Sastra yang Mencatat Tsunami
Tsunami di Selat Sunda, 23 Desember 2018, tak hanya meluluhlantakkan permukiman penduduk di pesisir Lampung dan Banten. Ribuan hati ikut tergerus melihat dampak yang diakibatkan hantaman gelombang air laut.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana mencatat, ada 437 orang meninggal. Sementara 14.059 orang mengalami luka-luka, 16 orang dinyatakan hilang dan 33.721 orang mengungsi.
Baca juga: Potret Pariwisata di Banten Pascatsunami
Letusan Gunung Anak Krakatau memicu tsunami di Selat Sunda. Peristiwa tersebut mengingatkan letusan Gunung Krakatau ”Sang Ibu” pada 27 Agustus 1883. Tim ”Ekspedisi Cincin Api Kompas” melaporkan, akibat letusan saat itu, 60 persen tubuh Krakatau hancur Sehingga membentuk lubang kaldera dengan diameter kurang lebih 7 kilometer.
Letusan dahsyat tersebut mengaikbatkan 36.417 orang meninggal. Selanjutnya, pada 1927-1929 muncul dinding kawah sebagai hasil erupsi Gunung Krakatau. Dinding kawah tersebut tumbuh terus hingga muncullah pulau yang disebut Anak Krakatau.
”Lampung Karam”
Dahsyatnya letusan Gunung Krakatau terdokumentasi secara detail dalam syair sepanjang 374 bait berjudul Lampung Karam. Dalam satu kesempatan bertemu dengan Kompas, sastrawan Lampung, Isbedy Stiawan, mengatakan, syair Lampung Karam merupakan karya penulis pribumi, Muhammad Saleh.
Penulis merupakan saksi sejarah letusan Gunung Krakatau 1883. Puisi Muhammad Saleh memiliki kekhasan tersendiri dengan gaya syair melayu yang dipengaruhi teknik tulisan ala pujangga lama,” ujarnya.
Isbedy mengatakan, syair Lampung Karam merupakan sastra yang dapat dijadikan rujukan apabila ingin tahu banyak tentang letusan Gunung Krakatau. Sebagai sebuah karya sastra, tulisan Muhammad Saleh cukup detail dan runtut.
”Syair ini seperti laporan seorang jurnalis. Penulisnya dengan detail menyebut jumlah korban di beberapa daerah. Dampak letusan krakatau diceritakan membuat ribuan orang di Pulau Sebuku mati ditimpa lumpur, api, dan abu. Muhammad Saleh juga menulis ada warga Lempasing yang tersapu ombak hingga Gunung Sari. Apabila ditelusuri, kedua lokasi itu sampai sekarang masih bisa kita temui di Bandar Lampung,” tutur Isbedy.
Syair Lampung Karam menjadi peninggalan bersejarah yang terus diupayakan pelestariannya. Syair tersebut pernah hilang selama 100 tahun sejak letusan Krakatau. Baru pada sekitar 1983 seorang warga negara Indonesia menemukan syair tersebut di Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda.
Saat Festival Krakatau 2015, Kompas mendapatkan salinan lengkap syair Lampung Karam. Syair yang aslinya ditulis dalam bahasa Melayu dengan aksara Jawi tersebut telah dialihaksarakan menjadi huruf alfabet.
Saleh membuka laporannya dengan mensyukuri dirinya yang selamat dari bencana. Ia memulai kisahnya ketika singgah di Tanjung Karang dalam sebuah perjalanan ziarah.
Kala itu, pada bulan Rajab, turun hujan abu berwarna putih yang sangat tebal selama tiga hari. Muhammad Saleh menyebut ketebalan abu mencapai dua jari. Kondisi tersebut membuat orang-orang heran dan bertanya-tanya.
Abu Rakata
Pemimpin rakyat, yang disebut Raja Negeri oleh Saleh, sampai harus berkeliling untuk mencari sumber abu tersebut. Hingga akhirnya Raja Negeri sampai di daerah Katimbang dan melihat abu tersebut berasal dari sebuah pulau.
”Sampai Katimbang nyatalah tentu, Kelihatan habu datangnya itu, Ia (Raja Negeri) berkata sudahlah tentu, Pulau Belerang Rakatanya itu,” tulis Saleh.
Katimbang merupakan sebuah desa yang kini sudah tidak tercatat keberadaan ataupun administrasinya di Lampung. Desa tersebut sejatinya berada di Kabupaten Pesawaran, Lampung. Letaknya tidak jauh dari markas Marinir di Piabung, Kecamatan Padang Cermin, Pesawaran.
Dari Katimbang, orang-orang mendengar suara guntur yang berulang, padahal saat itu tidak ada angin dan tidak mendung. Kondisi tersebut terjadi selama tiga bulan.
Gelombang tsunami
Pada tanggal 20 Syawal tahun 1300 atau Kamis, 23 Agustus 1883, tepat pukul 04.00 hari Minggu, terdengar bunyi guruh menderu. Sekitar 1 jam kemudian terjadilah tsunami yang diikuti suara gemuruh.
”Pukul lima nyatalah hari, Gaduhlah orang di dalam kali, Perahu berlaga sama sendiri, Airnya datang tidak terperi. Riuh bunyi di dalam perahunya, Bersahutan sama sendirinya, Seperti kiamat rupa bunyinya, Ramailah orang datang melihatnya. Mangkin malam bertambah keras, Airnya datang terlalu deras, Mana yang kuat tahan berempas, Mana yang buruk hilanglah lalas”, demikian laporan Saleh.
Pada pukul 06.00 turun hujan batu berukuran sebesar jagung. Fenomena tersebut menggemparkan Lampung. Orang-orang berlarian sambil berteriak-teriak.
Hingga malam, gempa masih dirasakan. Kondisi itu belum pernah dirasakan warga di lampung. Gempa yang terus berlangsung membuat lautan ikut berguncang. Situasi semakin mencekam karena bunga api tampak di langit.
Ketakutan menyelimuti masyarakat yang saat itu sedang berada di Lampung. Warga pendatang ingin segera meninggalkan Lampung. Kebanyakan dari mereka adalah orang Padang yang berdagang di Lampung.
Saat mereka menanti datangnya kapal yang akan mengangkut mereka ke Bengkulu dan berlanjut ke Padang, datanglah gelombang besar. Gelombang itu menghanyutkan banyak orang.
Saleh menggambarkan, gelombang tersebut masuk hingga ke permukiman warga dan memorakporandakan seisi negeri. ”Ada yang memanjat kayu yang tinggi, Masing-masing membawanya diri, Ada yang gaduh mencari bini, Ada yang berkata: Allahurabi!” catat Saleh.
Baru pada tengah malam gelombang air laut mulai reda. Malam itu, warga mulai kembali ke rumahnya masing-masing. Keesokan harinya, warga disibukkan mencari harta yang bisa diselamatkan. Mereka juga mencari jenazah kerabatnya yang tewas akibat tersapu gelombang pada malam sebelumnya.
Ada yang memanjat kayu yang tinggi, Masing-masing membawanya diri, Ada yang gaduh mencari bini, Ada yang berkata: Allahurabi.
Saleh menggambarkan datangnya gelombang sebagai sesuatu yang mengerikan bagai dikejar hantu. Orang-orang berlomba menyelamatkan diri dengan masuk rumah. Sayangnya, gelombang masih mampu menghancurkan rumah, banyak korban yang mati karena bersembunyi di dalam rumah.
Hantaman gelombang membuat orang ingin lari menyelematkan diri bersama harta mereka. Mereka berupaya menyelamatkan diri dengan menaiki perahu dan sampan. Apa daya, saat gelombang juga mengempas perahu dan sampan sehingga hilanglah penupang beserta harta dan perahunya. Gelombang yang datang bertubi membuat orang-orang menjadi sengsara dan menderita luka-luka.
Gelombang besar meratakan permukiman warga dan pasar. Hal itu digambarkan seperti licinnya telur yang dikupas. Seluruhnya rata, seperti padang yang besar dan luas.
Sementara korban tewas yang ia saksikan sangat banyak. Ada yang terimpit di pepohonan dan ada pula yang terimpit perahu.
Kesedihan menyeruak. ”Ada mencari sanak saudara, Banyaknya tidak lagi terkira, Berkapar mayat janda dan dara, Tidak bertemu sanak saudara. Ada yang bertemu suami dianya, Tiada bertemu dengan anaknya, Bertambah gila kepada hatinya, Makan minum tidak diperdulinya”, tulis Saleh.
Baca juga: Syair Lampung Karam yang Tenggelam