Ketinggian Gunung Anak Krakatau di Selat Sunda meningkat menjadi 155 meter di atas permukaan laut dari sebelumnya 110 meter. Peningkatan itu terjadi seiring masih terjadinya aktivitas vulkanik Anak Krakatau.
Oleh
VINA OKTAVIA
·2 menit baca
BANDAR LAMPUNG, KOMPAS - Ketinggian Gunung Anak Krakatau di Selat Sunda meningkat menjadi 155 meter di atas permukaan laut dari sebelumnya 110 meter. Peningkatan itu terjadi seiring masih terjadinya aktivitas vulkanik Anak Krakatau.
Menurut Andi Suardi, Kepala Pos Pengamatan Gunung Anak Krakatau di Desa Hargopancuran, Kecamatan Rajabasa, Lampung Selatan, Lampung, pengukuran terbaru Anak Krakatau dilakukan setelah erupsi pada 18 Februari 2019. Pengukuran itu dilakukan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG).
”Anak Krakatau terus membangun tubuhnya. Saat ini, ketinggian Anak Krakatau mencapai 155 meter di atas permukaan laut,” kata Andi saat dihubungi dari Bandar Lampung, Selasa (26/2).
Sebelum erupsi besar pada 26-27 Desember 2018, ketinggian Anak Krakatau 338 mdpl. Saat erupsi, sebagian tubuhnya longsor membuat ketinggian Anak Krakatau berkurang menjadi 110 mdpl.
Sebelumnya, aktivitas Anak Krakatau juga memicu bencana tsunami Selat Sunda yang merusak kawasan di Pesisir Banten dan Lampung. Berdasarkan catatan Kompas, ada 429 korban meninggal akibat bencana tersebut. (Kompas, 26/12).
Menurut Andi, pada Selasa siang, Anak Krakatau yang berstatus Waspada itu masih tenang. Meski begitu, aktivitas gempa dan tremor Anak Krakatau diyakini masih akan terus terjadi. Masyarakat diminta mematuhi radius aman 5 kilometer dari puncak.
Berdasarkan data PVMBG, erupsi Anak Krakatau terakhir kali terpantau pada Sabtu (23/2) pukul 15.25. Letusan Anak Krakatau itu menimbulkan kolom abu setinggi 500 m dari atas puncak gunung. Kolom abu teramati berwarna putih dengan intensitas tebal condong ke arah timur laut dan timur. Erupsi ini terekam dengan amplitudo maksimum 25 milimeter serta berdurasi 4 menit 31 detik.
Kepala Desa Tejang di Pulau Sebesi, Syamsiar mengatakan, aktivitas vulkanik Anak Krakatau yang meningkat sepekan terakhir sempat membuat warga cemas. Suara gemuruh acapkali terdengar saat eruspsi terjadi. Namun, hingga kini, warga masih bertahan di rumahnya.
Di pulau berpenghungi sekitar 2.800 jiwa itu, masih ada sekitar 20 rumah tangga yang mengungsi karena rumahnya rusak diterjang ombak saat tsunami. Sebagian warga mengungsi di rumah kerabatnya. Namun, ada juga yang mengungsi di posko pengungsiaan yang disediakan Pemerintah Kabupaten Lampung Selatan.
Saat ini, kata Syamsiar, setiap rukun tetangga melakukan siskamling setiap malam. Warga berjaga selama 24 jam secara bergantian. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi bencana jika Anak Krakatau kembali bergejolak pada malam hari.
“Kami juga dibantu anggota TNI yang terus memantau aktivitas Anak Krakatau dari Pulau Sebesi,” kata Syamsiar.