yang holistik perlu digaungkan kembali. Studi-studi keagamaan yang kritis membahas berbagai teks keagamaan beserta konteksnya dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan di dalam globalisasi.
Pada dasarnya, kata Jabir, aliran keagamaan garis keras berkembang karena mempromosikan teks agama yang tidak ditelaah berdasarkan konteks sosial. Oleh sebab itu, kelompok moderat juga harus bisa mengedepankan kembali teks yang dibahas dari sisi tafsir kontekstual.