DKI Kesulitan Cegah Peredaran Kerang Hijau
JAKARTA, KOMPAS – Pemerintah Provinsi DKI Jakarta masih kesulitan mengatasi beredarnya kerang hijau dari Teluk Jakarta untuk dikonsumsi. Upaya menekan produksi sudah dilakukan dengan menawarkan relokasi namun gagal karena sejumlah kendala. Upaya menekan konsumsi juga ditempuh dengan sosialisasi tingginya kandungan logam berat namun juga belum membuahkan hasil.
Kepala Dinas Ketahanan Pangan, Kelautan dan Perikanan DKI Jakarta Darjamuni mengatakan, upaya relokasi dan alih profesi nelayan kerang hijau sudah pernah dilakukan beberapa kali sejak 2006. Namun, upaya ini gagal karena tingginya permintaan ganti rugi dan penyalahgunaan.
“Kami pernah sosialisasi relokasi ke Kecamatan Panimbang, Pandeglang, Banten. Air di sana lebih bersih karena tidak berada di muara. Namun untuk relokasi mereka minta ganti rumah, itu kami yang berat karena anggaran besar,” katanya di Balai Kota DKI Jakarta, Senin (25/2/2019).
Adapun program alih profesi yang disertai ganti rugi justru rentan disalahgunakan. Saat pernah ada pendataan ganti rugi bagan (rumah budidaya) kerang hijau, justru banyak orang yang menyalahgunakan dengan membuat bagan untuk mendapat ganti rugi.
Setelah alih profesi, sejumlah nelayan kerang hijau baru pun berdatangan. Usaha ini dinilai menarik sebab nyaris tanpa modal serta nilai ekonomisnya yang tinggi.
Darjamuni mengatakan, pihaknya sudah pernah berupaya datang untuk sosialisasi dengan Satpol PP namun upaya ini pun belum berhasil. “Kita memang tidak bisa melarang, juga tidak bisa memutus mata pencaharian orang begitu saja,” katanya.
Saat ini upaya yang ditempuh adalah sosialisasi untuk tidak mengkonsumsi kerang hijau dari Teluk Jakarta. Namun sosialisasi pun belum efektif sebab peredarannya kini justru hingga ke luar Jakarta. Salah satunya Sukabumi.
Padahal, kata Darjamuni, dalam sosialisasi sudah selalu diingatkan bahwa kerang hijau mengandung logam berat dan kerap ditemukan kerang yang diwarnai pewarna yang tak semestinya untuk makanan.
Jangka pendek dan panjang
Pencemaran logam berat pada Teluk Jakarta sudah terjadi pada lapisan sedimen lautnya sehingga biota yang hidup di perairan ini pasti akan tercemar. Untuk jangka pendek, pembersihan logam berat dilakukan dengan mengeruk sedimen laut, sedangkan untuk jangka panjang harus ada upaya berkelanjutan menghentikan pencemaran di tingkat hulu.
"Untuk solusi jangka pendek mengatasi pencemaran logam berat Teluk Jakarta, harus ada pengangkatan sedimen dan kemudian ditaruh di lokasi yang tidak memungkinkan lepas lagi. Kandungan logam beratnya sudah sangat tinggi dan kenaikannya signifikan dari waktu ke waktu," kata Guru Besar Bidang Ekobiologi, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor (IPB) Etty Riani, Senin.
Untuk solusi jangka pendek mengatasi pencemaran logam berat Teluk Jakarta, harus ada pengangkatan sedimen dan kemudian ditaruh di lokasi yang tidak memungkinkan lepas lagi. Kandungan logam beratnya sudah sangat tinggi dan kenaikannya signifikan dari waktu ke waktu
Pengukuran pada 2014, misalnya, menemukan, kandungan merkuri (Hg) pada sedimen Teluk Jakarta rata-rata 110,47 miligram/kilogram (mm/kg), timbal (Pb) 63,73 mg/kg, dan kadmium (Cd) 6,733 mg/kg. Menurut Etty, pencemaran logam berat di sedimen Teluk Jakarta sampai jarak 2 km dari pantai.
Reza Cordova, peneliti kimia laut dan ekotoksikologi Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), mengatakan, penelitian yang dipublikasikan bersama tim di jurnal Marine Research in Indonesia (2016) menemukan banyaknya larva kerang hijau di Teluk Jakarta yang mengalami kecacatan.
Ini menandakan tingginya cemaran logam berat di sedimen perairan ini. Pencemaran semakin menurun kadarnya di perairan yang jauh dari pantai.
Reza mengatakan, Teluk Jakarta secara alami memiliki arus kuat yang berpotensi mencuci polutan yang masuk dari muara sungai. Namun, tingginya pencemaran yang masuk dari ke-13 sungai ke perairan ini menyebabkan tingginya logam berat pada sedimen dan air yang dekat dengan pesisir.
"Secara jangka panjang harus ada upaya untuk menghilangkan polutan dari sumbernya dahulu, yaitu di daratan," kata Reza.
Menurut Reza, upaya ini menuntut keterlibatan berbagai pihak yakni pemerintah, legislatif, akademisi, serta masyarakat. Pemerintah pusat perlu mengoordinasikan dengan Pemerintah Provinsi Banten, Jawa Barat, dan DKI Jakarta. Regulasi sebenarnya sudah jelas, tinggal pelaksanaannya."
Perlindungan Konsumen
Untuk konsumen, menurut Etty, harus ada pembatasan konsumsi ikan dan kerang laut dari Teluk Jakarta. "Ikan yang dijual di Jakarta sebenarnya bukan dari Teluk Jakarta."
Menurut Etty, agar terhindar dari biota air yang terkontaminasi logam berat, salah satu caranya degan mengamati ciri-ciri fisiknya. Jika warna segar dan tidak kusam, dipegang relatif mulus dan ditekan tidak mudah rusak atau koyak, biota tersebut kemungkinan tidak mengandung logam berat yang tinggi.
Dari parameter kandungan logam berat Hg, daging biota air, baik ikan ataupun kerang-kerangan, di Teluk Jakarta yang dapat ditolerir untuk dikonsumsi orang dewasa dan anak-anak berkisar 2 gram hingga 43 gram per minggu.
Secara rata-rata untuk kerang hijau, maksimal hanya boleh dikonsumsi 1 ekor. Konsumsi yang melebihi batas ini dalam jangka panjang dikhawatirkan bisa memicu kanker.
Reza mengatakan, kerang hijau dari Teluk Jakarta disarankan untuk menjadi filter logam berat. Masyarakat masih bisa membudidayakan kernag hijau, namun bukan untuk dikonsumsi. "Kendalanya memang belum ada regulasi memayunginya, misalnya produk kerang yang dibudidayakan nelayan dibayar oleh industri," kata dia.
Sedangkan untuk ikan, menurut Reza, lebih baik dicari yang relatif jauh dari Teluk Jakarta, misalnya di Kepulauan Seribu. "Memang ini agak berat untuk nelayan, tetapi kualitasnya tangkapannya relatif lebih aman," kata dia.