Ketinggalan Zaman, Revisi UU Konservasi SDA Perlu Dilanjutkan
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS— Pembahasan revisi atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem belum dilanjutkan dan, bahkan, mandek. Padahal, undang-undang yang berusia 29 tahun ini dinilai sudah tidak relevan dalam menjawab tantangan pengelolaan kawasan konservasi yang semakin kompleks.
Salah satu dampak yang muncul adalah maraknya perburuan liar karena undang-undang (UU) itu tidak memberikan efek jera bagi pelaku. Undang-undang itu juga belum menjamin perlindungan keanekaragaman spesies di Indonesia, termasuk keanekaragaman genetika.
“UU 5/90 ini perlu direvisi karena sudah tak lagi sesuai dengan tantangan zaman saat ini. Pemerintah, khususnya Presiden perlu meninjau ulang draft revisi undang-undang yang diajukan DPR sehingga bisa dilanjutkan,” ujar Trias Fetra, peneliti dari Yayasan Madani Berkelanjutan, Rabu (27/2/2019) di Jakarta.
Menurutnya, belum efektifnya UU Nomor 5/1990 untuk mengatasi persoalan konservasi dan memberikan efek jera terlihat dari masih tingginya kasus kejahatan terkait perlindungan keanekaragaman hayati.
Data Wildlife Conseration Society Indonesia mencatat, jumlah kasus kejahatan satwa liar meningkat dari 106 kasus pada 2015 menjadi 225 kasus pada 2017. Selain itu, Pusat Penelusuran dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) 2018 menunjukkan, transaksi perdagangan tumbuhan dan satwa liar mencapai lebih dari Rp 13 triliun per tahun.
Dihubungi terpisah, Direktur Jenderal Konservasi dan Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Wiratno menyatakan, revisi UU 5/1990 belum diperlukan. Sementara, terkait kejahatan korporasi dan tindak kejahatan konservasi lainnya bisa diakomodasi dengan koordinasi antarkementerian dan lembaga.
"Kami gunakan sanksi kepada pelaku kejahatan konservasi dengan UU Nomor 32/2009 tentang lingkungan hidup serta UU 18/2013 tentang pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan," katanya.
Perbaikan substansi
Meski kelanjutan revisi undang-undang terus didorong, Kepala Divisi Tata Kelola Hutan dan Lahan Lembaga Kajian Hukum Lingkungan Indonesia (ICEL) Rika Fajrini menilai, perlu ada perbaikan substansi pada pasal-pasal yang diajukan oleh DPR kepada pemerintah.
“Kita mendorong revisi UU 5/90, tetapi tidak pula sepakat 100 persen dengan draf DPR. Jadi, harapannya pemerintah bisa hadir dengan perbaikan substansi,” ujarnya.
Perbaikan substansi yang dimaksud, yakni mengatur pemanfaatan keanekaragaman hayati yang memihak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan tanpa mengorbankan fungsi konservasi. Selain itu, pasal pada revisi undang-undang yang diajukan perlu memuat materi yang menguatkan perlindungan sumber daya genetik serta alur akses dan pembagian manfaat untuk mencegah biopiracy atau eksploitasi sumber daya alam termasuk pengetahuan masyarakat tanpa izin.
“Revisi ini seharusnya juga menguatkan penegakan hukum baik administrasi, perdata, dan pidana konservasi keanekaragaman hayati, mulai dari penyidikan, ketentuan pidana, serta penegakan hukum terpadu,” kata Rika.
Anggota dari WikiDPR.org, Adrian Putra berpendapat, mandeknya pembahasan revisi UU 5/90 ini ironis karena mayoritas anggota DPR mendukung adanya revisi tersebut. Dari kajian yang dilakukan #vote4forest, sebanyak 84 persen anggota DPR bersikap positif mendukung diundangkannya revisi UU 5/1990.
Kajian tersebut dilakukan terhadap 34 anggota DPR yang terlibat aktif dalam pembahasan revisi Undang-Undang itu, “Untuk itu, anggota legislatif dalam hal ini DPR perlu lebih intensif menjalin komunikasi dengan pemerintah dalam upaya percepatan pengesahan peraturan ini,” ucap Adrian.