Kampung Keluarga Berencana Atasi Persoalan Kependudukan
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS -- Kampung Keluarga Berencana mampu mengatasi persoalan kependudukan dan meningkatkan pembangunan keluarga. Upaya mengatasi persoalan kependudukan seperti stunting atau tengkes dan peningkatan kualitas penduduk dapat dilakukan melalui program yang dicanangkan oleh Presiden Joko Widodo pada 2016.
Deputi Kepala Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan Bidang Politik, Hukum, Keamanan, Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Ernadhi Sudarmanto, Rabu (27/2/2018) di Jakarta, mengatakan, program Kampung Keluarga Berencana merupakan kegiatan lintas sektor dan melibatkan lebih dari satu kementerian serta lembaga.
Adapun Kampung KB yakni satuan wilayah dengan kriteria tertentu terdapat keterpaduan program pembangunan antara kependudukan, KB, pembangunan keluarga, dan pembangunan sektor terkait untuk meningkatkan kualitas hidup keluarga dan masyarakat.
“Program KKBPK (Kependudukan, Keluarga Berencana, dan Pembangunan Keluarga) yang ada pada Kampung KB identik dengan konteks pengentasan kemiskinan, keluarga sejahtera, dan ketahanan,” kata Ernadhi pada Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Program KKBPK 2019 di Jakarta, Rabu.
Dari evaluasi sementara yang dilakukan BPKP, program ini dinilai cukup berhasil dengan nilai 71,3. Ernadhi mengatakan, program ini mampu mengatasi persoalan kependudukan.
Berdasarkan data Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN) pada tahun 2015-2019, laju pertambahan penduduk dapat ditekan dan rata-rata anak yang dilahirkan seorang wanita selama masa usia subur (TFR) dapat menurun.
Pada 2015, laju pertumbuhan penduduk sebesar 1,38 persen dan pada 2018 menjadi 1,23 persen. Adapun persentase TFR pada 2015 sebesar 2,37 persen dan pada 2018 menjadi 2,31 persen.
Selain itu, pemakaian alat kontrasepsi juga terus meningkat dan tingkat kehamilan tidak diinginkan terus menurun. Pada 2015 pemakai alat kontrasepsi sebesar 60,5 persen dan pada 2018 menjadi 61,1 persen. Adapun tingkat kehamilan tidak diinginkan pada 2015 sebesar 7,1 persen dan pada 2018 menjadi 6,8 persen.
Ernadhi mengatakan, program ini cukup berhasil karena peran aktif dari petugas lapangan di beberapa provinsi. Selain itu, tenaga dokter dan bidan memperoleh peningkatan kompetensi serta ketersediaan alat kontrasepsi. Progam ini juga melibatkan peran aktif dari rumah sakit swasta dan milik pemerintah.
Meskipun demikian, program ini masih ada hambatan, seperti keterbatasan anggaran. Akibatnya, pembentukan Kampung KB di desa yang tingkat prevalensi stunting atau tengkes melalui program desa stunting belum menjangkau seluruh Kampung KB.
Selain itu sosialisasi dan ketersediaan data secara akurat belum dilakukan oleh BKKBN secara optimal. Di beberapa Provinsi, penyuluh dan petugas lapangan KB kurang aktif.
Penyuluhan
Program Kampung KB mampu membantu pemerintah dalam memberikan penyuluhan kepada masyarakat. Gubernur Kepulauan Bangka Belitung Erzaldi Rosman mengatakan, pemerintah daerah mewajibkan setiap pasangan yang ingin menikah harus mengikuti penyuluhan.
“Di tingkat desa selama 8 jam, Kecamatan 6 jam, dan Kabupaten 4 jam,” kata Erzaldi. Setelah lulus, pasangan tersebut mendapatkan sertifikat yang dapat digunakan di Kantor Urusan Agama (KUA).
Ia mendukung program ini dan memiliki kebijakan 90 persen desa yang berpotensi menjadi Kampung KB dijadikan Kampung KB pada 2022. Adapun desa yang memiliki tingkat prevalensi tengkes yang tinggi menjadi prioritas untuk dijadikan Kampung KB.
Kampung KB juga bermanfaat untuk mengatasi persoalan kependudukan di Jawa Barat. Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Jawa Barat M Taufiq Budi Santoso mengatakan, Provinsi Jawa Barat memiliki jumlah penduduk terbanyak di Indonesia, yaitu 48,68 juta dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 1,34 persen.
Jumlah penduduk yang besar tersebut memunculkan persoalan, salah satunya tengkes yang mengakibatkan permasalahan pada kualitas sumber daya manusia. Persentase tengkes di Jawa Barat sebesar 29,2 persen. Prevalensi tengkes tertinggi terdapat di Garut yakni sebesar 43,2 persen.
Untuk mengendalikan kualitas penduduk, Pemerintah Provinsi Jawa Barat berkolaborasi dengan BKKBN dengan mendukung Tenaga Penggerak Desa (TPD). Pemprov Jawa Barat memberikan dana hibah kepada BKKBN sebesar Rp 27 miliar pada 2019.
Jumlah TPD di Jawa Barat ada 2.000 orang yang tersebar di 627 kecamatan dari 27 kabupaten/kota. Mereka bertugas untuk mengumpulkan data keluarga dan pasangan usia subur. Mereka melaksanakan operasional dan memberikan penyuluhan Program Kependudukan dan KB di tingkat desa/kelurahan.