Jangan Tergesa di Trans-Jawa...
”Still, ’round the corner, there may wait, a new road or a secret gate...”
(The Lords of the Ring, JRRR Tolkien)
”Dan tetap saja, di balik tikungan itu, mungkin akan menunggu seruas jalan baru, atau sebuah gerbang rahasia…”
Kira-kira seperti itu terjemahan bebas syair lagu yang dinyanyikan para hobbits di novel asli The Lords of The Ring karya JRRR Tolkien itu. Syair pendek ini mewakili hampir seluruh hakikat sebuah perjalanan dan penjelajahan.
Sebuah pesan bagi kita semua untuk jangan berhenti melakukan perjalanan, karena siapa tahu di balik sebuah tikungan yang kita kira adalah ujung perjalanan, masih akan ada jalan baru menuju ke suatu tempat yang lebih indah, atau bahkan gerbang rahasia menuju sesuatu yang kita cari-cari selama ini.
Dalam dunia yang nyata, kalimat itu sangat relevan dengan keindahan Nusantara kita yang menuntut untuk dijelajahi dan disyukuri. Khususnya bagi yang berdiam di Pulau Jawa, saat ini penjelajahan itu makin mudah dengan dibukanya ruas Tol Trans-Jawa dari Merak di barat hingga Pasuruan di timur.
Semua mungkin sudah tahu berapa panjang tol itu hingga berapa tarif tol yang perlu dibayar untuk mencapai kota yang akan menjadi tujuan perjalanan kita. Katakanlah kota tujuan mudik saat Lebaran untuk berkumpul bersama keluarga dan orangtua kita.
Namun, sadarkah Anda jalan itu juga akan membawa kita ke tempat-tempat yang bukan menjadi ”tujuan biasanya”? Tahukah apa yang Anda lewatkan saat mobil yang kita tumpangi melesat tergesa-gesa melewati pintu-pintu keluar yang menurut Anda tidak relevan dengan tujuan perjalanan? Jangan-jangan ada jalan baru atau gerbang rahasia menuju petualangan yang lebih menantang?
Itulah yang tebersit di pikiran saat pihak Lexus Indonesia meminjamkan satu unit All New Lexus ES 300h untuk diuji menempuh jarak sedikitnya 700 kilometer menembus Tol Trans-Jawa dari Jakarta hingga Surabaya, akhir Januari 2019 lalu.
Berdua dengan seorang sahabat, Kompas pun memulai perjalanan dengan sedan warna perak titanium dengan desain provokatif ini, Senin (28/1/2019). Seorang teman berkomentar, bentuk sedan ES terbaru ini mengingatkan pada pesawat luar angkasa....
Sejalan dengan filosofi perjalanan santai, kami sengaja tak buru-buru bertolak dari Jakarta. Biasanya, dalam sebuah perjalanan uji kendara jarak jauh seperti ini, kami selalu memilih berangkat dini hari untuk menghindari kemungkinan macet di ruas Tol Jakarta-Cikampek yang begitu menyesakkan belakangan ini.
Mobil pun melaju mulus tanpa suara saat pedal gas diinjak, keluar dari pelataran Pondok Indah Mall 2, tempat kami bertemu. Benar-benar tanpa suara karena sedan yang kami tes ini adalah varian hibrida.
Saat mobil bergerak dari posisi diam, hanya motor listrik yang bekerja memutar roda, sebelum kemudian mesin konvensionalnya menyala saat tenaga dirasa kurang untuk berakselerasi lebih cepat atau saat tenaga di baterai sudah habis.
Generasi ketujuh
Baiklah, sebelum kita berjalan terlalu jauh, kami uraikan dahulu makhluk apa Lexus ES 300h ini. Ini adalah generasi terbaru Lexus ES, sedan premium berukuran menengah yang diproduksi divisi mobil premium dari Toyota ini. Tepatnya, All New ES 2019 adalah generasi ketujuh sejak ES pertama diluncurkan ke publik pada 1989.
Di Tanah Air, mobil baru di segmen premium medium ini diluncurkan pada Gaikindo Indonesia International Auto Show (GIIAS) 2018, Agustus tahun lalu. Kala itu, Kompas mendapat kesempatan wawancara eksklusif dengan Chief Engineer Lexus ES Yasuhiro Sakakibara.
Menurut Sakakibara-san, Lexus ES generasi ketujuh ini menjadi bagian dari perjalanan baru (new chapter) Lexus menuju ke masa depan...
Menurut Sakakibara-san, Lexus ES generasi ketujuh ini menjadi bagian dari perjalanan baru (new chapter) Lexus menuju ke masa depan, bersama para pendahulunya, yakni Lexus LC dan Lexus LS. Jika ES generasi sebelumnya hanya mengedepankan faktor kenyamanan dan citra elegan, kini ada faktor emosi berkendara yang hendak disuntikkan di ES baru ini.
Dikembangkan berdasarkan platform GA-K, yang merupakan bagian dari platform modular Toyota New Global Architecture (TNGA), Lexus ES memiliki berbagai kebaruan dibandingkan pendahulunya.
Menurut Sakakibara, ES terbaru mengusung mesin baru, transmisi baru, power control unit baru, dan kaki-kaki baru. Khusus varian hibrida yang Kompas uji ini, yakni ES 300h, dilengkapi dengan sistem hibrida generasi keempat dan baterai baru. Baterai tipe nickel-metal hydride (Ni-MH) tersebut kini ditempatkan di bawah kursi belakang, dari sebelumnya memakan sebagian ruang bagasi.
Karena dikembangkan dari platform yang sama, Lexus ES ini memiliki berbagai kemiripan dengan Toyota Camry generasi kedelapan, yang baru diluncurkan di Indonesia awal Januari 2019 lalu. Salah satunya adalah mesin bensin 4 silinder berkode A25A-FXS berkapasitas 2.5 liter (2.487 cc) yang dipakai di Lexus ES 300h dan Toyota Camry Hybrid terbaru.
Mesin ini mengeluarkan tenaga 176 HP pada putaran mesin 5.700 rpm dan torsi puncak 221 Nm pada rentang 3.600-5.200 rpm. Ditambah dengan tenaga motor listriknya, tenaga total Lexus ES menjadi 215 HP.
Tenaga dari dua sumber penggerak ini disalurkan melalui transmisi electronic continuosly variable transmission (E-CVT).
Sakikabara mengakui berbagai persamaan ES dengan Camry Hybrid karena memang dikembangkan dari platform yang sama. Namun, lanjutnya, banyak sentuhan pada ES yang membuatnya berbeda dengan Camry.
”Salah satunya, Lexus menggunakan pengelasan laser (laser screw welding) yang membuat bodinya lebih kuat dan rigid. Selain itu, ketebalan metal ES juga lebih besar dibandingkan Camry. Demikian juga suspension brace lebih tebal, dan pada ES juga dilengkapi underbody cover untuk menyerap kebisingan jalan,” papar Sakikabara.
Pesona Tegal
Kembali ke Tol Trans-Jawa, tujuan pertama kami adalah Kota Tegal di jalur pantura Jateng. Selain untuk bertemu sahabat lama, kami juga ingin memuaskan kerinduan pada sate kambing dan soto taoco khas Tegal.
Beruntung, tak jauh dari Pintu Tol Tegal/Adiwerna sudah berjajar sejumlah rumah makan Soto Sedap Malam yang terkenal itu. Dan, hanya berselisih satu bangunan ada rumah makan sate kambing muda Pak H Kartama. Tuntas sudah kerinduan menyantap sate yang empuk dan soto yang gurih dengan kuah taoco kental.
Perjalanan pun kami lanjutkan menuju pusat Kota Tegal untuk bertemu dengan Yono Daryono, seorang wartawan dan sastrawan senior di kota pesisir itu. Kami bercengkerama sambil minum teh poci yang lagi-lagi khas Tegal di salah satu sudut kota.
”Warung-warung teh poci ini sudah ada sejak saya kecil. Dulu Rendra sama Ken Zuraida sering mampir ke sini, saya ajak ngobrol di teh poci sampai dini hari,” ungkap Yono sembari mengatakan, Tegal dari dulu terkenal dengan kiprah sastra dan teaternya. Sebuah fakta yang belum diketahui semua orang.
Teh poci itu sendiri menyimpan kisah tersembunyi dari Tegal. Banyak orang tak menyadari, bahwa minuman teh yang kita konsumsi sehari-hari, pabriknya sebagian besar berada di Kota Tegal dan Kabupaten Tegal, terutama di kota Slawi. Ini menjadi sisi lain dari sejarah kota tua ini.
Sayang, kami tak bisa mengobrol sampai dini hari kala itu karena harus melanjutkan perjalanan menuju Semarang. Seusai pamit, kami melanjutkan perjalanan menjelajah Tol Trans-Jawa di waktu malam.
Walau sudah dilengkapi lampu utama projector LED, Lexus ES baru ini belum mengadopsi teknologi adaptive headlights. Alhasil, tangan masih harus terampil mengaktifkan tuas lampu untuk berpindah dari lampu dekat ke lampu jauh saat ruas jalan sangat gelap.
Setelah menghabiskan beberapa malam di Semarang untuk melakukan pengambilan gambar mobil, Kompas melanjutkan penelusuran Trans-Jawa menuju Solo.
Kesenangan berkendara
Kontur jalan tol yang cenderung naik dan berkelak-kelok menjadi medan yang tepat untuk menguji pengendalian serta tenaga mesin.
Chief Engineer All New Lexus ES Yasuhiro Sakakibara, dalam wawancara khusus dengan Kompas, Agustus 2018, mengatakan, selain dibekali mesin, transmisi, dan sistem hibrida baru, All New ES ini juga dibangun dari platform baru GA-K. Ini adalah bagian dari platform modular Toyota New Global Architecture (TNGA) yang menjanjikan faktor kesenangan berkendara.
”Lexus ES lama hanya menekankan pada faktor elegan dan kenyamanan. Kini, kami menambah faktor emosional dalam pengendaliannya,” ujar Sakakibara kala itu.
Dan, itu terbukti. Walau berdimensi cukup besar (panjang 4,975 m; lebar 1,865 m; dan tinggi 1,445 m), mengendalikan ES 300h ini seakan menyetir mobil kompak. Respons kemudi terasa presisi dan ringan.
Namun, ES baru ini tetaplah sebuah Lexus, yang mengedepankan kenyamanan. Satu hal yang sangat terasa istimewa adalah kekedapan kabinnya. Menurut Adrian Tirtadjaja, General Manager Lexus Indonesia, kekedapan itu antara lain karena penerapan kaca ganda (double glass) di semua pintu dan kaca ES baru ini.
Selain membuat kita tak terganggu kebisingan dari luar, kekedapan ini juga membuat tata suara besutan Mark Levinson dengan 17 speaker bisa dinikmati maksimal.
Tiba-tiba, saat mobil mendekati Bawen, tebersit keinginan untuk menengok Ambarawa, kota kecil di jalur jalan raya Semarang-Yogyakarta. Walaupun kecil, kota ini menyimpan berbagai pesona, mulai dari pemandangan indah lembah Danau Rawa Pening, Museum Kereta Api, hingga Palagan Ambarawa.
Soto legendaris
Maka, kami pun keluar di pintu Bawen, kemudian berbelok ke kanan untuk mengambil jalan menuju Ambarawa. Seusai menikmati keindahan lembah Rawa Pening dan Benteng Fort Willem I atau yang lebih populer dengan Benteng Pendem Ambarawa, kami istirahat sejenak di Warung Soto Pak Djan yang legendaris sejak dibuka tahun 1960-an.
Rumah makan berdinding cat hijau muda ini sangat mudah ditemukan karena terletak di jalan utama, hanya sekitar 200 meter dari Monumen Palagan Ambarawa. Kuah sotonya yang kuning dengan potongan daging sapi ekstra lembut membuat siapa pun yang ke sini pasti ingin datang lagi.
Hari sudah menjelang sore saat perjalanan dilanjutkan ke Solo karena kami harus mengambil gambar makam bersejarah Nyi Pulungsih di Kartasura sebagai bagian dari liputan tentang jejak-jejak sejarah industri gula di Nusantara.
Nyi Pulungsih adalah putri seorang pengusaha besar dari Semarang pada abad ke-19, Bhe Biauw Tjoan. Atas modal dana dari Bhe ini, KGPAA Mangkunegara IV membangun dua pabrik gula, yakni PG Tjolomadoe (1861) dan PG Tasikmadoe (1871) di Kabupaten Karanganyar, Jateng.
Belakangan, putri Bhe ini diperistri oleh Mangkunegara IV dan mendapat panggilan Nyi Pulungsih. Sampai saat ini, setiap menjelang dimulainya musim giling di dua PG tersebut, selalu ada tradisi ziarah ke makamnya.
Simak laporan Kompas tentang kisah cinta KGPAA Mangkunegara IV dengan Nyi Pulungsih di sini.
Matahari sudah terbenam saat kami keluar dari Kartasura, setelah sebelumnya menikmati kuliner setempat, yakni Bistik Pak Pur. Ini adalah olahan daging sapi yang sangat empuk dengan kuah manis yang merupakan perpaduan antara cita rasa Eropa dan Jawa.
Kami sebenarnya masih harus mampir di Jombang, Jawa Timur, tetapi karena hari sudah gelap, kami memutuskan untuk langsung menuju Hotel Santika Gubeng di Surabaya. Lexus pun kami arahkan menuju Gerbang Tol Kartasura untuk menempuh jalur tol tanpa putus ke Surabaya.
Dan kagetlah kami karena perjalanan Kartasura-Surabaya dituntaskan hanya dalam waktu 2,5 jam. Tanpa tol, perjalanan itu biasanya ditempuh dalam waktu berkisar 6-7 jam. Padahal, kami tak bisa mengembangkan kecepatan malam itu karena hujan deras mengguyur sepanjang jalan.
Keesokan harinya, baru kami sempatkan untuk ke Jombang. Di sini, kami kembali bertemu teman lama di Kelenteng Hong San Kiong di Gudo, Jombang. Kelenteng ini unik karena masih aktif hingga saat ini di tengah komunitas Muslim yang taat di daerah Jombang.
”Kelenteng ini menjadi pusat pengembangan seni wayang potehi yang hampir punah. Sekarang sudah ada lima kelompok wayang potehi yang berkembang dari Gudo. Kita juga membantu kelompok wayang potehi lainnya,” kata Tonny Harsono alias Tok Hok Lay yang pernah memimpin Kelenteng Gudo dan kini menjadi patron di kelompok wayang potehi di Indonesia.
Dia berencana membuka Museum Wayang Potehi di sebelah Kelenteng Gudo. Sebagian koleksi dari ribuan wayang potehi sudah mulai dipasang di dinding komplek bangunan Museum Wayang Potehi Gudo.
Pulang dari Gudo, kami diajak Tonny menikmati menu lokal di sebuah rumah makan kecil di depan Pasar Gudo. Walaupun kecil, rawon dan nasi kikil yang disajikan di sini sungguh nikmat dengan cita rasa orisinal. Apalagi saat ditemani minuman khas setempat yang sudah makin langka dewasa saat ini, yakni bir temulawak.
Sore hari dalam perjalanan menuju Surabaya lagi, kami melewati Pondok Pesantren Tebuireng yang termasyhur itu. Kami pun sempatkan untuk berhenti sejenak, berziarah dan memberi penghormatan kepada presiden ke-4 RI, KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, yang dimakamkan di kompleks pesantren tersebut.
Perjalanan lebih dari 1.000 km itu tuntas sudah. Secara keseluruhan, konsumsi rata-rata BBM yang tertera di layar MID adalah 15,6 km per liter. Angka yang cukup mengejutkan untuk sedan sekelas ini mengingat kami tidak selalu menerapkan eco-driving selama perjalanan.
Perjalanan ini membuktikan dua hal. Yang pertama, jangan takut lagi menjelajah dengan mobil sedan karena jaringan jalan tol dan jalan raya kini sudah bagus secara merata di Pulau Jawa. Kedua, jangan pernah berhenti berjalan, karena kita tak pernah tahu, di tikungan berikutnya akan kita temukan kebahagiaan yang kita cari selama ini....