MAGELANG, KOMPAS — Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah memiliki koleksi cagar budaya candi yang tersebar sedikitnya di 44 titik. Sebagian besar candi-candi itu telah dikonservasi secara layak. Namun demikian, narasi masing-masing candi belum digali secara optimal meski minat wisatawan untuk mengunjungi tinggi.
Hasil pengamatan Kompas di beberapa titik candi DIY dan Jateng menunjukkan bahwa candi-candi di kawasan ini telah ditata dengan baik, dirawat oleh juru pelihara, serta sebagian besar sudah bisa diakses publik. Letak candi-candi tersebut tidak berjauhan sehingga sangat potensial dikembangkan menjadi paket-paket wisata minat khusus.
Di DIY misalnya, wisatawan bisa menikmati tur wisata candi mulai dari sisi utara Jalan Yogyakarta-Solo dari Candi Prambanan, Candi Kalasan, Candi Sari, kemudian menuju sisi selatan wisatawan bisa menyaksikan pemandangan Candi Ratu Boko, Candi Barong, Candi Banyunibo, hingga Candi Ijo. Di seputaran lokasi itu pula, memasuki Provinsi Jateng terdapat Candi Bubrah, Candi Lumbung, Candi Sewu, Candi Sojiwan, Candi Plaosan Lor, dan Candi Plaosan Kidul.
Kawasan percandian juga tersebar luas di Magelang, Jateng. Di Desa Sengi, Kecamatan Dukun, Magelang misalnya, terdapat kawasan Situs Sengi yang memiliki tiga buah candi, yaitu Candi Asu, Candi Pendem, dan Candi Lumbung yang lokasinya berdekatan.
Ketiga candi berlatar belakang agama Hindhu tesebut dibangun sekitar abad ke-9 hingga ke-10. Jika diamati lebih lanjut, masing-masing candi dihiasi dengan relief-relief unik yang mengandung narasi menarik jika diungkap lebih lanjut, seperti gambar burung Nuri, hiasan sulur-suluran, mahluk gana, dan makara berkepala ikan di bagian kakinya.
Jika diamati lebih lanjut, masing-masing candi dihiasi dengan relief-relief unik yang mengandung narasi menarik jika diungkap lebih lanjut.
“Relief-relief yang masih tersisa di bagian-bagian candi pasti menarik sekali apabila dikaji lebih dalam apa makna di baliknya. Cerita-cerita menarik di balik keberadaan candi pasti akan lebih menarik bagi wisatawan. Selama ini, sebagian besar wisatawan hanya datang sekadar untuk berswafoto,” kata Anton Wijayanto, warga Dukun, Magelang, Selasa (26/2/2019), di Magelang, Jateng.
Di Desa Kadiluwih, Kecamatan Salam, Magelang juga terdapat candi tua bernama Candi Gunung Wukir. Di tempat inilah ditemukan Prasasti Canggal yang menunjukkan penanggalan 732 Masehi sehingga menegaskan bahwa candi ini bercorak Hindhu.
Candi Gunung Wukir terletak di puncak Gunung Wukir yang menurut L Poerbatjaraka diidentifikasi sebagai candi untuk menempatkan lingga yang didirikan oleh Raden Sanjaya pada 732 Masehi di Bukit Sthirangga untuk kebahagiaan manusia.
“Biasanya pengunjung yang rutin datang ke sini adalah para penganut agama Hindhu dari Bali. Kalau wisatawan biasa masih jarang sekali karena memang lokasinya agak terpencil di atas bukit,” tutur Supriyo, penjaga Candi Gunung Wukir.
Wisata minat khusus
Nur Ciptaningrum, salah satu pemandu wisata dari Himpunan Pramuwisata Indonesia mengatakan, selama ini peminat wisata minat khusus ke candi-candi itu selalu ada. “Terutama wisatawan mancanegara yang tertarik. Kalau wisatawan domestik lebih tertarik ke tempat-tempat wisata seperti Tebing Breksi,” ujar Nur seraya menyebut lokasi bekas pertambangan batu breksi di dekat Candi Ijo yang telah disulap menjadi objek wisata swafoto.
Selama ini peminat wisata minat khusus ke candi-candi itu selalu ada. “Terutama wisatawan mancanegara yang tertarik.
Nur yang menjadi pemandu wisata sejak tahun 2000 itu mengatakan, biasanya para peminat wisata minat khusus itu menghubunginya melalui hotel tempat mereka menginap atau biro perjalanan. Dia bahkan pernah memandu para profesor arkeologi dari Eropa yang sudah memiliki detail pengetahuan tentang candi-candi di Jawa.
“Ada juga wisatawan biasa yang minta tur privat agar bisa lebih lama menikmati candi-candi karena jika mereka ikut rombongan wisata waktunya kunjungan ke candi-candi terlampau singkat waktunya,” kata dia.
Sekarang, saat memandu wisata minat khusus candi-candi tersembunyi di kawasan DIY, Nur mengajak para wisatawan untuk melihat candi-candi yang masih kurang populer di mata masyarakat, seperti Candi Barong, Candi Banyunibo, Candi Ijo, Candi Sojiwan, Candi Sari, Candi Sambisari, dan sejumlah situs arkeologi noncandi.
Begitu banyak candi di DIY dan Jateng telah selesai dikonservasi dan dirawat dengan baik oleh para juru pelihara. Sayangnya, narasi-narasi sejarah di balik bangunan-bangunan cagar budaya tersebut belum banyak digali.
Sejumlah hotel di DIY dan Jateng mulai menyediakan paket-paket wisata minat khusus, salah satunya tur candi dan situs-situs bersejarah. Potensi wisata minat khusus seperti ini sangat layak dikembangkan. Kuncinya, dibutuhkan upaya penguatan literasi sejarah bagi para pemandu wisata maupun juru-juru pelihara situs bersejarah.
Kepala Balai Arkeologi Daerah Istimewa Yogyakarta Sugeng Riyanto menambahkan, untuk membantu masyarakat dan wisatawan memahami lebih dalam seputar sejarah candi, Balar DIY mengembangkan program Rumah Peradaban di Situs Liyangan, Temanggung, Jawa Tengah. Komplek Situs Liyangan juga memiliki struktur bangunan candi Hindhu bernama Candi Liyangan.
Untuk membantu masyarakat dan wisatawan memahami lebih dalam seputar sejarah candi, Balar DIY mengembangkan program Rumah Peradaban di Situs Liyangan, Temanggung,
Di komplek hunian serta pertanian kuno yang terkubur material vulkanik Gunung Sindoro 1000 tahun lampau itu, Balar DIY bekerjasama dengan Kelompok Sadar Wisata dan Badan Usaha Milik Desa setempat membuat Pojok Rumah Peradaban. Setiap empat bulan sekali, Balar DIY memperbarui data-data dan keterangan seputar sejarah Situs Liyangan. Dengan demikian, diharapkan warga serta wisatawan semakin memahami dan mengenal situs tersebut.