Kenaikan Obligasi Korporasi di Pasar Global Berisiko
Oleh
Karina Isna Irawan
·3 menit baca
PARIS, RABU — Perekonomian global dihadapkan pada risiko peningkatan utang perusahaan nonlembaga keuangan yang mencapai 13 triliun dollar AS sampai akhir tahun 2018. Utang dari penerbitan obligasi korporasi di pasar global itu meningkat hampir dua kali lipat dalam satu dekade terakhir.
Peringatan akan risiko utang perusahaan nonlembaga keuangan itu disampaikan Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) dalam laporan bertajuk ”Risk Rising in Corporate Debt Market” yang dipublikasikan Selasa (26/2/2019) waktu setempat. Laporan didasarkan pada 85.000 obligasi korporasi yang diterbitkan perusahaan nonlembaga keuangan di 114 negara pada tahun 2000-2018.
OECD menyebutkan, utang perusahaan nonlembaga keuangan melalui penerbitan obligasi korporasi meningkat dramatis. Dalam kurun waktu 2008-2018, penerbitan obligasi korporasi di pasar global mencapai rata-rata 1,7 triliun dollar AS per tahun, sementara sebelum krisis keuangan tahun 2008 sekitar 864 miliar dollar AS per tahun.
Perusahaan dari negara ekonomi maju, yang menerbitkan 79 persen total obligasi korporasi di pasar global tahun 2018, menyadari bahwa obligasi yang mereka terbitkan meningkat hampir 70 persen dari 5,97 triliun dollar AS tahun 2008 menjadi 10,17 triliun tahun 2018.
Sementara penerbitan obligasi korporasi di pasar negara-negara berkembang, yang digerakkan oleh pertumbuhan ekonomi China, mencapai total 2,78 triliun dollar AS tahun 2018 atau meningkat 395 persen dibandingkan satu dekade lalu. China pernah menduduki peringkat kedua yang menerbitkan obligasi korporasi tertinggi di dunia sekitar 590 miliar dollar AS tahun 2016.
Penerbitan obligasi korporasi ini mayoritas dilakukan oleh perusahaan besar. Sementara perusahaan kecil dibiayai melalui pinjaman bank.
Di tengah situasi perlambatan pertumbuhan ekonomi global, OECD mengingatkan perusahaan yang menerbitkan obligasi korporasi dengan nilai tinggi untuk berhati-hati. Risiko pembiayaan utang semakin besar karena perlambatan pertumbuhan ekonomi dibarengi penurunan investasi dan peningkatan suku bunga acuan.
”Biaya utang yang harus dibayar perusahaan-perusahaan global itu sekitar 4 triliun dollar AS dalam tiga tahun ke depan. Angka ini sudah disesuaikan dengan total neraca keuangan Bank Sentral AS, Federal Reserve,” tulis OECD dalam laporannya.
Peringatan OECD juga berlaku bagi Indonesia. Mengutip data Bank Indonesia, utang luar negeri swasta bukan lembaga keuangan pada Desember 2018 mencapai 146,81 miliar dollar AS atau naik 77 juta dollar AS dibandingkan November 2018.
Dengan nilai tukar berdasarkan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate, Rabu (27/2/2019) siang, yakni Rp 14.004 per dollar AS, maka utang perusahaan nonlembaga keuangan itu setara Rp 2.055,93 triliun. Utang perusahaan nonlembaga keuangan itu terdiri dari BUMN 34,58 juta dollar AS, swasta asing 17,57 juta dollar AS, swasta campuran 51,11 juta dollar AS, dan swasta nasional 43,55 juta dollar AS.
Risikoekonomi
Melihat risiko perlambatan ekonomi global, Gubernur Bank Sentral AS Jerome Powell akan ”bersabar” dalam kebijakan lanjutan terkait suku bunga acuan. Kebijakan Bank Sentral AS yang menaikkan suku bunga acuan sebanyak empat kali pada 2018 meningkatkan risiko ketidakpastian ekonomi global.
”Ini waktu yang baik untuk bersabar dan menonton dan menunggu dan melihat bagaimana situasi berkembang,” ujarnya.
Powell menambahkan, arus lintas dan sinyal konflik di beberapa negara menjadi hal yang paling membahayakan pertumbuhan ekonomi global. Bank Sentral AS akan memantau secara hati-hati perkembangan situasi perlambatan pertumbuhan ekonomi China dan Eropa serta negosiasi Brexit yang belum mencapai jalan tengah.
Di sisi lain, China menjadi penggerak utama pertumbuhan obligasi korporasi. China kini dihadapkan pada perlambatan ekonomi yang dibarengi peningkatan utang. Oleh karena itu, awal bulan nanti China mengumumkan akan memperketat kontrol di tengah ancaman rekor perusahaan gagal bayar utang. (AFP/REUTERS)