Tidak Hanya Pilih Presiden
Semarak Pemilihan Umum Legislatif 2019 seperti meredup. Ajang untuk memilih wakil rakyat ini tenggelam dalam kegaduhan pemilihan presiden dan wakil presiden, baik di dunia nyata maupun di dunia maya.
Padahal, pemilu legislatif (pileg) tak kalah penting dibandingkan dengan perhelatan pemilu presiden (pilpres) karena calon anggota legislatif, baik DPR maupun DPD (Dewan Perwakilan Daerah), yang terpilih merupakan komponen dari Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), salah satu lembaga tinggi negara.
Profesor riset bidang perkembangan politik dan kekerasan politik, Hermawan Sulistyo, dalam Electoral Politics in Indonesia: A Hard Way to Democracy (2002), mengatakan, sebagai lembaga konstitusional, MPR mewakili kedaulatan rakyat sebagai institusi dengan kekuasaan nyaris tertinggi. Sebagai parlemen ”super”, MPR bahkan bisa memakzulkan presiden dan wakil presiden.
Kendati sedemikian penting, sorotan publik justru tidak tertuju ke pileg mendatang. Berbagai hasil survei dari lembaga survei di Indonesia menyebutkan, sejumlah pemilih memprioritaskan memilih kertas surat suara capres-cawapres dan gambar partai politik saat pemilu berlangsung.
Hasil survei Charta Politika, misalnya, menyebutkan bahwa seluruh masyarakat di daerah pemilihan (dapil) DKI Jakarta lebih mengutamakan pencoblosan kertas suara pilpres daripada kertas suara pileg. Survei ini dilakukan pada 18-25 Januari 2019 dengan jumlah 800 sampel di tiap dapil.
Untuk dapil satu (Jakarta Timur) terdapat 65,2 persen responden yang akan mencoblos kertas suara pilpres terlebih dahulu. Sementara di dapil dua (Jakarta Selatan, Jakarta Pusat, dan luar negeri) 79,4 persen responden dan di dapil tiga (Kepulauan Seribu, Jakarta Barat, dan Jakarta Pusat) mencapai 75,1 persen responden.
”Prediksi saya, jumlah suara pada pileg tahun ini menurun dibandingkan Pemilu 2014 karena fokus utama pemilih saat ini lebih banyak untuk memilih presiden. Jadi, bisa saja ketika publik datang ke tempat pemungutan suara hanya mencoblos capres-cawapres, dan lainnya tidak dipilih,” kata Charles Honoris, calon anggota legislatif (caleg) DPR dari PDI-P, beberapa waktu lalu.
Khawatir
Atensi masyarakat atas pileg yang menurun dikhawatirkan membuka peluang terjadi politik uang di masyarakat. Hal ini timbul karena kurangnya informasi pemilih dalam menyeleksi caleg berkualitas dan berintegritas.
Kekhawatiran ini mendorong sejumlah lembaga independen untuk membantu konstituen dalam menyaring caleg mana saja yang patut dipilih atau tidak melalui situs web atau aplikasi berbasis gawai. Ini memudahkan pemilih untuk mengetahui informasi terkait rekam jejak caleg serta informasi politik dan pribadi caleg.
Beberapa waktu lalu, lembaga kajian politik PARA Syndicate meluncurkan aplikasi berbasis Android bernama Calegpedia.id. Aplikasi ini menyediakan informasi mengenai caleg di seluruh Indonesia.
Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) juga membuat situs Pintarmemilih.id yang menghadirkan informasi terkait pemilu serta caleg. Peluncuran situs ini bersandar pada kurangnya penyebaran informasi pemilu di masyarakat karena kompleksitas pesta demokrasi mendatang.
Yang terbaru, Indonesia Corruption Watch turut meluncurkan situs web bernama Rekamjejak.net pada Minggu (24/2/2019) di Jakarta. Berbeda dengan situs ataupun aplikasi sebelumnya, Rekamjejak.net fokus memperdalam informasi caleg petahana yang pernah bersinggungan dengan isu dan kasus korupsi atau pemberantasan korupsi.
Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya mengatakan, gerak dari lembaga independen dan aktivis ini muncul karena euforia pileg tenggelam oleh pilpres. ”Orang menganggap (pileg) merupakan pemilu minor, sedangkan pemilu mayornya adalah pilpres,” ujarnya.
Padahal, kata Yunarto, dengan sistem proporsional terbuka, peta pertarungan pemilu berada dalam tataran caleg, bukan antarpartai politik. Kondisi ini pun menimbulkan ketakutan bagi para aktivis apabila parlemen dipenuhi oleh caleg tidak berintegritas karena hiruk-pikuk pemilu hanya berada pada tataran pilpres.
Literasi
Kendati sejumlah lembaga telah merilis wadah informasi terkait caleg kepada publik, hal ini masih disangsikan karena rendahnya tingkat literasi digital masyarakat Indonesia. Selain itu, situs web bukan pilihan pertama publik dalam mencari informasi.
Jajak pendapat Kompas pada 6-8 Februari 2019 menunjukkan, hanya 8,9 persen masyarakat yang menyatakan mencari informasi mengenai caleg bekas narapidana korupsi di laman resmi Komisi Pemilihan Umum. Hal ini berbanding terbalik dengan persentase responden yang menyatakan pentingnya mengetahui rekam jejak caleg dalam membuat keputusan dalam Pemilu (87,1 persen).
Penulis buku dan pegiat literasi Maman Suherman mengatakan, tingginya jumlah pengguna internet di Indonesia tidak selaras dengan keaktifan publik dalam mencari informasi caleg. ”Dari 143,26 juta pengguna internet, hanya 30 persen yang mengakses informasi mengenai caleg, sama dengan akses belanja secara daring (online),” katanya.
Hasil survei Asosiasi Pengguna Jasa Internet Indonesia menunjukkan, jumlah pengguna internet pada 2017 meningkat dari 132,7 juta orang menjadi 143,26 juta orang. Tingkat penetrasinya mencapai 54,68 persen. Sebanyak 87,13 persen menggunakan internet untuk media sosial (Kompas, 23/1/2019).
Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi Febri Diansyah berharap, penyedia informasi caleg dan pemilu dapat menyalurkan informasi tersebut melalui kanal lain. Ini supaya penetrasi informasi caleg dapat menyasar audiens yang lebih luas.
Harapannya, tentu agar rakyat tak salah memilih wakilnya, terutama jika melihat rekam jejak mereka selama ini. Kualitas hasil pemilu, terutama pileg, sangat ditentukan oleh pengetahuan para pemilih terhadap rekam jejak calon wakil mereka. (DIONISIO DAMARA)