JAKARTA, KOMPAS — Penegakan diagnosis yang tepat masih menjadi tantangan dalam penanganan penyakit langka di Indonesia. Akibat salah diagnosis, banyak pasien terlambat diobati secara tepat dan tidak terselamatkan. Padahal, jika ditangani secara tepat dan cepat, kualitas dan harapan hidup pasien akan baik.
Kasus itu terungkap dalam temu media yang diadakan Yayasan MPS dan Penyakit Langka Indonesia bekerja sama dengan Sanofi Indonesia, di Jakarta, Rabu (27/2/2019). Para orangtua pasien penyakit langka bersama dokter dan pihak yayasan berbagi pengalaman pada acara peringatan Hari Penyakit Langka Sedunia yang jatuh setiap 29 Februari.
Berdasarkan European Organization for Rare Disease, penyakit langka adalah penyakit yang jumlah penderitanya amat sedikit jika dibandingkan dengan jumlah populasi umumnya. Secara global, ada 7.000 jenis penyakit langka yang jika digabungkan bisa membentuk populasi dengan jumlah terbesar nomor tiga di dunia.
Sekitar 80 persen penyakit langka disebabkan oleh kelainan genetik dan sekitar 50 persen ditemukan pada usia kanak-kanak. Penyakit langka bersifat kronis, progresif, dan mengancam kehidupan penderitanya. Ada sekitar 45 juta orang atau sekitar 9 persen dari populasi di Asia Tenggara mengidap penyakit langka.
Kendala itu disebabkan oleh fasilitas diagnostik penyakit langka yang belum baik dan minimnya pengetahuan dokter terhadap penyakit itu.
Di Indonesia, penyakit disebut langka jika diderita kurang dari 2.000 orang. Beberapa penyakit langka yang banyak ditemukan antara lain Mukoplisakaridosis (MPS) tipe II, penyakit gaucher, penyakit pompe, dan fenilketonuria.
Fitri Yenti, orangtua Umar Abdul Azis (7) yang mengidap MPS tipe II, mengatakan, butuh waktu lebih dari setahun untuk mendapatkan diagnosis yang tepat bagi penyakit langka anaknya itu. Akibatnya, Umar terlambat mendapatkan penanganan tepat sehingga telanjur mengalami kemunduran tumbuh dan kembang.
Fitri menceritakan, kelainan yang dialami anaknya mulai terlihat sejak usia 2 tahun. Namun, ketika dibawa ke dokter, Umar tidak kunjung mendapatkan diagnosis yang tepat. Diagnosis baru bisa ditegakkan ketika Umar berumur 3 tahun 7 bulan setelah dirujuk ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM).
”Umar sekarang sudah sekolah TK khusus. Secara fisik sudah ada perbaikan, tetapi ucapannya belum kembali,” kata Fitri. Sekarang, Umar harus mengikuti terapi seminggu sekali di RSCM.
Pengalaman serupa dialami oleh Amin Mahmudah, orangtua Athiyatul Maula, yang berumur 2 tahun 4 bulan, pengidap penyakit gaucher. Kakak Athiyatul, Sukron, meninggal akibat penyakit yang sama ketika berusia 2 tahun 5 bulan, tiga bulan setelah ditegakkan diagnosis.
Awalnya, Sukron mengalami perut kembung. Ketika dibawa ke rumah sakit, dokter mengatakan bahwa itu kembung biasa. Beberapa waktu kemudian dokter mencurigai Sukron terkena penyakit liver, talasemia, dan leukemia, tetapi semuanya negatif.
”Kami terlambat mendapatkan diagnosis karena keterbatasan akses tenaga kesehatan untuk mendiagnosis secara tepat. Setelah melihat gejala yang sama pada Athiyatul, kami segera membawanya ke dokter,” kata Amin.
Hal senada diungkapkan Agus Sulistiyono, orangtua Pinandito Abid Rospati (3 tahun) yang mengidap penyakit pompe. Putranya itu baru mendapatkan diagnosis yang tepat tiga bulan lalu setelah beberapa kali salah diagnosis sejak Desember 2017.
Ketua Divisi Nutrisi dan Penyakit Metabolik Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSCM Damayanti Rusli Sjarif mengatakan, kendala itu disebabkan oleh fasilitas diagnostik penyakit langka yang belum baik dan minimnya pengetahuan dokter terhadap penyakit itu. Selain itu, kondisi tersebut disebabkan pula oleh gejala penyakit langka yang mirip dengan penyakit lainnya.
Menurut Damayanti, sampai saat ini Indonesia belum memiliki fasilitas diagnostik yang baik. Untuk memastikan diagnosis seorang pasien, Damayanti harus mengirim sampel ke negara lain, seperti Taiwan.
Selain penegakan diagnosis, akses obat juga menjadi tantangan keluarga pasien penyakit langka. Sejauh ini, obat dan makanan bagi pengidap penyakit langka belum tersedia di Indonesia dan tidak ditanggung oleh program Jaminan Kesehatan Nasional. Untuk bisa mengakses, orangtua harus membeli sendiri dan harganya sangat mahal.
”Biaya obat dan makanan khusus bagi pasien MPS II, misalnya, bisa Rp 6 miliar selama setahun,” kata Ketua Yayasan MPS dan Penyakit Langka Indonesia Peni Utami.
Peni pun mendorong para pemangku kebijakan agar mendukung para pasien penyakit langka untuk menghadapi tantangan itu. Agar akses pasien terhadap obat mudah, diperlukan undang-undang khusus penyakit langka. (YOLA SASTRA)