Syair Lampung Karam yang Tenggelam
Letusan Gunung Anak Krakatau memicu terjadinya tsunami di Selat Sunda Minggu (23/12/2017). Peristiwa tersebut mengingatkan letusan Gunung Krakatau “Sang Ibu” pada 27 Agustus 1883.
Dahsyatnya letusan Gunung Krakatau terdokumentasi secara detail dalam syair sepanjang 374 bait berjudul Lampung Karam karya penulis pribumi, Muhammad Saleh. Sastrawan Lampung Isbedy Stiawan mengatakan, Muhammad Saleh merupakan saksi sejarah letusan Gunung Krakatau 1883.
Syair Lampung Karam merupakan sastra yang dapat dijadikan rujukan tentang letusan Gunung Krakatau. Sebagai sebuah karya sastra, tulisan Saleh cukup detail dan runtut.
"Syair ini seperti laporan jurnalistik. Penulisnya dengan detail menyebut jumlah korban di beberapa daerah. Dampak letusan Krakatau diceritakan membuat ribuan orang di Pulau Sebuku mati ditimpa lumpur, api dan abu. Muhammad Saleh juga menulis ada warga Lempasing yang tersapu ombak hingga Gunung Sari. Bila ditelusuri, kedua lokasi itu sampai sekarang masih bisa kita temui di Bandar Lampung," ujar Isbedy.
Syair tersebut, sempat hilang lebih dari 100 tahun sejak letusan Krakatau. Baru pada sekitar tahun 2008, Suryadi seorang warga negara Indonesia menemukan syair tersebut di Perpustakaan Universitas Leiden Belanda.
Kisah Penemuan Syair Lampung Karam oleh Suryadi pernah dimuat Harian Kompas pada Jumat 12 September 2008. Suryadi mengatakan, kajian-kajian ilmiah dan bibliografi mengenai Krakatau hampir-hampir luput mencantumkan satu-satunya sumber pribumi tertulis, yang mencatat kesaksian mengenai letusan Krakatau di tahun 1883 itu. ”Dua tahun penelitian, saya menemukan satu-satunya kesaksian pribumi dalam bentuk tertulis,” katanya.
Saat Festival Krakatau 2015, Kompas mendapatkan salinan lengkap Syair Lampung Karam. Syair yang aslinya ditulis dalam Bahasa melayu dengan aksara Jawi tersebut telah dialihaksarakan menjadi huruf alphabet.
Baca Mengenang Letusan Krakatau Lewat Syair Puisi
Abu Rakata
Dalam catatannya Saleh menuliskan, pada Rajab 1300 hijriyah atau sekitar Mei 1883 terjadi hujan abu berwarna putih yang sangat tebal selama tiga hari. Muhammad Saleh menyebut ketebalan abu mencapai dua jari.
Saat itu seorang pemimpin, yang disebut Raja Negeri oleh Saleh, sampai harus berkeliling mencari sumber abu itu. Akhirnya Raja Negeri sampai di Katimbang, dan melihat abu itu berasal dari sebuah pulau.
“Sampai Kitambang nyatalah tentu, Kelihatan habu datangnya itu, Ia berkata sudahlah tentu, Pulau Belerang Rakatanya itu,” tulis Saleh.
Sampai Kitambang nyatalah tentu, Kelihatan habu datangnya itu, Ia berkata sudahlah tentu, Pulau Belerang Rakatanya itu
Kitambang kini tidak tercatat keberadaan maupun adminsitrasinya di Lampung. Namun nama yang serupa yaitu Katimbang dapat ditemukan di sebuah peta berada di pesisir pantai di kaki Gunung Rajabasa, Lampung Selatan.
Gelombang Tsunami
Sekitar empat bulan sejak kemunculan hujan abu, tepatnya pada 20 Syawal 1300 atau Kamis 23 Agustus 1883, tepat pukul 04.00 hari Minggu, terdengar bunyi guruh menderu. Sekitar 1 jam kemudian, terjadilah tsunami yang diikuti suara gemuruh.
Serupa dengan tsunami Selat Sunda 23 Desember lalu, peristiwa itu tidak datang tiba-tiba. Sejak Juni 2018 Gunung Anak Krakatau sudah menunjukkan aktivitasnya. Seperti diberitakan Harian Kompas, Gunung Anak Krakatau erupsi dua kali pada Senin (25/6/2018).
Erupsi pertama menghasilkan letusan dengan tinggi kolom abu 1.000 meter berwarna kehitaman tebal condong ke arah utara. Sementara erupsi kedua menghasilkan tinggi kolom abu 300 meter condong ke arah selatan.
Tsunami yang terjadi di Lampung 1883, dicatat Saleh mencapai tinggi 20 depa atau setara dengan 36,5 meter. Adapun daerah yang terdampak, jauhnya mencapai 4 pal atau setara 6 km dari bibir pantai. Saleh mencatat, hal itu membuat perahu dan kapal bisa dibawa naik ke daratan yang tinggi.
Gelombang Tsunami saat itu membuat kapal De Brow yang sedang melintas di Selat Sunda terdampar ke Pesisir Teluk Lampung. Akibatnya pelampung mercusuar (buoy) kapal De Brow ikut terlempar ke beberapa titik.
Hingga kini, buoy tersebut masih dapat dilihat di Taman Dipangga, dan Museum Lampung. Sementara bangkai kapal De Brow yang terdampar hingga Kali Akar juga sudah nyaris hilang. “Bangkai kapal De Brow selama ini teronggok begitu saja. Besi-besi justru ‘dipreteli’ dan hanya menyisakan satu bagian yang sampai kini masih dijaga,” ujar Budi Suprianto Kepala Seksi Pelayanan Museum Lampung.
Kampung Teba, Sebesi dan Sebuku
Saleh juga menyinggung beberapa nama tempat misalnya Kampung Teba, Sebesi, Sebuku, Tanjung Karang, Benawang. Beberapa nama tempat tersebut masih ada hingga sekarang.
Saleh sempat menyebut Kampung Teba yang dijadikan salah satu titik pengungsian. Teba dalam Bahasa Lampung artinya tebing. Lokasinya yang tinggi, membuat orang berbondong-bondong ke sana membawa harta serta pakaian.
“Di kampung Teba hamba perikan, Tempatnya tinggi nyatalah, Tuan, Pergilah orang berkawan-kawan, Membawa harta serta pakaian,” tulisnya.
Tahun 2014, Kompas pernah meliput tumbangnya sebuah pohon tua di Kampung Teba, yang kini disebut Kupang Teba, Bandar Lampung. Pohon setinggi 50 meter dengan diameter 2,5 meter diperkirakan berumur ratusan tahun. Menurut penuturan warga, pada jaman dulu pohon tersebut digunakan untuk menyaksikan letusan Gunung Krakatau tahun 1883 (Kompas, 8 Januari 2014).
Saleh juga menyinggung Pulau Sebesi dan Sebuku, yang letaknya dekat dengan Rakata. “Dekat Rakata nyatalah pasti, Satu pulau bernama Sebesi, Banyaklah orang di situ berhenti, Menanam lada serta mengungsi. Dari Kitambang datang orangnya,” tulis Saleh.
Saleh mencatat korban jiwa di Pulau Sebesi lebih dari 1.000 orang. Mereka tertimpa lumpur, api dan abu. Pun demikian kondisi di Pulau Sebuku yang letaknya berdekatan dengan Pulau Sebesi. Ia juga menyebut sekitar 1.000 orang yang tinggal di pulau tersebut seluruhnya menjadi korban.
Kondisi itu terulang di pengujung tahun 2018, ribuan warga Pulau Sebesi dan Sebuku dievakuasi keluar dari pulau. Hanya saja, kali ini mereka ke Kalianda, ibu kota Lampung Selatan, bukan ke Kitambang seperti yang ditulis Saleh.
Syair yang Diabaikan
Apa yang ditulis Saleh, tampaknya kini ikut tenggelam. Sebagian warga Lampung yang tak mengetahui adanya syair tersebut. Wisnu Santoso Putro, salah seorang wirausaha muda di Lampung; Elshinta, wartawati salah satu media daring di Lampung; dan Intan Pradina, mahasiswi di Universitas Lampung tidak pernah membaca atau pun mendengar adanya syair tersebut.
Sementara sebagian lainnya mengaku pernah mengetahui, membaca dan mendengar kendati tidak utuh. Joko Winarno Kepala Sekolah SMA Xaverius Bandar Lampung mengatakan pernah membaca beberapa bait Syair Lampung Karam, namun tak semuanya.
“Saya belum pernah membaca syairnya utuhnya. Saya hanya membaca ulasannya beberapa baitnya saja. Dari sana saya mendapat informasi dan cerita tentang dahsyatnya bencana kala itu,” ujarnya.
Saya belum pernah membaca syairnya utuhnya. Saya hanya membaca ulasannya beberapa baitnya saja. Dari sana saya mendapat informasi dan cerita tentang dahsyatnya bencana kala itu
Joko mengakui, Syair Lampung Karam tak pernah diajarkan di sekolahnya, Guru Bahasa Indonesia di sekolahnya bahkan tidak pernah membaca syair tersebut.
Kondisi ini memang ironis. “Kami tinggal di daerah yang pernah kena dampak letusan krakatau tetapi tidak pernah tahu dokumen sejarah letusan dalam bentuk karya sastra,” kata Joko.
Penggagas Lampung Heritage Teguh Prasetyo yang pernah membaca Syair Lampung Karam menyayangkan minimnya masyarakat yang membaca syair tersebut. Padahal, syair tersebut sangat menggambarkan kejadian yang dialami masyarakat Lampung kala itu.
“Lewat syair tersebut masyarakat sebenarnya lebih bisa belajar bahwa ada bencana alam yang diakibatkan Gunung Krakatau. Bencana tersebut bisa terjadi kapan pun, sehingga butuh kesadaran dari semua pihak. Dari syair tersebut harapannya juga ada upaya meminimalisasi korban jiwa dan harta benda akibat bencana tersebut,” kata dia.
Banyaknya warga yang tidak mengerti syair tersebut dapat dimaklumi karena syair tersebut memang sulit diakses. Saat Kompas mencoba mencari syair tersebut secara utuh di internet, tak satupun laman yang menyediakan syair tersebut secara lengkap.
Kepala Seksi Pelayanan Museum Lampung Budi Supriyanto mengakui naskah tersebut tidak dimiliki oleh Museum Lampung. “Syair tersebut tidak masuk dalam koleksi kami, karena bukan syair aksara Lampung Kuno. Syair tersebut juga tidak menjadi kajian kami karena yang ada saat ini hanya salinannya, sementara yang asli ada di Leiden,” ujarnya.
Kendati demikian Budi sepakat, Syair Lampung Karam seharusnya bisa dipelajari lebih mendalam dan dibaca oleh banyak warga di Lampung. Menurutnya, syair tersebut mampu digunakan untuk membangkitkan kesadaran warga terhadap bencana.
“Tulisan Saleh menjadi penanda adanya kesadaran terhadap potensi bencana. Masyarakat Lampung saat ini seharusnya juga sadar akan potensi itu,” ujar dia
Tulisan Saleh menjadi penanda adanya kesadaran terhadap potensi bencana. Masyarakat Lampung saat ini seharusnya juga sadar akan potensi itu
Hal senada disampaikan Sastrawan Lampung Isbedy Stiawan. Syair Lampung Karam memang sudah seharusnya menjadi bagian dari kurikulum di setiap sekolah di Lampung. Harapannya dengan demikian kesiapsiagaan terhadap bencana menjadi lebih matang.
“Di syair Muhammad Saleh sudah dituliskan, sebelum bencana besar ada bencana pendahuluan berupa keluarnya abu dan awan gelap. Kalau tanda-tanda itu dipahami, seharusnya tsunami Selat Sunda kemarin bisa dintisipasi, karena beberapa bulan sebelumnya tanda-tanda aktivitas Krakatau sudah terpantau,” ujar Isbedy
Di syair Muhammad Saleh sudah dituliskan, sebelum bencana besar ada bencana pendahuluan berupa keluarnya abu dan awan gelap. Kalau tanda-tanda itu dipahami, seharusnya tsunami Selat Sunda kemarin bisa dintisipasi, karena beberapa bulan sebelumnya tanda-tanda aktivitas Krakatau sudah terpantau
Isbedy berharap tsunami Selat Sunda 23 Desember lalu menjadi momentum untuk kembali sadar pentingnya memulangkan kembali Syair Lampung Karam dari Leiden ke Indonesia. Dengan demikian studi terhadap syair tersebut dapat dengan mudah dilakukan.
Festival Krakatau
Dalam 28 tahun terakhir Pemerintah Provinsi Lampung menggelar Festival Krakatau. Pembacaan Syair Lampung Karam biasanya dibacakan dalam gelaran lomba membaca puisi. Dalam catatan Kompas lima tahun terakhir, syair tersebut hanya dibacakan tanpa pernah ditelaah atau didiskusikan. Peserta Festival hanya diajak berkeliling atau mendaki Anak Krakatau tanpa pernah diajak memahami catatan sejarah yang pernah ada.
Membaca Syair Lampung Karam dan melihat fakta yang terjadi, sudah seharusnya Pulau Sebuku dan Pulau Sebesi dikosongkan. Andai tulisan Saleh terus dihidupi, mungkin tidak ada warga yang tinggal di Sebuku dan Sebesi. Bila itu yang terjadi, hampir dipastikan tidak ada korban jatuh di dua pulau terdekat dengan Krakatau tersebut.