Bekasi Terbelenggu Kemacetan
BEKASI, KOMPAS — Kepungan pembangunan proyek strategis nasional di Kota Bekasi berimbas pada kemacetan parah. Hingga saat ini, belum ada titik terang untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Indra Subekti (22), warga Jatibening, Pondok Gede, Kota Bekasi, terjebak kemacetan di Jalan Raya Kalimalang setiap hari. Warga yang bekerja di wilayah Bekasi Timur itu menghabiskan waktu lebih dari 30 menit untuk menempuh jarak 8 kilometer (km) dari rumah ke kantornya. Menurut dia, jika lalu lintas lancar, jarak tersebut bisa ditempuh dalam waktu 15 menit.
”Salah satu titik paling macet di Jalan Raya Kalimalang atau Jalan KH Noer Ali itu di depan perumahan Bumi Satria Kencana,” kata Indra di Bekasi, Rabu (27/2/2019). Di areal tersebut, terdapat lubang jalan berdiameter sekitar 1,5 meter dengan kedalaman 10 sentimeter (cm).
Pengendara sepeda motor masih bisa bersiasat dengan mengambil jalan di tepi kiri untuk menghindari lubang. Namun, pengendara mobil harus melewati lubang tersebut. Akibatnya, pengendara harus menurunkan kecepatan, antrean kendaraan yang berubah menjadi kemacetan pun terjadi.
Hal serupa dialami Jamal (23), mahasiswa Universitas Gunadarma Bekasi. Warga Cipinang, Jakarta Timur, itu terjebak kemacetan di Jalan Raya Kalimalang, mulai dari Halte Lampiri sampai kampusnya setiap sore. Untuk menempuh jarak 4 km, ia bisa menghabiskan waktu 20 menit.
Menurut Jamal, kemacetan terjadi karena jalan rusak. Lubang jalan selalu ada dalam jarak kurang dari 100 meter. Selain itu, Jalan Raya Kalimalang juga kerap dilintasi bus dan truk bertonase berat.
Pada Rabu siang, macet juga terjadi di Jalan Raya Kalimalang, mulai dari Masjid Al Azhar hingga 200 meter ke depan, karena ada lubang jalan di depan RS Budi Lestari. Pengendara hanya bisa memacu kecepatan kendaraan 10 km per jam kemudian berhenti setiap 3 meter sekali.
Di sepanjang Jalan Raya Kalimalang, baik arah Jakarta maupun Bekasi, kerusakan jalan selalu ada, setidaknya setiap 100 meter. Di arah Jakarta, misalnya, kerusakan terparah ada di sekitar Jalan Raya Caman. Selain lubang, sambungan jalan juga terputus sehingga tinggi jalan berbeda.
Pelaksana Harian (Plh) Kepala Bidang Lalu Lintas Dinas Perhubungan (Dishub) Kota Bekasi Bambang N Putra mengatakan, kemacetan di jalan tersebut merupakan imbas pembangunan proyek Tol Bekasi-Cawang-Kampung Melayu (Becakayu). Di Kota Bekasi, tol itu membentang di sepanjang Jalan Raya Kalimalang, yaitu dari daerah Caman hingga simpang Jalan Ahmad Yani.
Pembangunan yang berlangsung di sepanjang jalan itu pun mengambil sebagian lajur. Truk bertonase berat yang membawa material proyek juga lalu lalang setiap hari sehingga menambah kepadatan di jalan.
Bambang menambahkan, pembangunan Jalan Tol Jakarta-Cikampek II Layang, jalur kereta cepat Jakarta-Bandung, dan kereta ringan (LRT) Jabodebek di atas Tol Jakarta-Cikampek yang melintas di Kota Bekasi juga menambah kemacetan. Kemacetan di tol membuat pengendara beralih untuk melewati Jalan Raya Kalimalang. ”Sebanyak 60 persen dari pengendara di Kalimalang bukan warga Bekasi,” kata Bambang.
Menurut dia, banyaknya kendaraan itu berimbas pada kerusakan jalan dan kemacetan. Jalan Raya Kalimalang atau Jalan KH Noer Ali merupakan Jalan Kelas II atau jalan kota yang hanya mampu menahan beban maksimal 8 ton.
Prioritas
Bambang mengatakan, penanganan kemacetan dan pembangunan yang berlangsung di Kalimalang menjadi prioritas. Dalam sehari, Dishub mengerahkan 40 petugas untuk mengatur lalu lintas di sana.
Jumlah petugas itu akan ditambah menjadi 70 orang per hari selama tiga bulan ke depan. Sebab, tiga bulan ke depan pembangunan Tol Becakayu sudah memasuki satu dari dua segmen terakhir, yaitu dari RS Awal Bros sampai Jembatan Metropolitan Mal (MM). Selama pembangunan itu, pengembang akan memasang 17 tiang beton sehingga sebagian jalan ditutup, sebagian lagi dialihkan.
”Karena memprioritaskan Kalimalang, kami jadi mengurangi petugas di wilayah lain,” kata Bambang.
Dampaknya, kesemrawutan juga terjadi di daerah yang lain. Salah satunya di Jalan I Gusti Ngurah Rai, perbatasan Kota Bekasi dengan Jakarta. Lalu lintas di jalan itu selalu macet karena beberapa bagian jalan rusak. Selain itu, pengendara cenderung tidak tertib dan tidak ada yang menertibkan.
”Tidak pernah ada petugas yang mengatur lalu lintas, terutama di dekat Stasiun Cakung,” kata Jamal. Ia menjelaskan, di sana terdapat pelintasan sebidang dan putaran sehingga kendaraan dari berbagai arah selalu menumpuk.
Berdasarkan kajian Dishub Kota Bekasi, jumlah kendaraan roda dua mencapai 1,2 juta unit. Sementara, kendaraan roda empat adalah 300.000 unit. Dari total jumlah kendaraan itu, dibutuhkan jalan sepanjang 3.300 kilometer. Padahal, panjang jalan di seluruh Kota Bekasi adalah 1.500 meter.
Penambahan jalan
Menurut Bambang, kemacetan yang berpusat di Kalimalang semestinya diselesaikan dengan penambahan jalan. Pihaknya pun telah mengajukan pembangunan lintas bawah atau underpass di simpang Jalan Ahmad Yani. Simpang itu merupakan lokasi terpenting karena berada di kawasan ekonomi dan dekat dengan Pintu Tol Bekasi Barat.
”Kami sudah mengajukan ke Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), intinya mereka sudah setuju,” kata Bambang.
Adapun pembangunan dibebankan kepada pengembang Tol Becakayu, yaitu PT Kresna Kusuma Dyandra Marga (KKDM).
Deputi Pimpinan Proyek Tol Becakayu PT KKDM Deden Suharyana mengatakan, pihaknya menyetujui semua permintaan pemerintah kota untuk mengurangi dampak pembangunan tol tersebut. Usulan pembangunan underpass pun sudah diterima.
”Akan tetapi, kami masih mengkaji teknik pembangunan underpass itu,” kata Deden.
Menurut dia, pembangunan lintas bawah di Simpang Ahmad Yani membutuhkan teknik khusus karena melewati aliran Kalimalang yang merupakan sumber air baku bagi warga DKI Jakarta dan sebagian Kota Bekasi.