MEDAN, KOMPAS - Penguatan wewenang Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia terus didorong dalam rangka memperluas peran daerah dalam menentukan arah kebijakan nasional. Peran lembaga DPD selama ini masih sangat minim karena fungsinya hanya sebatas konsultasi dan keputusannya tidak mengikat secara hukum.
Perluasan kewenangan DPD juga untuk menambal ketidakhadiran partai politik dalam mengawal kebijakan pembangunan daerah.
"DPD harus bisa menjadi aktor utama dalam menentukan arah kebijakan nasional, khususnya yang menyangkut kepentingan daerah," kata Irmanputra Sidin, ahli hukum tata negara yang juga kuasa hukum GKR Hemas dalam perkara dualisme kepemimpinan di DPD RI, dalam diskusi bertajuk "DPD RI dalam Dinamika Politik dan Sistem Hukum Ketatanegaraan Indonesia", di Medan, Sumatera Utara, Senin (25/2/2019).
Diskusi yang diselenggarakan Lembaga Pemajuan Sumber Daya Rakyat itu mengundang para calon anggota DPD RI 2019 - 2024. Hadir antara lain Dadang Darmawan Pasaribu, Syamsul Hilal, Sultoni Trikusuma, dan Sutan Erwin Sihombing.
Irman menjelaskan, lahirnya lembaga DPD RI di parlemen adalah salah satu buah dari Reformasi 1998. Daerah merasakan ketidakadilan karena selama 32 tahun masa Orde Baru, pembangunan dipusatkan hanya di Jakarta.
"Jakarta berkembang begitu pesat, sementara daerah yang berada di sekelilingnya saja seperti Lampung dan Banten jauh tertinggal," kata Irman.
Daerah-daerah lain juga lebih tertinggal. Sistem pemerintahan yang terpusat membuat pemerintah pusat menjadikan daerah sebagai sumber uang. Dengan sistem itu, seharusnya pemerintah pusat berfungsi juga melakukan pemerataan pembangunan daerah. Namun, hal itu tidak dilakukan pemerintah pusat dengan baik. Akhirnya ketimpangan pembangunan daerah semakin luas.
Reformasi 1998 awalnya memberikan harapan baru bagi pembangunan daerah karena kewenangan daerah diperluas melalui otonomi daerah. Pemerintah provinsi, kabupaten, dan kota diberikan kewenangan yang lebih besar. Lembaga DPD RI pun dibentuk sebagai perwakilan daerah di pusat. "Namun, dalam amandemen konstitusi, DPD RI tidak diberi wewenang penuh. Hanya diberi kekuasaan untuk mengeluarkan rekomendasi," katanya.
Dalam amandemen konstitusi, DPD RI tidak diberi wewenang penuh. Hanya diberi kekuasaan untuk mengeluarkan rekomendasi. (Irmanputra Sidin)
Irman mengatakan, ia bersama Guru Kanjeng Ratu Hemas, anggota DPD RI asal Yogyakarta, dalam beberapa tahun ini melakukan pendekatan politik dengan sejumlah pihak untuk melakukan amandemen konstitusi terkait kewenangan DPD RI. Namun, sampai saat ini belum ada kemajuan dalam upaya memperkuat DPD.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Mirza Nasution mengatakan, DPD harus diberi kewenangan dalam proses legislasi, tidak hanya bersifat konsultasi. Rekrutmen anggota DPD harus diperbaiki dan bebas dari pengaruh partai politik. "Anggota DPD harus mampu mewakili dan memperjuangkan kepentingan daerahnya," katanya.
Dadang Darmawan mengatakan, penguatan anggota DPD RI juga sangat penting di tengah gagalnya partai politik melakukan reformasi pasca Reformasi 1998. Partai politik juga seharusnya bertanggung jawab pada pembangunan daerah.
"Di tengah tidak berfungsinya parpol dalam menyerap aspirasi daerah, seharusnya DPD RI bisa muncul untuk mengambil peran itu," kata Dadang.
Menurut Syamsul Hilal partai politik selama ini tersandera kepentingan kelompok politiknya. Bahkan, parpol juga tersandera kekuatan modal yang menopangnya. Di tengah keadaan seperti itu, parpol tidak bisa banyak diharapkan dalam pembangunan daerah.
Parpol pun kini punya menguasai eksekutif dan legislatif mulai dari daerah sampai pusat. Hampir tidak ada kekuatan yang cukup kuat untuk menyeimbangkan pengaruh kekuatan politik. Dalam keadaan seperti itu, peran DPD seharusnya menjadi sangat sentral.