Pierre Andries Tendean selama ini dikenang akan kisah heroiknya saat mengorbankan nyawanya untuk Abdul Haris Nasution. Namun di luar itu, banyak kenangan lain yang tersembunyi di benak keluarga dan orang-orang dekatnya. Kenangan yang membuat Pierre sulit untuk dilupakan sekalipun sudah lebih dari setengah abad kepergiannya.
Malam hari, tanggal 30 September 1965. Pasukan Tjakrabirawa tiba-tiba masuk ke kediaman Menteri Koordinator Pertahanan Keamanan/Kepala Staf Angkatan Bersenjata Abdul Haris Nasution. Mereka mencari Nasution.
Keberadaan Nasution pun ditanyakan kepada Pierre yang mereka jumpai di rumah Nasution. Namun setelah melihat ada gelagat tidak baik dari pasukan tersebut, tanpa berpikir panjang, pria yang usianya baru 26 tahun itu mengaku, dirinyalah Nasution. "Saya Nasution," katanya.
Ajudan Nasution itu lantas dibawa pergi. Dia pun menghilang, tak jelas keberadaannya, dan baru pada 5 Oktober 1965, dia ditemukan. Namun kondisinya, sudah tak bernyawa. Jenazahnya ditemukan di sebuah sumur tua di Lubang Buaya, Cipayung, Jakarta Timur bersama enam jenderal.
Kisah heroik Pierre ini, diwariskan dari generasi ke generasi, dan senantiasa mengingatkan bangsa akan besarnya pengorbanan Pierre yang kemudian ditetapkan menjadi satu dari sepuluh pahlawan revolusi.
Namun di luar itu, ternyata banyak kenangan lain akan dirinya, yang melekat pada keluarga dan orang-orang dekat Pierre. Ini seperti yang tertuang dalam buku biografi Pierre, berjudul "Sang Patriot: Kisah Seorang Pahlawan Revolusi" yang ditulis oleh Abie Besman, dan diterbitkan oleh Penerbit Buku Kompas.Salah satunya, saat pesta pernikahan adiknya, Rooswidiati Tendean, dua bulan sebelum Pierre wafat, persisnya tanggal 2 Juli 1765.
Pierre yang bertugas di Jakarta pun pulang ke Semarang, untuk melihat pernikahan adiknya. Saat itu, dia Roos kepada suaminya, Muhammad Jusuf Razak, yang kemudian dibalas dengan pelukan dan tangisan Roos.
“Pierre menunjukkan cintanya kepada adiknya. Jika tidak ada peristiwa 30 September, mungkin itu momen biasa saja,” kata Penulis "Sang Patriot: Kisah Seorang Pahlawan Revolusi", Abie Besman, di Jakarta, Selasa (26/2/2019).
Selain Abie Besman, enam penulis lainnya, Iffani Saktya, Irma Rachmania Dewi, Laricya Umboh, Neysa Ramadhani, Noviriny Drivina, dan Ziey Sullastri.
Saking sayangnya, Pierre turut memberikan hadiah pernikahan untuk Roos, yang dititipkannya melalui sang ibu, Maria Elizabeth Cornet. Hadiah itu adalah penghasilannya saat menjadi mata-mata dalam operasi Dwikora
Operasi Dwikora merupakan komando siaga yang bertugas untuk mengoordinasi kegiatan perang terhadap Malaysia, sejak tahun 1962.
Keluarga besar Nasution turut hadir dalam pernikahan Roos tersebut. Saat itu, Pierre sempat berfoto bersama dengan anak bungsu Nasution, Ade Irma, di kamar pengantin. Seperti diketahui, dalam peristiwa 30 September 1965, Ade tewas tertembak saat pasukan Tjakrabirawa mencari Nasution.
Kenangan lain, saat Pierre memutuskan untuk kembali ke Jakarta, 5 Juli 1965, usai acara pernikahan adiknya. Kala itu, Cornet mencium kedua pipi Pierre sambil menangis, dan berharap bisa segera kembali pulang.
Sayangnya, Pierre tak mampu memenuhi permintaan ibunya. Kepulangan Pierre ke Semarang menjadi yang terakhir, sekaligus menjadi pertemuan pamungkasnya dengan ayah dan ibunya. Sosok ayahnya, Aurelius Lammert Tendean, hanya menyematkan pesan hati-hati kepada Pierre.
Tentang Rukmini
Di buku itu, disebutkan pula hubungan Pierre dengan Nurindah Rukmini Chamim, wanita yang dikenalnya saat bertugas di Medan pada 1963.
Salah satu rekan Pierre saat di Akademi Teknik Angkatan Darat (Atekad), Letnan Dua Soeseno bahkan menyatakan bahwa Pierre sudah menentukan satu hari di bulan Desember 1965 untuk hari pernikahan mereka.
Sebelum ajal menjemputnya, Pierre pun kerap membicarakan Rukmini dengan orang-orang yang dipercayainya. Salah satunya, seperti yang dikisahkan oleh anak sulung Nasution, Yanti Nasution.
Pierre juga kerap bercerita tentang Rukmini kepada ibu Yanti, Johana Sunarti Nasution, dalam beberapa kesempatan di dapur rumah Nasution. Johana yang sudah menganggap Pierre seperti anaknya sendiri, pun sering menasehatinya. Nasehat terakhir, dua hari sebelum Pierre meninggal.
Isi nasehatnya, Pierre diminta tidak terlalu memuja calon istrinya dan beranggapan seolah-olah tidak ada yang dapat memisahkan mereka.
Obrolan tentang Rukmini juga muncul saat Pierre bertemu Jusuf, 30 September 1965. Dalam perjumpaan itu, mereka juga berencana sama-sama kembali ke Semarang, 1 Oktober 1965, untuk merayakan ulang tahun Cornet.
Nahas, belum sempat Pierre pulang kembali ke Semarang untuk merayakan ulang tahun ibunya, dan belum sempat pula merealisasikan pernikahannya dengan Rukmini, ia harus berpulang.Satu hal yang masih mengganjal bagi keluarga, beberapa jam sebelum diculik, Pierre sempat menerima telegram dari Rukmini. Namun, telegram itu hingga kini tidak diketahui keberadaannya, pun dengan isinya. (FAJAR RAMADHAN)