Arah kebijakan karet dari tahun ke tahun semakin jelas. Kebijakan itu juga konkret kendati sebenarnya mengulang langkah-langkah sebelumnya. Tiga kata kunci kebijakan tersebut adalah pembatasan ekspor, serapan karet di dalam negeri, dan peremajaan tanaman karet.
Ketiga kata kunci yang disebut-sebut setiap tahun itu dibungkus ”pernak-pernik” persoalan. Persoalan itu mulai dari harga karet mentah dunia yang rendah, kesejahteraan petani, hilirisasi industri, lahan karet yang berkurang, dan mayoritas tanaman karet menua.
Tiga tahun belakangan, harga karet mentah dunia berkisar 1,3 dollar AS-1,6 dollar AS per kilogram (kg) atau Rp 18.200-Rp 22.400 per kg. Di tingkat petani, harganya di kisaran Rp 4.000 per-Rp 7.000 per kg.
Harga yang rendah membuat petani karet di beberapa daerah di Indonesia mengalihkan tanaman karet ke tanaman yang bernilai ekonomi lebih tinggi. Buruh deres getah karet banyak yang beralih profesi.
Pada 22 Februari 2019, Dewan Tripartit Karet Internasional (ITRC) kembali memutuskan mengurangi ekspor dan meningkatkan serapan karet mentah. ITRC yang beranggotakan Indonesia, Thailand, dan Malaysia itu telah empat kali membuat kebijakan semacam itu untuk mengerek harga karet.
Tahun ini, ketiga negara produsen karet tersebut sepakat mengurangi ekspor karet mentah 200.000-300.000 ton. Ketiga negara itu juga akan meningkatkan serapan karet domestik, antara lain di sektor infrastruktur, otomotif, serta industri ban dan vulkanisir.
Adapun untuk serapan domestik, Thailand telah meningkatkan permintaan dalam negeri melalui enam jenis pasar karet, terutama infrastruktur, otomotif, elektronik, serta aneka perangkat dan aksesori. Dampaknya, permintaan karet Thailand naik 105.600 ton atau senilai 225 juta dollar AS.
Malaysia akan melanjutkan proyek jalan dengan komponen karet, mulai dari campuran aspal dengan karet hingga pelindung berlapis karet.
Adapun Indonesia akan fokus meningkatkan penggunaan komponen karet dalam infrastruktur, seperti jalan raya, bantalan sandar kapal di pelabuhan, dan bantalan rel kereta api. Berbagai janji dibuat sejumlah instansi untuk menyerap karet di dalam negeri.
Di bidang perkeretaapian, misalnya, Kementerian Perhubungan memperkirakan, bidang tersebut membutuhkan 1.225 ton karet alam dalam lima tahun mendatang, antara lain untuk komponen pada jembatan kereta api, jalan layang kereta api, dan stasiun.
Pada April 2015, pemerintah berkomitmen menggunakan karet alam dan produk turunannya dalam pembangunan infrastruktur nasional. Target serapannya 100.000 ton sehingga menambah total serapan karet nasional dari 600.000 ton menjadi 700.000 ton.
Kementerian Perhubungan akan menyerap 20.000 ton, yang terdiri dari 15.000 ton untuk sarana kenavigasian dan 5.000 ton untuk bantalan kereta api.
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat menargetkan dapat menyerap 60.000-80.000 ton karet alam. Selain untuk campuran aspal, karet juga akan digunakan untuk bendung karet dan bantalan pintu irigasi.
Namun, serapan karet di dalam negeri belum beranjak dari kisaran 400.000-630.000 ton dalam tujuh tahun terakhir. Pada 2011-2017, Gabungan Pengusaha Karet Indonesia (Gapkindo) mencatat, serapan domestik tertinggi terjadi pada 2017, sebanyak 629.800 ton.
Di tingkat daerah, pemerintah di daerah-daerah produsen karet berkomitmen membangun jalan aspal campuran karet dan meremajakan tanaman karet. Bahkan, Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan berinisiatif menerbitkan peraturan gubernur terkait penyelenggaraan pengolahan, pemasaran, dan pengawasan bahan olah karet standar Indonesian Rubber.
Selain mengatur standardisasi bahan olah karet (bokar), regulasi itu juga memangkas mata rantai perdagangan karet. Hanya Unit Pengolahan dan Pemasaran Bokar dan pedagang teregistrasi yang boleh menyalurkan karet dari petani ke pabrik.
Kebijakan dan langkah baik pemerintah ini perlu terus dikawal agar terealisasi. Semoga saja kebijakan karet yang berulang itu tidak menjadi kebijakan ngaret yang pelaksanaan selalu molor.
Kebijakan dan langkah baik pemerintah ini perlu terus dikawal agar benar-benar terealisasi. Semoga saja kebijakan yang berulang itu tidak menjadi kebijakan ngaret yang pelaksanaan selalu molor.