Konektivitas 5G Mulai Dibangun untuk Hadapi Industri 4.0
Oleh
Madina Nusrat dari Barcelona, Spanyol
·4 menit baca
BARCELONA, KOMPAS -- Indonesia melalui PT Telekomunikasi Indonesia merintis pembangunan jaringan 5G di dalam negeri untuk menghadapi tantangan industri 4.0. Evolusi teknologi konektivitas ini akan mewujudkan komunikasi antar-alat untuk pengoperasian jarak jauh dengan keterlambatan sangat minim, seperti kendaraan nirawak. Namun, monetisasi dan regulasi penggunaan teknologi ini menjadi persoalan baru.
Guna merealisasikan pembangunan jaringan koneksi itu, PT Telekomunikasi Indonesia menjalin kerja sama dengan Huawei selaku penyedia teknologi 5G, dan Cisco sebagai perusahaan perangkat lunak yang dapat mendukung pengoperasian teknologi koneksi generasi ke-5 itu. Penandatanganan kerja sama tersebut berlangsung dalam kesempatan Mobile World Congress yang diselenggarakan di Barcelona, Spanyol, Senin (26/2/2019) waktu setempat.
Direktur Utama PT Telekomunikasi Indonesia, Alex J Sinaga, mengungkapkan, sejak pemerintah mendeklarasikan Indonesia ikut masuk dalam industri 4.0, maka sebuah keniscayaan aktivitas masyarakat, pemerintah, maupun industri di dalam negeri, pun harus didukung dengan teknologi konektivitas 5G.
Sebagai contoh, dengan menggunakan 5G pada e-government untuk lelang pengadaan barang dan jasa, maka tak akan ada lagi tatap muka antara pemerintah dengan perusahaan peserta lelang.
“Teknologi 5G itu ekosistemnya industri 4.0. Kalau masih manual (untuk lelang pengadaan barang dan jasa), ngecek fisik (maka itu bukan industri 4.0). Karena 5G itu solusi. Sebagai contoh penerapan tilang elektronik, itu akan lebih efektif jika teknologi 5G telah diimplementasikan,” jelasnya.
Dari segi teknologi, Alex mengungkapkan, kemampuan perusahaan penyedia teknologi 5G sudah cukup mumpuni dan dapat dibangun di dalam negeri dengan menggunakan jaringan serat optik PT Telekomunikasi Indonesia yang sudah mencapai 160.000 kilometer.
Menurut Alex, teknologi itu juga telah teridentifikasi lebih cocok digunakan untuk kepentingan pemerintah dan industri, dan kurang pas untuk memenuhi kebutuhan konektivitas perorangan. Namun, permasalahan yang lebih rumit itu akan muncul pada jenis usaha yang potensial menggunakan teknologi tersebut, selain untuk kebutuhan pemerintah. Hal itu termasuk model bisnisnya.
Sebagai pembanding, Alex mengatakan, monetisasi juga menjadi masalah utama saat teknologi konektivitas 4G diterapkan. Sebab, jaringan itu hanya dapat digunakan untuk mengakses daring dan telepon. Namun permasalahan itu dapat diatasi dengan bermunculannya bisnis rintisan digital, sehingga penyediaan jaringan 4G dapat dimonetisasi dan menjadi matang.
“Nah justru yang lebih rumit pada 5G itu ternyata bukan pada teknologinya, atau alatnya, tetapi mau dipakai buat apa sih sebetulnya (teknologi 5G itu). Itu sekarang semua technology owner, termasuk operator, itu ada di situ persoalannya,” jelasnya.
Solusinya, kata Alex, perusahaan pemilik teknologi bersedia menjalin kerja sama dengan penyedia layanan jaringan untuk membangun infrastruktur 5G. Seperti kerja sama yang dilakukan Huawei dan Cisco dengan PT Telekomunikasi Indonesia, itu tak sebatas infrastruktur, tetapi juga kerja sama riset dan inovasi.
"Mereka (pemilik teknologi 5G) menyadari bahwa pada akhirnya service provider (penyedia layanan jaringan) lah yang akan melakukan monetisasi. Sebab, mereka (penyedia teknologi 5G) pun belum tentu menemukan sendirian (usaha yang menggunakan jaringan 5G). Nah, ini makanya membutuhkan kerja sama untuk mendiskusikannya, dan tiap negara bisa berbeda. Karena kebutuhan negara Indonesia beda dengan negara lain, makanya kita punya join innovation ini,” jelas Alex.
Selain itu, menurut Alex, penggunaan spektrum juga masih membutuhkan pembahasan, karena 5G membutuhkan spektrum hingga 3,5 giga hertz. Ini perlu diskusi dengan regulator karena spektrum 3,5 Ghz itu di Indonesia masih digunakan untuk satelit.
“Kalau negara lain mungkin di spektrum itu tak digunakan untuk satelit. Tetapi di negara itu, spektrum 3,5 Ghz itu masih digunakan untuk satelit. Nah yang paling memungkinkan menggunakan spektrum di 700 mega hertz, meskipun itu masih digunakan untuk televisi. Ini perlu diskusi,” jelasnya
Di tataran regulasi pun, lanjut Alex, itu juga masih membutuhkan pembahasan lebih lanjut terkait penggunaan jaringan 5G untuk pemerintahan hingga industri. “Masih banyak yang perlu didiskusikan lebih lanjut,” ucapnya.
Meskipun masih ditemukan beberapa kendala, menurut Alex, pihaknya optimistis pembangunan jaringan 5G di kawasan Jakarta dan sekitarnya bisa selesai pada akhir 2019.
Selain Huawei dan Cisco, eksebisi MWC 2019 juga diikuti sejumlah perusahaan penyedia teknologi 5G lainnya, salah satunya ZTE. Pada eksebisi itu, PT Telekomunikasi Indonesia pun mengadakan pertemuan dengan ZTE, tetapi tak sampai mengadakan kerja sama.
Presiden Direktur PT Telkomsel, Ririek Adriansyah, yang juga hadir di MWC 2019 itu menyampaikan, PT Telekomunikasi Indonesia tak menutup kerja sama dengan pihak mana pun. Namun, kerja sama yang sudah dimulai ialah dengan Huawei dan Cisco.
“Hingga saat ini kami menjalin kerja sama dengan empat vendor, yakni Huawei, ZTE, Ericsson, dan Nokia. Untuk kerja sama (terkait pembangunan 5G) dengan Huawei ini, tak eksklusif. Hanya kebetulan Huawei yang sudah jalan,” jelasnya.
Chief Technology Officer Huawei Indonesia, You Qianwen, menyampaikan, pihaknya selalu memprioritaskan kebutuhan konsumen dan memberikan solusi terbaik untuk menghadapi tantangan yang ada.
Di Indonesia, Huawei akan menggunakan Cloud AIR untuk membangun jaringan 5G karena spektrum yang tersedia pun terbatas. “Selama beberapa tahun terakhir, Cloud AIR adalah pilihan terbaik untuk Indonesia,” jelasnya.